Buruh Ancam Demo Besar Lagi di Depan Istana Tolak UU Cipta Kerja

Buruh tak mau ajukan judicial review ke MK

Jakarta, IDN Times - Ribuan buruh akan kembali turun berunjuk rasa di depan Istana Negara pada Kamis, 15 Oktober 2020, menolak Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Kelompok yang menamakan diri Gerakan Buruh Jakarta akan bergerak dari lima titik keberangkatan, yaitu di Kawasan Industri Pulogadung, Kawasan Industri KBN Cakung, Kawasan KBN Marunda, Fly Over Pasar Rebo dan Waduk Pluit, Jakarta Utara. 

Salah satu koordinator lapangan yang dihubungi IDN Times, Supardi, mengatakan akan ada sekitar 1.000 orang yang siap turun ke jalan untuk berunjuk rasa. Dalam surat pemberitahuan yang disampaikan ke Polda Metro Jaya, demonstrasi akan berlangsung selama satu pekan hingga Kamis, 22 Oktober 2020. 

"Kemungkinan besar jumlah pengunjuk rasa akan meningkat pada tiga hari terakhir, yakni 20, 21, dan 22 Oktober 2020. Karena kami akan melakukannya bersama Aksi Gebrak untuk berunjuk rasa di seluruh Indonesia," ungkap Supardi melalui telepon. 

Ia mengaku tahu DPR akan menyerahkan naskah final UU Cipta Kerja ke Presiden Joko "Jokowi" Widodo pada Rabu, 14 Oktober 2020. Tetapi, mengajukan judicial review (JR) atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK), kata Supardi, hanya akan berakhir sia-sia. 

1. Di dalam UU baru MK, pemerintah tidak wajib menindak lanjuti putusan uji materi di MK

Buruh Ancam Demo Besar Lagi di Depan Istana Tolak UU Cipta KerjaIDN Times/Axel Joshua Harianja

Supardi mengatakan di dalam undang-undang baru mengenai Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 7 Tahun 2020 di Pasal 59 ayat 2, tertulis pemerintah tidak lagi wajib menindak lanjuti putusan MK. Artinya, seandainya buruh memenangkan judicial review, maka pemerintah bisa saja mengabaikan putusan MK tersebut. 

Ini berbeda dibandingkan UU MK terdahulu di ayat 2 nya tertulis "jika diperlukan perubahan terhadap undang-undang yang telah diuji, DPR atau Presiden segera menindak lanjuti putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan."

"Jadi, sesuai perubahan di UU MK itu disebut putusan MK tidak mengikat terhadap peraturan pemerintah, makanya percuma kalau mengajukan JR ke MK. Mau tidak mau kita harus JR ke parlemen atau presiden," ujar Supardi. 

"Ketika pemerintah menyebut silakan ajukan gugatan ke MK itu sekadar basa-basi aja. Seolah-olah kita mau dibohongi lagi," kata dia, lagi. 

Sementara, di dalam aksi nanti, Supardi dan rekan-rekannya sesama buruh akan berusaha untuk mematuhi protokol kesehatan seperti menggunakan masker agar tidak menimbulkan kluster baru COVID-19. 

Namun persepsi Supardi dibantah Jimly Asshiddiqie yang pernah menjadi ketua MK periode 2003 hingga 2008. Menurut dia dengan menghilangkan ketentuan di ayat 2 dalam UU baru MK sudah benar. 

"Putusan MK terkait JR UU beda dengan putusan PN atau PTUN terkait kasus konkret. Objek sengketa JR adalah tentang norma. Tidak perlu atau harus ditindak lanjuti oleh pemerintah atau DPR karena sudah secara otomatis UU nya berubah bila putusan mengabulkan," demikian cuit Jimly di akun Twitternyanya @JimlyAs pada hari ini. 

Lalu, mengapa di UU baru MK, ayat 2 tersebut dihapus? Menurut Jimly yang dilakukan oleh DPR dengan menghapus ayat 2 di pasal 59 sudah benar. "Pasal tersebut memang tidak perlu karena mengesankan perlu ada tindak lanjut dulu oleh pemerintah atau DPR agar putusan MK efektif. Padahal, itu tidak perlu," cuit Jimly lagi. 

Baca Juga: Mau Diteken Jokowi, Isi Draf Omnibus Law 1.035 Halaman dan 905 Beda?

2. Deretan pasal yang masih menjadi keberatan buruh di dalam UU Cipta Kerja

Buruh Ancam Demo Besar Lagi di Depan Istana Tolak UU Cipta KerjaMassa AKBAR Sumut membawa boneka babi berdasi sebagai bentuk protes terhadap DPR yang mengesahkan Omnibus Law UU Cipta Kerja. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Kepada IDN Times, Supardi mengaku memiliki naskah UU Cipta Kerja yang setebal 905 dan 1.035 halaman. Sementara, naskah dengan tebal 812 halaman ia belum memegangnya. Meski begitu, keberatan buruh tetap tidak mau berapa banyak halaman di dalam undang-undang baru itu. 

Supardi menjelaskan beberapa pasal di dalam UU Cipta Kerja yang dirasakan dampaknya secara langsung antara lain mengenai nominal pesangon. Di dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 antara lain, mewajibkan pengusaha memberi pesangon sebanyak 32,2 kali gaji yang pernah diterima. Namun, di UU Cipta Kerja menyusut menjadi 25 kali. 

"Dalam hal ini pemerintah tidak baik-baik saja, memiliki banyak utang. Tetapi pemerintah menyediakan bagi investor untuk membayar sembilan bulan nominal gaji itu bagi investor. Sebanyak 16 bulannya dibayarkan oleh perusahaan, sedangkan sisa sembilan bulannya dibayarkan oleh pemerintah melalui program jaminan kehilangan pekerjaan. Tapi programnya itu berupa asuransi," tutur dia. 

"Makanya UU ini konyol," ujarnya. Menurut Supardi, selama ini para pengusaha tidak keberatan ketika diminta memenuhi kewajiban membayar pesangon 32,2 kali gaji.

Hal lain yang dipermasalahkan yaitu mengenai status pegawai yang selamanya akan menjadi outsource. Semula, poin yang mengatur hal ini tercantum di Pasal 59 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan. 

Di dalam pasal itu mengatur perusahaan hanya bisa melakukan kontrak kerja perjanjian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) paling lama tiga tahun. Setelah itu, perusahaan diwajibkan mengangkat pekerja atau buruh sebagai karyawan tetap, bila ingin mempekerjakan lewat dari masa tiga tahun bekerja. Sedangkan, di dalam UU Cipta Kerja Pasal 59 itu dihapus. 

"Status kerjanya untuk pegawai outsource atau kontrak akan menjadi mengambang. Dengan menjadi pegawai outsource perlindungannya kan minim dan bisa di-PHK kapan pun," tutur Supardi. 

Hal lain yang menjadi kekhawatiran buruh, terutama kaum perempuan yakni dihilangkannya hak cuti haid dan melahirkan saat bekerja. Menurut Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, dua jenis hak cuti itu memang tidak diatur di dalam UU Cipta Kerja. Namun, pengusaha bisa merujuk kembali ke UU Ketenagakerjaan untuk penerapan dua jenis hak cuti tersebut. 

"Kan gak mungkin setelah UU Cipta Kerja disahkan lalu kita kembali merujuk ke UU Ketenagakerjaan. Kan sudah dilebur UU itu. Bisa diketawakan kami saat menggugat itu ke pengadilan. Bila pemerintah memang peka, seharusnya poin-poin mengenai cuti tadi dimasukan ke dalam UU Cipta Kerja sesuai dengan UU Ketenagakerjaan sebelumnya," kata Supardi. 

"Menurut saya sih mereka memang sengaja tidak memasukkan dua hak cuti tadi ke dalam UU Cipta Kerja ini, karena sejak awal kan ingin memanjakan investor asing sehingga mereka tidak lagi berkewajiban memberikan hak-hak itu," sambung dia. 

3. Buruh menyebut kericuhan dalam demonstrasi dipicu aksi anarkis polisi

Buruh Ancam Demo Besar Lagi di Depan Istana Tolak UU Cipta KerjaProses ugal-ugalan dalam pembuatan UU Cipta Kerja (IDN Times/Arief Rahmat)

Ketika dimintai komentar mengenai kericuhan dalam demonstrasi pekan lalu, Supardi menyebut, hal itu dipicu aksi anarkis dari kepolisian. Mereka menembakan gas air mata ke arah demonstran sehingga memicu rasa emosi. 

"Jadi, yang perlu disalahkan adalah pihak kepolisian. Waktu kemarin saat aksi 8 Oktober 2020, tahu-tahu malah ditembakan gas air mata. Padahal, kami tidak berbuat apapun," tutur Supardi. 

Sedangkan, aksi pembakaran di Sarinah, Jakarta, massa sudah diblokade oleh kepolisian. "Ketika kami ingin menuju ke masjid di Kwitang, pihak kepolisian telah menyisir semua demonstran," imbuh Supardi.  

Baca Juga: Menaker Ungkap Alasan Pesangon PHK di Omnibus Law Hanya 25 Kali Gaji

Topik:

  • Rochmanudin
  • Septi Riyani

Berita Terkini Lainnya