Bersaksi di Sidang BLBI, Begini Kesaksian Mantan Wapres Boediono

Boediono tak mengetahui ada data yang berbeda dari BPPN

Jakarta, IDN Times - Sidang kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat hari ini. Jaksa penuntut umum menghadirkan dua saksi, yakni mantan Wapres Boediono dan advokat senior Todung Mulya Lubis.

Todung harus terbang dari Norwegia, karena sudah dilantik menjadi Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Norwegia.

Sidang dimulai sekitar pukul 09.20 WIB dan dibagi menjadi dua sesi. Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sengaja meminta agar dibagi menjadi dua sesi, agar kesaksian Boediono dan Todung tidak saling terpengaruhi.

Saat skandal BLBI terjadi, Boediono masih menjabat sebagai Menteri Keuangan 2001-2004. Sementara, Todung adalah anggota tim bantuan hukum (TBH) yang dibentuk berdasarkan SK Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK).

Kasus korupsi BLBI akhirnya diambil alih oleh KPK. Ini merupakan salah satu korupsi terbesar yang pernah terjadi di Indonesia karena telah merugikan negara hingga Rp4,58 triliun.

Hal itu bermula dari keputusan yang diambil oleh mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyat Temenggung, yang mengeluarkan surat keterangan lunas (SKL) bagi Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim.

Saat terjadi krisis ekonomi 1998, BDNI mendapat kucuran dana dari BI senilai Rp37 triliun. Tetapi, belum juga utang itu dikembalikan, BPPN malah menganggap Sjamsul sudah membayar lunas semua kewajibannya.

Lalu, apa aja kesaksian Boediono yang disampaikan di dalam sidang tadi?

1. Boediono mengaku tak diberitahu soal adanya perbedaan data yang disampaikan Sjamsul Nursalim

Bersaksi di Sidang BLBI, Begini Kesaksian Mantan Wapres BoedionoANTARA FOTO/Wahyu Putro A.

Di ruang sidang, Boediono mengaku tidak pernah dilapori Syafruddin soal adanya perbedaan data aset milik Sjamsul. Perbedaan data aset ini dikenal dengan istilah 'misrepresentasi'. Usai mendapat aliran dana dari BI, Sjamsul kemudian juga mengalirkan dana tersebut kepada para petambak udang yang dijamin PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM). Dua perusahaan penjamin tersebut milik Sjamsul.

Namun, Sjamsul tidak jujur saat menyerahkan aset para petambak itu kepada pemerintah. Ia menunjukkan kepada BPPN seolah utang ke para petambak adalah utang lancar. Padahal, utang tersebut macet. Di sinilah misrepresentasi yang dilakukan Sjamsul terungkap. Tapi, menurut Boediono hal itu tak dilaporkan Syafruddin dalam rapat KKSK yang digelar pada 13 Februari 2004.

"Soal misrepresentasi (tidak disampaikan oleh Syafruddin). Tetapi petambak memang dilaporkan mengalami kesulitan, makanya tambak macet, pengurangan beban (utang) itu memang baik dalam konteks aturan yang ada. Saya tidak ingat ada pembicaraan khusus soal kredit macet, tapi info yang beredar ada petambak yang tidak bisa bayar atau kesulitan. Saya memilih fokus saja," ujar Boediono ketika bersaksi di sidang yang dikutip dari kantor berita Antara.

Lucunya, sebagai anggota KKSK, Boediono memilih menerima begitu saja data yang disajikan BPPN.

"Anggota KKSK, terutama saya, mengandalkan sistem. Sistem itu memberikan masukan dan info yang bertujuan untuk melihat apakah prosedurnya sudah dilakukan secara baik. Soal detail, saya memang tidak tahu. Akan tetapi, kalau mereka katakan sudah dipenuhi (kewajiban) ya kami terima. Kalau tidak salah dalam surat keputusan KKSK mewajibkan BPPN mengecek kembali semua persyaratan dipenuhi dulu baru kemudian SKL (surat keterangan lunas) bisa dikeluarkan," kata Boediono lagi.

Baca juga: Ini Daftar Kesalahan Syafruddin Temenggung Dalam Kasus Korupsi BLBI

2. Boediono tidak tahu apakah Sjamsul sudah melunasi semua kewajiban utangnya sebelum diberi surat keterangan lunas

Bersaksi di Sidang BLBI, Begini Kesaksian Mantan Wapres BoedionoIDN Times/Akhmad Mustaqim

Kendati posisi KKSK ketika itu lebih tinggi dari BPPN, namun anehnya mereka gak tahu apakah salah satu obligor BLBI sudah memenuhi semua kewajiban utangnya atau belum. Boediono justru melimpahkan tanggung jawab soal pengecekan apakah Sjamsul Nursalim sudah membayar penuh utangnya kepada BPPN.

"Saya selaku anggota KKSK memang mengetahui Syafruddin sebagai Ketua BPPN telah menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL). Tapi, itu menjadi tugas BPPN untuk menentukan bahwa semua syarat administrasi telah selesai, baru kemudian SKL dikeluarkan," kata Wapres RI 2009-2014 itu.

Hakim kemudian menanyakan kembali apakah Boediono memang mengetahui Sjamsul sudah memenuhi kewajibannya dalam membayarkan utang. "Saya tidak tahu," ujar Boediono menjawab pertanyaan hakim.

3. Megawati tidak pernah memberikan keputusan agar utang petani tambak dihapus

Bersaksi di Sidang BLBI, Begini Kesaksian Mantan Wapres BoedionoANTARA FOTO/Irfan Anshori

Berdasarkan surat dakwaan yang disusun jaksa KPK terungkap BLBI bagi obligor Sjamsul Nursalim sempat dibahas di rapat kabinet. Saat itu yang memimpin rapat adalah Presiden Megawati Soekarnoputri. Di rapat, Megawati tak pernah memutuskan agar utang terhadap para petambak udang yang mendapat aliran dana dari Sjamsul, supaya dihapuskan.

"Namun, terdakwa justru melaporkan saat rapat bersama KKSK seolah-olah ada keputusan kabinet yang menyetujui penghapusan (utang) tersebut," demikian isi surat dakwaan yang disusun jaksa dan dibacakan pada 14 Mei lalu.

4. KPK semakin percaya diri ada perbuatan korupsi dalam pemberian SKL BLBI

Bersaksi di Sidang BLBI, Begini Kesaksian Mantan Wapres BoedionoGoogle image

Setelah beberapa kali persidangan dan mendengarkan keterangan para saksi, lembaga anti rasuah semakin percaya diri dengan dakwaan yang telah mereka susun. Dugaan adanya perbuatan korupsi saat pemberian SKL itu semakin menguat.

Juru bicara KPK Febri Diansyah mengungkap dua poin penting lainnya yang muncul di persidangan. Pertama, Syafruddin pernah mengusulkan agar utang petani tambak senilai Rp2,8 triliun dihapuskan sehingga hanya tersisa Rp1,1 triliun.

Kedua, saksi advokat senior Todung Mulya Lubis, mengungkap Sjamsul Nursalim memang melakukan kebohongan dengan menyebut piutang petani tambak PT Dipasena yang diserahkan ke BPPN dalam kondisi lancar. Padahal, piutang itu macet.

"Dari fakta-fakta yang muncul di persidangan tersebut, kami memandang satu persatu dalil yang disampaikan oleh jaksa KPK terbukti. Kami berharap penanganan kasus ini menjadi perhatian semua pihak, karena melibatkan kerugian negara yang sangat besar yakni mencapai Rp4,58 triliun," ujar Febri melalui keterangan tertulis hari ini.

Baca juga: KPK Resmi Melimpahkan Berkas Kasus BLBI ke Pengadilan Tipikor

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya