Brasil Ganti Data Resmi COVID-19, Angka Kematian Jadi Lebih Rendah

Brasil hanya tunjukkan data 24 jam terakhir bukan akumulasi

Jakarta, IDN Times - Presiden Brasil Jair Bolsonaro tak henti membuat kontroversi dalam menangani pandemik COVID-19. Ia diduga memerintahkan Kementerian Kesehatan untuk mengganti data mengenai penyebaran COVID-19 di situs resminya. 

Sebelumnya, situs Kemenkes Brasil mencatat angka penyebaran COVID-19 di negara itu setiap hari dan diakumulasi. Bahkan, masing-masing negara bagian dan kabupaten juga dicatat angka penyebarannya. Namun, sejak (6/6), Kemenkes hanya menampilkan ke publik data penyebaran COVID-19 selama 24 jam terakhir. 

Kini, bila mengakses data penyebaran COVID-19 milik Pemerintah Brasil di situs https://covid.saude.gov.br/, angka kematian warga akibat virus corona per (7/6) hanya 525 pasien. Sedangkan, jumlah kasus positif COVID-19 18.912. Sebanyak 6.803 pasien lainnya berhasil sembuh. 

Data itu berbeda jauh sebelum informasi di situs Kemenkes Brasil diganti. Laman World O Meter per (8/6) mencatat kasus positif COVID-19 di Brasil mencapai 691.962 di mana sebanyak 37.312 tercatat sudah meninggal. Dengan adanya data itu menjadikan Brasil negara kedua di dunia yang memiliki kasus positif COVID-19. 

Situs itu juga mencatat terdapat 813 pasien baru yang meninggal di Brasil dalam kurun waktu 24 jam. Sementara, jumlah pasien yang sembuh mencapai 302.084. 

Lalu, apa komentar Bolsonaro usai data di situs Kemenkes diganti?

1. Presiden Bolsonaro menilai data di Kemenkes tidak menggabarkan realita yang sesungguhnya

Brasil Ganti Data Resmi COVID-19, Angka Kematian Jadi Lebih Rendah(Presiden Brasil, Jair Bolsonaro berbicara ke media sambil mengenakan masker) ANTARA FOTO/REUTERS/Adriano Machado

Melalui akun Twitternya, Presiden Bolsonaro membela keputusan Kemenkes di negaranya. Menurut Bolsonaro, data yang selama ini ditampilkan secara akumulatif tidak menggambarkan kondisi yang sesungguhnya di Brasil. 

"Kebijakan lainnya tengah ditempuh untuk terus memperbaiki laporan kasus dan konfirmasi diagnosa penyakit COVID-91," kata Bolsonaro seperti dikutip kantor berita Reuters pada (6/6). 

Sejak awal, Bolsonaro memang meremehkan virus corona. Bahkan, ia menganggap COVID-19 adalah berita palsu. Ia juga menentang kebijakan otoritas setempat yang memberlakukan pembatasan pergerakan manusia sebab hal itu bisa mengakibatkan ekonominya tersendat. 

Baca Juga: [UPDATE] Kasus COVID-19 Melonjak Tajam, Brasil Jadi Episentrum Baru

2. Pemerintah Brasil dituding tidak transparan dan ingin menutupi kondisi yang sebenarnya

Brasil Ganti Data Resmi COVID-19, Angka Kematian Jadi Lebih RendahPasien sembuh dari virus corona meninggalkan rumah sakit ( ANTARA FOTO/REUTERS/Diego Vara)

Kebijakan Pemerintah Brasil itu dikritik keras oleh banyak pihak termasuk oleh Asosiasi Jurnalis Brasil. Media mengkritik kebijakan lain yang dilakukan rezim Bolsonaro yakni dengan menunda pemberian informasi dari yang semula tersedia pukul 17:00 waktu setempat, kini media baru memperolehnya nyaris pukul 22:00. 

"Padahal, transparansi informasi merupakan instrumen kuat dalam melawan pandemik COVID-19," kata Ketua Asosiasi Jurnalis Brasil, Paulo Jeronimo de Sousa. 

Ketika ditanya penyebab keterlambatan keluarnya informasi mengenai kondisi pandemik COVID-19 di Brasil, Presiden Bolsonaro menjawab dengan melempar lelucon bahwa ia dibutuhkan untuk hadir di program Jornal Nacional yang dimulai pukul 20:30. 

"Itu dia berita untuk Jornal Nacional," kata Bolsonaro sambil mengatakan di program itu kerap menyebut angka kematian di Brasil membuat rekor.  

3. Brasil kehilangan dua menteri kesehatan karena dipecat dan memilih mundur

Brasil Ganti Data Resmi COVID-19, Angka Kematian Jadi Lebih Rendah(Mantan Kesehatan Brasil, Nelson Teich) www.agencia.brasil.ebc.com

Dalam menghadapi pandemik COVID-19, Brasil menghadapi situasi yang dramatis. Presiden Bolsonaro harus kehilangan dua Menkes. Menkes Nelson Teich yang baru ditunjuk kurang satu bulan memilih mundur tanpa alasan yang jelas. Tetapi, jelas Teich mundur karena tak sepakat dengan cara Bolsonaro mengatasi pandemik COVID-19 di Brasil. 

Stasiun berita BBC (15/5) lalu melaporkan Teich sempat mengkritik kebijakan Bolsonaro yang mengeluarkan dekrit untuk tetap membiarkan fasilitas publik yang tidak esensial seperti pusat kebugaran, tempat pijat dan salon tetap buka. 

Sedangkan, pendahulu Teich yakni Menkes Luis Mandetta dipecat oleh Bolsonaro pada (16/4) lalu karena tak sepakat dengan kebijakannya mengenai jaga jarak. Menurut presiden dari kelompok sayap kanan itu, kebijakan jaga jarak dinilai tidak perlu untuk menghadapi pandemik COVID-19. 

Baca Juga: 5 Fakta Menarik Brasil, Penghasil Kopi Terbesar di Dunia

Topik:

  • Septi Riyani

Berita Terkini Lainnya