[CEK FAKTA] MA Instruksikan Pemerintah Agar Pandemik COVID-19 Diakhiri

Hanya WHO yang berhak mengakhiri status pandemik COVID-19

Jakarta, IDN Times - Sejak pertengahan April 2022, berseliweran pesan pendek di WhatsApp mengenai putusan Mahkamah Agung melawan Yayasan Konsumen Muslim Indonesia (YKMI). Yayasan itu diketahui melakukan Peninjauan Kembali (PK) Peraturan Presiden (Perpres) nomor 99 tahun 2020 mengenai pengadaan vaksin dan pelaksanaan vaksinasi dalam rangka penanggulangan pandemik COVID-19. 

Namun, alih-alih mengutip utuh dan tepat isi putusan yang dirilis pada 14 April 2022 lalu, pesan yang tersebar justru berbeda. Bahkan, narasi yang disebarluaskan yakni MA memerintahkan pemerintah agar segera mengakhir pandemik COVID-19. 

"Berdasarkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 31P/HUM/2022 (sebanyak 115 halaman) yang telah membatalkan Perpres nomor 99 tahun 2020, maka disimpulkan bahwa (1) pandemik dinyatakan telah berakhir, (2) negara dilarang melakukan pemaksaan pemberian vaksin, (3) pemerintah wajib menyediakan vaksin halal & thoyyib yang mendapatkan sertifikasi halal & label halal MUI dan (4) aktivitas ibadah, sekolah, transportasi, dan usaha tidak boleh dibatasi. Semua sudah berjalan seperti sediakala," demikian isi pesan pendek tersebut yang banyak disebarluaskan ke berbagai grup WhatsApp. 

Adapula pernyataan yang menyebut bahwa aplikasi PeduliLindungi dianggap telah melanggar HAM dan tak boleh digunakan lagi. Hal itu sesuai ketentuan protokol HAM. 

Namun, apakah benar isi putusan MA memerintahkan pemerintah agar segera mengakhiri pandemik COVID-19?

1. Tidak ada satu pun poin di dalam putusan MA yang perintahkan agar pandemik COVID-19 diakhiri

[CEK FAKTA] MA Instruksikan Pemerintah Agar Pandemik COVID-19 DiakhiriGedung Mahkamah Agung (Instagram/@humasmahkamahagung)

Sementara, ketika ditelusuri oleh IDN Times isi putusan setebal 115 halaman itu, tidak ada satupun poin di dalamnya yang memerintahkan kepada pemerintah agar segera mengakhiri status pandemik COVID-19. Ada pun poin di dalam putusan MA yakni pertama, mengabulkan keberatan hak uji materiil dari Yayasan Konsumen Muslim Indonesia (YKMI). 

Poin materiil yang diujikan oleh YKMI yakni memberikan vaksin COVID-19 yang halal kepada umat Muslim. Apalagi saat ini kondisinya dianggap sudah tidak darurat seperti awal pandemik pada 2020 lalu. 

Poin lainnya di dalam putusan MA yakni PP nomor 99 tahun 2020 di pasal 2 dianggap bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yakni UU nomor 33 tahun 2014 pasal 4 mengenai jaminan produk halal. Sikap pemerintah dianggap bertentangan dengan aturan di atasnya selama tidak dimaknai "pemerintah wajib memberikan perlindungan dan jaminan tentang kehalalan vaksin COVID-19 yang ditetapkan untuk pelaksanaan vaksinasi COVID-19 di wilayah Indonesia."

Poin penting lainnya yakni pasal 2 di PP nomor 99 tahun 2020 itu dianggap tak memiliki kekuatan hukum yang mengikat apabila tidak dimaknai bahwa pemerintah wajib memberikan perlindungan dan jaminan tentang kehalalan vaksin COVID-19.

Poin ketiga di putusan MA berisi instruksi kepada panitera MA untuk mengirimkan petikan putusan tersebut kepada Sekretariat Negara untuk dicantumkan di dalam Berita Negara. Poin keempat, yakni menghukum Presiden RI selaku termohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp1 juta. 

Label hoaks pun sudah disematkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk pesan berantai tersebut.

Baca Juga: Satgas COVID-19: Hanya WHO yang Punya Otoritas Tetapkan Status Endemik

2. Tidak ada putusan di protokol Hak Asasi Manusia soal aplikasi PeduliLindungi yang dianggap melanggar HAM

[CEK FAKTA] MA Instruksikan Pemerintah Agar Pandemik COVID-19 DiakhiriIlustrasi aplikasi PeduliLindungi. (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto)

Sementara, aplikasi PeduliLindungi tidak disinggung sama sekali di dalam protokol Hak Asasi Manusia (HAM). Meski begitu, aplikasi untuk membantu proses kontak pelacakan itu, sempat disinggung di dalam laporan Departemen Luar Negeri AS. Laporan itu setebal 60 halaman berjudul "Indonesia 2021 Human Rights Report."

Salah satu yang disorot Deplu AS dari Indonesia yakni mengenai aplikasi PeduliLindungi yang dibuat pemerintah, untuk menjadi alat skrining bagi warga agar dapat mengakses tempat publik. Aplikasi itu juga menyimpan data mengenai status vaksinasi seseorang.

"Kelompok masyarakat sipil menyampaikan kekhawatiran mengenai informasi apa saja yang dikumpulkan melalui aplikasi tersebut. Selain itu, mereka juga khawatir dengan cara data-data pribadi itu disimpan dan digunakan oleh pemerintah," demikian isi laporan tersebut yang dirilis pada 13 April 2022. 

Aplikasi PeduliLindungi dianggap Deplu AS sebagai bentuk pelanggaran privasi warga secara semena-mena. Sebab, ada kekhawatiran data-data pribadi yang tersimpan di sana dapat disalahgunakan. 

Bantahan pun langsung disampaikan oleh Kementerian Kesehatan. Juru bicara Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan tuduhan AS tanpa didasarkan pada bukti apapun. Ia pun juga meminta agar sejumlah pihak berhenti memelintir isi laporan tersebut. 

"Laporan tersebut tidak menuduh penggunaan aplikasi ini telah melanggar HAM. Kami memohon agar para pihak berhenti memelintir seolah-olah laporan tersebut menyimpulkan adanya pelanggaran," kata Nadia di dalam keterangan tertulis 15 April 2022 lalu. 

Ia juga menjelaskan penggunaan aplikasi PeduliLindungi sudah nyata berkontribusi pada menurunnya penularan COVID-19 di Indonesia, dibandingkan di negara tetangga, termasuk negara lain yang lebih maju.

"Aplikasi ini memiliki peran yang besar dalam menekan laju penularan saat kita mengalami gelombang Delta dan Omicron," tutur Nadia. 

Nadia pun menepis kekhawatiran data pribadi yang tersimpan di aplikasi PeduliLindungi bakal disalahgunakan. "Aspek keamanan sistem dan perlindungan data pribadi pada PeduliLindungi menjadi prioritas Kementerian Kesehatan," katanya. 

Seluruh fitur di aplikasi itu beroperasi dalam suatu kerangka kerja perlindungan dan keamanan data yang disebut Data Ownership dan Stewardship. "Kemenkes menggandeng BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara) untuk menerapkan pengamanan berlapis, termasuk pengamanan pada infrastruktur dan data enkripsi," ujar Nadia.

3. Hanya WHO yang dapat mengakhiri status pandemik, bukan pemerintah

[CEK FAKTA] MA Instruksikan Pemerintah Agar Pandemik COVID-19 DiakhiriBendera berkibar di kantor pusat WHO di Jenewa, Swiss (who.int)

Sementara, terkait berakhirnya status pandemik, hal itu hanya dapat diumumkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO). Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito mengamini hal tersebut. Ia menegaskan negara tertentu tidak bisa secara sepihak mengumumkan status pandemik telah bergeser ke endemik. 

"Penetapan status endemik merupakan otoritas Badan Kesehatan Dunia (WHO). Karena untuk mengubah (status) pandemik yang berdampak di banyak negara, diperlukan perbaikan kasus di tingkat global," ungkap Wiku seperti dikutip dari YouTube BNPB, 10 Maret 2022 lalu. 

Ia menambahkan, pada umumnya pergeseran menuju ke endemik dilakukan bila terjadi penurunan kasus harian dan angka kematian yang rendah bahkan nol dalam jangka waktu tertentu. Kondisi itu, kata Wiku, hanya dapat tercapai bila masyarakat secara kolektif melakukan pengendalian COVID-19. 

Baca Juga: YKMI Bakal Tuntut Pemerintah Jika Beri Vaksin COVID Tak Halal   

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya