BNPT Cermati Ada Kelompok Tertentu Coba Galang Simpatisan Isu Taliban

Ada 131 individu dan 5 entitas di Indonesia yang diawasi

Jakarta, IDN Times - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen (Pol) Boy Rafli Amar mewanti-wanti publik di Tanah Air agar jangan sampai salah bersimpati terhadap kelompok milisi Taliban yang kembali merebut Afghanistan.

Boy mengatakan, biar bagaimana pun Taliban adalah gerakan politik berbasis tindak kekerasan dan juga memiliki rekam jejak aksi teror di masa lampau. 

"Apa yang ditampilkan oleh Taliban adalah sesuatu yang tidak baik. Dalam hal ini untuk dijadikan contoh bagi anak-anak muda Indonesia," ujar Boy kepada media, Senin 23 Agustus 2021. 

Maka, BNPT berusaha mencegah agar tindak kekerasan tidak dijadikan contoh bagi warga di Tanah Air. Boy menambahkan, pihaknya mulai mencermati ada kelompok tertentu yang mencoba menggalang simpatisan terhadap isu Taliban.

Dalam data yang dimiliki oleh BNPT, sejak didirikan mereka sudah memantau setidaknya 131 individu dan 5 entitas. BNPT mengawasi mereka lantaran memiliki korelasi dengan kelompok milisi Taliban. Namun, Boy enggan menyebut siapa saja sejumlah individu dan entitas yang telah mereka pantau sejak lama. 

"Itu sudah berlangsung sejak lama. Kami terus mencermati sejak Taliban kembali berhasil menguasai Afghanistan. Kami cermati untuk melihat apa dampak yang terjadi dan korelasinya dengan individu serta entitas yang ada di Indonesia," kata pria yang pernah menjabat sebagai Kapolda Papua tersebut. 

Lalu, apakah langkah Taliban membebaskan ribuan narapidana di Afghanistan, termasuk sebagian petinggi kelompok teroris Al-Qaida bisa berdampak terhadap keamanan di Indonesia?

1. BNPT catat ada sejumlah WNI yang ditahan di Pangkalan Udara Bagram, Afghanistan

BNPT Cermati Ada Kelompok Tertentu Coba Galang Simpatisan Isu TalibanKepala BNPT Komjen Boy Rafli Amar saat mengunjungi Yayasan Lingkar Perdamaian di Lamongan, Rabu (21/10/2020). IDN Times/Imron

Boy mengaku, mengikuti perkembangan Taliban yang membebaskan ribuan tahanan yang pernah ditahan oleh pasukan Amerika Serikat di Pangkalan Udara Bagram. Stasiun berita CNN pada pekan lalu melaporkan, sekitar 5.000 hingga 7.000 tahanan dibebaskan oleh Taliban.

Hal ini menjadi penting lantaran ada sejumlah petinggi Taliban yang radikal pernah ditahan di sana. Ada pula sejumlah petinggi kelompok Al-Qaida yang ditahan dan ikut dibebaskan. Bahkan, Kepala Staf Gabungan Amerika Serikat Staff Mark Milley memperkirakan, aksi teror akan semakin sering terjadi di Afghanistan dan membahayakan keamanan warga setempat. 

Boy mengatakan, memang ada sejumlah WNI yang ditahan di Pangkalan Udara Bagram. Diduga karena ikut bergabung dengan kelompok teroris. Namun, Boy mengaku belum memperoleh informasi apakah mereka ikut dibebaskan. 

"Kami belum mendapatkan data yang pasti. Kami sedang menelusuri terus, apakah termasuk WNI (yang ikut dibebaskan oleh Taliban)," tutur Boy. 

Baca Juga: BIN Deteksi Dini Kelompok Teroris di RI yang Dekat dengan Taliban 

2. Meski bangkit, kecil kemungkinan Taliban mobilisasi orang untuk bersimpati ke Afghanistan

BNPT Cermati Ada Kelompok Tertentu Coba Galang Simpatisan Isu TalibanPotret militan Taliban di Afghanistan(namnewsnetwork.org)

Sementara, menurut pakar terorisme dan pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail, kecil kemungkinan Taliban memberikan instruksi dan memobilisasi warga agar datang ke Afghanistan lalu berjuang.

Gerakan Taliban, kata Noor, sifatnya lokal. Kalau pun ada Taliban yang bergerak di Pakistan, maka hal tersebut disebabkan karena adanya pembagian wilayah yang dulu dilakukan oleh Inggris. 

"Sebagian warga yang sukunya Pashtun itu ada yang memang Taliban Pakistan, ada pula Talibannya yang memang berada di Afghanistan," ujar pria yang juga menjadi visiting profesor di Nanyang Technology University (NTU), ketika berbicara kepada media Senin kemarin. 

Noor lebih menyarankan agar meningkatkan kewaspadaan terhadap kelompok yang ingin mengganti dasar dan bentuk negara. Sehingga, ketika melihat gerakan seperti yang dilakukan oleh Al-Qaeda justru menjadi inspirasi. 

"Oleh sebab itu, dengan adanya perkembangan media sosial yang cepat, sesungguhnya juga menjadi kekhawatiran. Sebab, metode untuk melakukan aksi teror kini telah berubah," kata dia. 

Dulu, aksi teror harus merupakan aksi bersama alias collective action. Tetapi, sekarang hanya karena pernah terhubung di media sosial sudah bisa memobilisasi aksi teror. 

3. Indonesia diminta tak buru-buru akui kepemimpinan Afghanistan di bawah rezim Taliban

BNPT Cermati Ada Kelompok Tertentu Coba Galang Simpatisan Isu TalibanAnggota layanan Departemen Pertahanan AS membela pesawat di Bandara Internasional Hamid Karzai di Kabul, Afghanistan, Selasa, 17 Agustus 2021. (ANTARA FOTO/U.S. Air Force/Senior Airman Taylor Crul/Handout via REUTERS)

Sementara, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana, menyarankan pemerintah RI tidak buru-buru memberikan pengakuan kepada pemerintahan baru di Afghanistan. Menurutnya, Indonesia harus menunggu kepastian siapa yang menjadi pemimpin di dalam pemerintahan.

Hingga saat ini belum diketahui siapa yang memimpin Afghanistan sejak resmi dikuasai kembali oleh Taliban pada Minggu, 15 Agustus 2021 lalu. Mullah Baradar diprediksi bakal menakhodai Afghanistan. Sedangkan, Wakil Presiden Amirullah Saleh mengklaim dirinya menjadi pemimpin sementara di Afghanistan setelah Ashraf Ghani melarikan diri lalu muncul di Uni Emirat Arab (UEA). 

Hikmahanto menjelaskan, berdasarkan hukum internasional, pergantian pemerintahan bisa melalui dua mekanisme. Pertama, secara konstitusional dan kedua, inkonstitusional. 

"Sementara, yang kini terjadi di Afghanistan adalah pergantian pemerintahan yang inkonstitusional. Oleh karenanya perlu ditunggu beberapa saat sehingga Indonesia tahu siapa individu yang menjadi pemegang di Afghanistan," ujar Hikmahanto melalui keterangan tertulis pada 18 Agustus 2021 lalu. 

Pria yang juga menjabat sebagai Rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani itu juga menilai, bila tergesa-gesa memberi pengakuan maka dikhawatirkan bisa berdampak fatal. Setidaknya ada dua hal yang jadi pertimbangan. 

"Pertama, belum diketahui secara pasti siapa yang menjabat (kini di Afghanistan). Kedua, bila asal mengakui individu tertentu justru bisa menjadi sumber masalah bagi internal Afghanistan, mengingat saat ini sedang berlangsung negosiasi damai terkait siapa yang menjadi pemimpin baru," kata dia lagi. 

Baca Juga: Fakta-Fakta Taliban: Sejarah 'Pelajar' Mengangkat Senjata

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya