Anggota DPR Tak Perlu Endorse Nama Tertentu Agar Jadi Panglima TNI

Anggota DPR tinggal setuju atau tidak pada pilihan presiden

Jakarta, IDN Times - Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi mewanti-wanti anggota DPR tidak perlu 'genit' dengan melontarkan pernyataan yang mendukung salah satu kandidat Panglima TNI. Pemilihan Panglima TNI menjadi hak prerogatif presiden. Sikap anggota DPR berikutnya hanya tinggal menyetujui atau menolak dengan usulan nama yang disodorkan oleh Presiden Joko "Jokowi" Widodo. 

"Sikap presiden baru akan diketahui (memilih siapa) setelah suratnya diterima oleh DPR. Nah, DPR bisa bersikap setelah itu, siapapun namanya (yang diusulkan)," ujar Fahmi melalui keterangan tertulis pada Kamis, 9 September 2021. 

Fahmi mengaku bingung di tengah upaya untuk membangun TNI yang profesional dan postur pertahanan, mengapa suara politikus lebih santer terdengar. Ia tak menampik bahwa pengangkatan Panglima TNI turut melibatkan proses politik sebab harus dilakukan dengan persetujuan anggota komisi I. 

"Tetapi, DPR hanya perlu bersikap setuju atau tidak pada usulan presiden. Bukan malah terus menerus mendorong-dorong nama tertentu untuk diusulkan. Justru, aksi dukung mendukung yang dipublikasikan ini menyebabkan suasana menjadi kurang sehat," kata dia. 

Fahmi menyampaikan keterangan itu untuk merespons pernyataan anggota komisi I DPR dari fraksi PDI Perjuangan, Effendi Simbolon kepada media pada 3 September 2021 lalu. Effendi mengklaim Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) lah yang bakal dipilih sebagai Panglima TNI oleh Presiden Jokowi. Selain itu, Jenderal Dudung Abdurachman bakal diangkat menjadi KSAD menggantikan Andika. 

Fahmi mewanti-wanti pemilihan KSAD bukan wilayah politik. "Bila Presiden menginginkan Pak Dudung ya tinggal dilantik saja. Gak ada masalah," katanya. 

Mengapa anggota DPR justru akhir-akhir ini getol melakukan endorse calon Panglima TNI? Apakah nantinya mereka turut diuntungkan bila nama yang mereka endorse dipilih oleh presiden jadi Panglima TNI?

1. Khairul Fahmi duga ada kepentingan transaksional di balik endorse calon Panglima TNI

Anggota DPR Tak Perlu Endorse Nama Tertentu Agar Jadi Panglima TNIPeneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi (Dokumentasi Istimewa)

Kepada IDN Times, Fahmi mengatakan di balik aksi endorse ini justru menciptakan persepsi ke publik seolah ada persaingan di antara matra di TNI. Justru dikhawatirkan bakal calon Panglima TNI ini kemudian menggunakan instrumen atau kekuatan politik tertentu untuk memperkuat peluangnya dipilih oleh Presiden Jokowi. Adanya komunikasi politik di antara bakal calon Panglima TNI dengan politikus malah dikhawatirkan bisa membuka negosiasi politik. 

"Sulit membayangkan hal itu (negosiasi politik) akan bisa terbebas dari komitmen-komitmen transaksional bahkan kontraktual," ujarnya. 

"Apalagi hubungan militer dan politikus itu kan resiprokal, timbal balik. Saling menggoda," lanjutnya. 

Selain itu, sulit bagi institusi TNI untuk bisa bergerak secara adil dan mengambil jarak dengan kekuatan politik, bila pucuk pimpinannya dulu getol didukung. "Sulit membayangkan kekuatan-kekuatan politik pendukung itu tidak tertarik melibatkan TNI dalam 'mengamankan' kepentingannya," ungkapnya. 

Baca Juga: Jelang Hadi Pensiun, Jokowi Belum Tunjuk Panglima Baru TNI 

2. Lembaga TNI tak boleh lagi dipolitisasi

Anggota DPR Tak Perlu Endorse Nama Tertentu Agar Jadi Panglima TNIAkademisi dan analis pertahanan, Connie Rahakundini Bakrie (www.instagram.com/@connierahakundinibakrie)

Senada dengan Fahmi, analis militer dan pertahanan, Connie Rahakundini Bakrie pun sepakat seharusnya pemilihan Panglima TNI tidak perlu dicampuri oleh keterlibatan sipil. Ia menyentil sejumlah politikus yang melakukan endorse agar Andika yang terpilih sebagai Panglima TNI.

Menurut Connie, saat ini sudah banyak lembaga dan kementerian yang dipolitisasi. Ia tak menginginkan lembaga TNI juga diperlakukan demikian. 

"Makanya sejak awal saya sudah mengimbau anggota DPR dan MPR untuk melakukan revisi di dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 mengenai TNI, terutama tentang pergantian Panglima TNI," kata perempuan yang meraih gelar doktor dari Universitas Indonesia (UI) ketika dihubungi, 6 September 2021 lalu. 

Ia menambahkan, Panglima TNI yang diangkat harus demi kebaikan organisasi TNI itu sendiri. Artinya, sudah tidak boleh lagi ada gerakan-gerakan senyap sehingga proses pemilihan sebaik apapun menjadi tidak lagi relevan.

Dulu, proses pemilihan Panglima TNI melibatkan Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi (Wanjakti) TNI. Namun, proses tersebut tak lagi terjadi. Pemilihan Panglima TNI sepenuhnya tergantung presiden. 

Tetapi, Connie menilai, lantaran ada aksi endorse yang dilakukan oleh sejumlah politikus, seolah-olah menimbulkan persepsi ada persaingan antar calon Panglima TNI. 

"Yang perang adalah sipil-sipilnya atau parpol-parpol di baliknya yang ingin calonnya jadi (Panglima TNI)," tutur dia. 

Connie mengaku mendengar sejumlah ketua umum parpol mengajak salah satu kepala staf TNI untuk makan malam. Bahkan, ia pun ikut diajak tetapi menolak. 

"Ini kan jatuhnya sudah semacam kampanye dan saya tidak mengalami dalam pemilihan Panglima TNI yang lalu," kata Connie. 

Ketika dikonfirmasi apakah kepala staf TNI yang dimaksud berasal dari TNI AL, Connie membantahnya. Dugaan menguat kepala staf yang diundang merupakan Andika Perkasa. 

Ia menduga, Andika di-endorse oleh sejumlah politikus karena ada jabatan lain yang ia bidik usai duduk sebagai Panglima TNI. "Bila hal itu sudah diketahui oleh DPR, lalu untuk apa dipilih atau diberhentikan sesuai dengan mekanisme di dalam UU Nomor 34 Tahun 2004," ujarnya. 

3. Jelang Marsekal Hadi memasuki masa pensiun, Presiden Jokowi belum menunjuk pengganti

Anggota DPR Tak Perlu Endorse Nama Tertentu Agar Jadi Panglima TNIPanglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

Sementara, anggota komisi I DPR dari fraksi Partai Golkar Bobby Aditya Rizaldi mengatakan hingga bulan September pihaknya belum menerima surat dari Presiden Joko "Jokowi" Widodo terkait Panglima TNI yang bakal menggantikan Marsekal Hadi Tjahjanto. Idealnya tiga bulan sebelum Panglima TNI yang tengah menjabat memasuki masa pensiun, sudah ada penggantinya. Apalagi Hadi bakal memasuki masa pensiun pada November mendatang. 

Bobby menduga nama panglima baru TNI belum diserahkan karena saat ini sedang dibahas siklus pembahasan anggaran di parlemen. 

"Siklus pembahasan anggaran ini akan rampung di awal bulan Oktober. Sedangkan, Panglima TNI yang sekarang akan memasuki masa pensiun di bulan November. Mungkin bakal selesai jelang waktu itu. Tapi, kalau pergantiannya di saat pembahasan anggaran, maka akan membuat situasi menjadi kompleks," ujar Bobby ketika berbicara kepada media Senin, 6 September 2021 lalu. 

Namun, saat ditanya apakah benar calon Panglima TNI yang akan dipilih oleh Jokowi adalah Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa, Bobby tidak bisa menjawab hal tersebut. Sebab, pemilihan Panglima TNI menjadi hak prerogatif Presiden. 

"Kami kan tidak bisa menebak-nebak, kecuali di dalam konstitusi, kami (DPR) yang mengajukan nama itu. Keterlibatan DPR dalam proses pemilihan Panglima TNI kan juga baru, khususnya pasca-reformasi 1998," kata dia lagi. 

Sedangkan, saat ini aturan yang berlaku yaitu Presiden memilih Panglima TNI atas persetujuan dengan DPR. Menurut Bobby, hal itu tidak terlepas sosok Panglima TNI menarik perhatian luas dari publik. 

"Posisi Panglima TNI bukan sekedar penguasa tiga matra, tetapi juga menjadi batu loncatan untuk menjadi tokoh politik besar di Tanah Air," tutur dia lagi. 

Baca Juga: Jelang Hadi Pensiun, Jokowi Belum Tunjuk Panglima Baru TNI 

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya