Aksi Teror Berulang Lagi, DPR: Operasi Deradikalisasi Gagal

'Saya catat anggarannya capai triliunan rupiah."

Jakarta, IDN Times - Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Mayjen TNI (Purn) TB Hasanuddin, menilai berulangnya aksi terorisme di Indonesia menandakan operasi deradikalisasi gagal. Kegagalan ini terlihat dari terjadinya dua aksi teror dalam waktu berdekatan, yaitu di Gereja Katedral Makassar dan Mabes Polri. 

Pelaku di dua aksi teror berasal dari kelompok yang sama yaitu Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Bedanya, pelaku teror di Makassar sudah masuk radar Badan Intelijen Negara (BIN) namun tetap mampu melakukan aksi bom bunuh diri. 

"Saya sepakat operasi deradikalisasi di Indonesia itu gagal. Padahal, saya catat anggaran deradikalisasi itu mencapai triliunan rupiah," kata Hasanuddin melalui keterangan tertulis, Kamis (1/4/2021). 

Ia menilai salah satu penyebab kegagalan operasi deradikalisasi karena metode dan teknik yang dilakukan tersebar di kementerian dan lembaga bahkan di organisasi kemasyarakatan. Akibatnya, operasi deradikalisasi yang dilakukan tidak terarah dan kerap terjadi duplikasi. 

"Jadi, sekarang kita harus ubah cara dan teknik deradikalisasi. Jangan lagi memposisikan diri seolah-olah menggurui dengan mengatakan kalian yang radikal dan kami yang benar," tutur dia. 

Hasanuddin mengusulkan agar pemerintah bisa masuk dan bergaul dengan mereka. Lalu, ajak mereka untuk bicara dari hati ke hati. Di sisi lain, Hasanuddin mengaku tidak setuju bila aksi teror dilakukan seorang diri alias lone wolf. Mengapa?

1. Anggota komisi I yakin teroris tidak tumbuh seorang diri

Aksi Teror Berulang Lagi, DPR: Operasi Deradikalisasi GagalPolitikus PDI Perjuangan TB Hasanuddin (kiri) ketika ikut dalam Pilgub Jawa Barat 2018 lalu (ANTARA FOTO/M. Agung Rajasa)

Eks Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ansyad Mbai, mengatakan serangan teror lone wolf dilakukan atas inisiatif sendiri, tidak terikat dengan jaringan atau kelompok lain. 

Namun, Hasanuddin justru berpikir sebaliknya. Ia menilai tak mungkin pelaku teror beraksi seorang diri. Pasti ada yang mengerahkan dan mendorong. 

"Dia akan tumbuh di tempat yang situasinya mendukung, berkembang karena komunikasi sosial yang khusus dengan orang-orang tertentu. Dia tumbuh karena ada yang membina bahkan dia punya idola sendiri," ujarnya. 

Menurut Hasanuddin, bila dalam kenyataannya pelaku aksi teror bergerak sendiri, hal tersebut karena kebutuhan taktis saja. 

Meski begitu, Hasanuddin tetap mengapresiasi kinerja BNPT dan Densus 88 Antiteror yang sudah bekerja dengan optimal. Namun, ia mengingatkan dalam mengatasi pemberantasan isu terorisme, tidak bisa hanya mengandalkan kinerja segelintir orang semata. 

"Pemberantasan radikalisme harus menjadi program nasional dan melibatkan seluruh komponen bangsa," kata dia lagi. 

Baca Juga: Pemicu Berulangnya Aksi Teror di Indonesia, kata Eks Kepala BNPT

2. Pemerintah harus buat kontra narasi untuk lawan paham kelompok radikal

Aksi Teror Berulang Lagi, DPR: Operasi Deradikalisasi GagalPersonel kepolisian dengan rompi anti peluru dan senjata laras panjang berjaga di Mabes Polri, Jakarta, Rabu, 31 Maret 2021 (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

Pengamat isu terorisme dari Universitas Malikussaleh Aceh, Al Chaidar, mengatakan untuk bisa mencegah penyebarluasan paham radikal, pemerintah harus menyebarkan wacana yang berbeda. Selama ini kelompok teroris mengemukakan narasi ajakan jihad, sedangkan pemerintah menyampaikan narasi Pancasila dan nasionalisme. 

"Selama ini kan narasinya tidak pernah ketemu dan tak efektif. Kalau kontra wacana, teroris membahas narasi jihad dari versi mereka, sedangkan pemerintah bisa membahas wacana jihad dari versi pemerintah. Ini juga bisa melibatkan beberapa kampus seperti UIN dan universitas lainnya," ujar Al Chaidar ketika dihubungi oleh IDN Times melalui telepon pada Rabu, (31/3/2021).

Menurut Al Chaidar, bila narasi dari kelompok radikal seperti baiat, takfiri, dan jihad atau khital tidak diimbangi dengan interpretasi dari versi lain seperti dari kampus serta pemerintah, maka akan berbahaya.

"Justru yang berkembang bebas adalah narasi jihad versi kelompok wahabi atau takfiri. Bila itu yang terjadi maka sudah tak bisa dibendung lagi," katanya. 

Ia berharap dengan menggunakan strategi ini maka tidak ada lagi monopoli interpretasi mengenai isu jihad dari satu kelompok atau mazhab saja, misalnya dari grup Wahabi. Bila yang dipercayai oleh publik mayoritas narasi dari kelompok Wahabi, maka narasi pembanding yang sudah disiapkan oleh pemerintah tidak akan didengar. 

3. Individu yang mudah terpapar paham radikal dipicu buta masalah agama

Aksi Teror Berulang Lagi, DPR: Operasi Deradikalisasi GagalIlustrasi terorisme (IDN Times/Sukma Shakti)

Al Chaidar juga mengingatkan individu yang mudah diperdaya dengan narasi jihad dari kelompok radikal karena mereka terhadap isu agama. Mereka mengalami kekeringan spiritual sehingga beralih ke kelompok-kelompok radikal untuk mendapatkan materi agama. Hal itu diperburuk dengan kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengurangi muatan agama di pendidikan. 

Tetapi, hal tersebut dipicu adanya peristiwa pemaksaan menggunakan pakaian tertentu yang mencerminkan satu agama. 

"Kita harus bisa menyampaikan ke publik bahwa Islam adalah agama yang inklusif dan tidak memaksa orang lain untuk mengenakan jilbab," ungkapnya. 

Menurut Chaidar seharusnya pemerintah membangun kontra wacana untuk melawan kebijakan yang mewajibkan siswi di sekolah mengenakan jilbab. Sebab, bisa saja paham ekstrimisme sudah menghinggapi birokrat di wilayah itu. 

Baca Juga: Kepala BNPT: Polisi Jadi Target Serangan Teroris Sejak 2010 

Topik:

  • Dwi Agustiar

Berita Terkini Lainnya