BPOM: Pengembangan Vaksin Nusantara Didominasi Peneliti Asing

Padahal, vaksin itu kerap disebut sebagai karya anak bangsa

Jakarta, IDN Times - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) kembali buka suara soal penelitian Vaksin Nusantara yang diinisiasi eks Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. Berdasarkan forum hearing dengan pihak peneliti Vaksin Nusantara yang digelar pada 16 Maret 2021, BPOM justru melihat peneliti vaksin sel dendritik itu didominasi peneliti asing. Peneliti itu bekerja di AIVITA Biomedical, perusahaan farmasi asal Amerika Serikat. 

"Dalam hasil uji klinis I vaksin ini, pembahasannya tim peneliti asing lah yang menjelaskan, membela dan berdiskusi, yang memproses pada saat kami hearing. Terbukti, proses pelaksanaan uji klinis, proses produksinya semua dilakukan oleh tim peneliti asing tersebut," ungkap Kepala BPOM Penny K Lukita ketika mengikuti rapat kerja dengan Komisi IX yang disiarkan secara daring pada Kamis, 8 April 2021. 

Meski diklaim sebagai vaksin karya anak bangsa, tetapi tim peneliti dari Universitas Diponegoro dan RSUP dr Kariadi Semarang tak banyak andil dalam proses uji klinis I Vaksin Nusantara. 

"Memang dilakukan training para dokter di RSUP dr Kariadi tersebut. Tapi kemudian mereka hanya menonton dan tidak melakukan secara langsung. Karena dalam pertanyaan mereka juga tidak menguasai," kata dia. 

Penny pun kemudian mengusulkan kepada anggota Komisi IX yang termasuk karya anak bangsa seperti apa. Sebab, menurutnya, hal itu tidak mungkin bisa berdasarkan klaim semata. 

"Jadi, kita harus tegaskan lagi ini kategori vaksin dalam negeri dan karya anak bangsa," tutur dia. 

Lalu, apa lagi kejanggalan yang ditemukan BPOM dalam pengembangan Vaksin Nusantara? Apakah mungkin ketika diproduksi massal, harga vaksin berbasis sel dendritik itu bisa dijual dengan harga sekitar 10 dolar AS atau setara Rp146 ribu seperti klaim anggota Komisi IX DPR?

1. BPOM temukan komponen di uji klinis tahap I tak layak disuntikan ke tubuh manusia

BPOM: Pengembangan Vaksin Nusantara Didominasi Peneliti AsingInfografis Vaksin Nusantara. (IDN Times/Sukma Shakti)

Menurut Penny, saat meninjau hasil uji klinis pertama Vaksin Nusantara, ada banyak kejanggalan lain yang ditemukan. Pertama, ia menemukan komponen yang digunakan di uji klinis tahap I tidak layak masuk ke dalam tubuh manusia. Hal itu lantaran bukan masuk ke dalam farmasi grade

"Ada satu lagi, saat pendalaman didapatkan antigen yang digunakan tidak dalam kualitas mutu untuk masuk ke tubuh manusia," katanya. 

Selain itu, dalam pengembangan Vaksin Nusantara, tim peneliti menggunakan komponen-komponen impor dan itu tidak murah. BPOM juga mempertanyakan konsep vaksinasi yang akan dilakukan di tempat terbuka. Padahal, menurut tim di BPOM, vaksinasi dengan sel dendritik harus dilakukan di tempat tertutup dan steril. 

Cara kerja vaksinasi dengan sel dendritik yaitu setiap orang akan diambil sampel darahnya, lalu dipaparkan dengan kit vaksin yang dibentuk dari sel dendritik. Kemudian, sel dendritik yang telah mengenal antigen akan diinkubasi tiga hingga tujuh hari. 

Setelah itu, sel dendritik itu diinjeksikan kembali ke tubuh manusia. Saat berada di dalam tubuh, diharapkan sel dendritik bisa memicu sel-sel imun untuk membentuk sistem pertahanan melawan Sars-CoV-2. 

"Artinya harus ada rentetan validasi yang membuktikan bahwa produk tersebut sebelum dimasukkan ke subjek benar-benar steril, tidak terkontaminasi, dan itu tidak dipenuhi," tutur Penny. 

Baca Juga: Penelitian Vaksin Nusantara yang Digagas Terawan Dihentikan Sementara

2. Kemenkes didesak tak lagi lanjutkan pendanaan riset pada perusahaan asing AIVITA

BPOM: Pengembangan Vaksin Nusantara Didominasi Peneliti AsingEpidemiolog Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono dalam diskusi daring bertajuk Proyeksi Kasus COVID-19 dan Evaluasi PSBB Jumat (23/10/2020) (Tangkapan layar/YouTube KGM Bappenas)

Sementara, epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI) Dr Pandu Riono menyambut baik respons yang disampaikan BPOM dengan tak memberi lampu hijau bagi uji klinis tahap selanjutnya pada Vaksin Nusantara. Ia menilai independensi BPOM tetap bisa terjaga meski kerap ditekan anggota Komisi IX DPR. 

"Apresiasi keputusan BPOM RI terhadap evaluasi riset awal vaksin dendritik. Kini, Balitbangkes Kemenkes harus tegas dengan tidak melanjutkan pendanaan riset perusahaan asing AIVITA. Balitbangkes harus mengungkap apa yang sesungguhnya terjadi di dalam riset itu, sehingga tak ada lagi dusta," cuit Pandu melalui akun Twitternya @drpriono1, Sabtu (10/4/2021). 

Seperti diketahui, uji klinis tahap I pengembangan Vaksin Nusantara menggunakan pendanaan dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kemenkes. Kepala Balitbangkes dr Slamet mengonfirmasi hal itu, namun ia tak bersedia mengungkap berapa besaran dana yang dikucurkan untuk penelitian vaksin tersebut. 

"Iya, kami membiayai (uji klinis) fase pertama," ujar Slamet pada 19 Februari 2021. 

Bantuan dana itu, kata Slamet, diberikan sebagai bentuk dukungan atas upaya menekan penyebaran COVID-19. Pernyataan Slamet sesuai dengan SK Menkes Nomor HK.01.07/MENKES/11176/2020 mengenai tim penelitian uji klinis vaksin sel dendritik Sars-CoV-2. SK diteken Terawan pada 18 Desember 2020, saat ia masih menjabat sebagai Menkes.

Di dalam susunan organisasi tim penelitian uji klinis, Terawan tertulis bertindak sebagai pembina. Sedangkan, Slamet bertugas sebagai penanggung jawab. 

Di dalam dokumen yang diperoleh IDN Times itu pula tertulis biaya yang muncul dari uji klinis pertama Vaksin Nusantara dibebankan pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Balitbangkes.

"Serta sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan," demikian isi dokumen tersebut.

Sementara, di dalam situs Clinical Trial, sponsor untuk pengembangan sel dendritik adalah AIVITA Biomedical. 

3. DPR sebut BPOM menghambat pengembangan Vaksin Nusantara

BPOM: Pengembangan Vaksin Nusantara Didominasi Peneliti AsingWakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad ketika pimpin rapat paripurna Selasa, 23 Maret 2021 (Tangkapan layar YouTube)

Atas semua kejanggalan itu, BPOM memutuskan tak lagi memberi izin bagi tim peneliti Vaksin Nusantara melanjutkan uji klinis ke tahap kedua.

DPR pun berang dan bahkan membawa keberatannya pada rapat paripurna yang digelar pada 23 Maret 2021. Isu itu diungkit-ungkit Wakil Ketua Komisi IX DPR dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ansory Siregar ketika menyampaikan interupsi.

Interupsinya itu diberi judul "Segera Wujudkan Vaksin Nusantara, Hindari Senosentris." Ia menjelaskan yang dimaksud senosentris adalah membanggakan produk luar negeri dan membenci produk sendiri. 

"Pertama, mengingat Pak Presiden sudah pernah memanggil Kemenkeu untuk membantu mewujudkan Vaksin Nusantara atau vaksin produk anak bangsa. Kedua, Inpres (Instruksi Presiden) Nomor 6 Tahun 2016 tentang percepatan pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan," tutur Ansory.

"Mengingat ketiga, hampir semua pimpinan DPR mendukung (pengembangan Vaksin Nusantara),keempat banyak dokter dan para pakar yang saya temui masih belum mau divaksinasi dengan merek vaksin sekarang, mereka menunggu Vaksin Nusantara. Kelima, kesimpulan Komisi IX pada 10 Maret 2021 yang mendesak agar pengembangan Vaksin Nusantara didukung," sambung Ansory yang tak bisa melanjutkan interupsinya karena mikrofonnya mati. 

Sementara, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad pun merespons interupsi yang disampaikan Ansory. Ia menyebut sikap pimpinan DPR sudah sepakat mendukung Vaksin Nusantara. Dukungan itu bahkan segera diwujudkan dalam aksi nyata. Ia meminta kepada Komisi IX untuk mempelajari aturan terkait keharusan BPOM mengeluarkan izin Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinis (PPUK). 

Baca Juga: Mitra Terawan Bikin Vaksin Nusantara, Profil Aivita Biomedical dari AS

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya