Aksi Arogan Oknum Babinsa Paksa Warga Tempel Telinga di Knalpot Motor

TNI AD sudah menahan Serka S

Jakarta, IDN Times - Aksi arogan oknum Bintara Pembina Desa (Babinsa) terhadap seorang warga terekam kamera dan menjadi viral. Dalam video dengan durasi kurang dari 20 detik, anggota Babinsa tersebut memaksa warga yang tengah duduk agar menempelkan telinganya ke knalpot sepeda motor.

Bahkan, warga tersebut sempat memegang knalpot dalam keadaan sepeda motor menyala dan sedang digas oleh Babinsa tersebut. Aksi arogan babinsa itu semakin menjadi-jadi ketika ia menendang punggung warga tersebut lantaran ingin menjauh dari knalpot sepeda motor. Lalu, ia meletakan kakinya di atas kepala warga itu dan mendekatkannya ke knalpot sepeda motor. 

Oknum Babinsa tersebut diduga melakukan aksi penganiayaan karena menilai bunyi knalpot motor warga terlalu bising. Warganet sempat menyayangkan aksi Babinsa itu karena tindakan penganiayaan tersebut dianggap berlebihan. Bahkan, seorang warganet menggarisbawahi, prajurit TNI tak memiliki kewenangan menangkap warga sipil. 

Kepala Dinas Penerangan TNI AD, Brigjen Tatang Subarna, mengatakan oknum Babinsa itu adalah Sersan Kepala (Serka) S. Diketahui, Serka S bertugas Koramil 1608-07/Monta Kodim 1608/Bima, Nusa Tenggara Barat. 

"Ia kini sudah ditangkap dan diproses hukum," kata Tatang melalui keterangan tertulis pada Selasa (17/8/2021). 

Lantas, bagaimana saat ini nasib Serka S?

1. Serka S sudah ditahan di Subdenpom Bima

Aksi Arogan Oknum Babinsa Paksa Warga Tempel Telinga di Knalpot MotorSerka S yang menganiaya warga dengan memaksanya menempelkan telinga ke knalpot motor sudah ditahan (www.twitter.com/@tni_ad)

Menurut Tatang, Serka S kini sudah ditahan di Subdenpom IX/2-2 Bima, NTB, atas tuduhan melakukan penganiayaan. Ia mengatakan TNI AD akan mengikuti kebijakan Kepala Staf TNI AD, Jenderal Andika Perkasa. 

"Proses hukum terhadap oknum prajurit tersebut sudah sesuai dengan kebijakan KSAD, bahwa tidak ada penyelesaian selain proses hukum bagi setiap prajurit TNI AD yang terbukti melanggar,” kata Tatang lagi. 

Baca Juga: Babinsa Terjun Tracing Virus Corona di Jateng, Kolaborasi sama Nakes

2. Imparsial dorong anggota TNI yang langgar hukum diadili di peradilan umum

Aksi Arogan Oknum Babinsa Paksa Warga Tempel Telinga di Knalpot MotorIlustrasi hukum (IDN Times/Arief Rahmat)

Sebelumnya, Direktur Imparsial Gufron Mabruri menyayangkan tindak kekerasan yang dilakukan salah satu personel TNI kepada warga sipil kembali terjadi. Dalam catatannya, kekerasan anggota TNI kepada warga sipil tak hanya sekali terjadi. Sebagai institusi, TNI menyebutnya hal itu dilakukan oleh oknum. 

"Jadi, seolah-olah kesalahan ditimpakan hanya kepada individu itu saja. Padahal, pembenahan seharusnya dilakukan secara menyeluruh di tubuh institusi TNI. Terutama soal kepemilikan senjata," ujar Gufron ketika dihubungi IDN Times melalui telepon, Maret 2021. 

Situasi itu seolah diperburuk dengan proses peradilan yang dilalui anggota TNI itu justru bukan peradilan umum seperti warga sipil lainnya. Hal itu tertuang di dalam UU Nomor 31 Tahun 1997 mengenai peradilan militer. 

Di dalam Pasal 9 tertulis pengadilan di dalam lingkungan militer berwenang untuk mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah prajurit, berdasarkan UU dengan prajurit, dan anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan UU. 

Menurut Gufron, sistem peradilan militer harus direformasi lantaran itu merupakan salah satu cita-cita pada 1998. Namun, hingga kini belum terealisasi. 

"Kita ini kan negara hukum, di mana prinsipnya yaitu semua warga negara sama atau setara di hadapan hukum. Jadi, siapa pun termasuk anggota TNI bila mereka melakukan tindak pidana, maka harus diadili di peradilan umum. Tapi, UU Peradilan Militer tidak mengamanatkan demikian," kata dia lagi. 

3. Proses peradilan militer dinilai cenderung tidak transparan

Aksi Arogan Oknum Babinsa Paksa Warga Tempel Telinga di Knalpot MotorIlustrasi palu hakim (IDN Times/Sukma Shakti)

Gufron pun menilai proses peradilan militer sering sulit dipantau oleh publik. Berbeda dengan peradilan umum, publik bisa ikut menyaksikan secara langsung. 

"Bila tidak ada transparansi maka berbagai kemungkinan (termasuk vonis lebih ringan) bisa saja terjadi. Dalam beberapa kasus memang terbukti demikian, karena ada problem soal transparansi dan akuntabilitas," ungkapnya. 

Menurutnya, belum adanya reformasi soal UU Peradilan Militer disebabkan karena tidak ada keinginan politik dari pemerintah dan parlemen. Beban itu, bukan ada di TNI. 

"TNI itu kan fungsinya sebagai pelaksana kebijakan. Jadi, kalau berbicara kebijakan, maka itu ranah DPR dan pemerintah yang harus mendorong kedua pihak tadi itu," ujarnya lagi. 

Baca Juga: Panglima TNI Akui Tracing Kontak Erat Rendah, Jauh dari Standar WHO

Topik:

  • Jihad Akbar

Berita Terkini Lainnya