Deretan Poin Penting UU soal Pengumpulan Donasi yang Didesak Direvisi

Lakukan aksi donasi tanpa izin cuma kena denda Rp10 ribu

Jakarta, IDN Times - Terungkapnya dugaan penyelewenangan dana donasi yang dilakukan oleh Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) mengejutkan publik. Apalagi praktik itu diduga terjadi sudah sejak lama. 

Kali pertama dugaan praktik penyelewengan dana donasi di ACT terungkap ketika Majalah Tempo melakukan investigasi. Dalam Majalah Tempo edisi 2 Juli 2022, terungkap bahwa ada dana donasi publik yang dikumpulkan oleh ACT lalu ditransfer untuk kepentingan pribadi para petingginya.

Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun oleh Majalah Tempo, gaji para petinggi di ACT sangat fantastis. Ahyudin ketika masih menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina ACT disebut mengantongi gaji per bulan mencapai Rp250 juta. Pejabat di bawah Ahyudin seperti senior vice president membawa pulang upah Rp150 juta. Vice president mendapat Rp80 juta per bulan. 

Level direktur eksekutif digaji sekitar Rp50 juta. Sedangkan direktur mendapat gaji sekitar Rp30 juta.

Informasi yang diungkap ke publik ini mengernyitkan dahi masyarakat. Sebagian besar dari mereka bertanya-tanya bagaimana mungkin instansi berupa yayasan bisa menggaji para petingginya demikian tinggi. Bahkan, setara instansi perbankan atau migas.

Namun, instansi tersebut adalah perseroan terbatas (PT) yang dibolehkan mencari keuntungan. Berbeda dengan yayasan yang didirikan bukan untuk mencari keuntungan. 

Publik kemudian mulai mengulik isi Undang-Undang nomor 9 tahun 1961 mengenai pengumpulan uang atau barang. Aturan ini yang selama ini dijadikan dasar bagi aktivitas pengumpulan donasi dari publik. 

Berikut 3 poin penting yang perlu kamu ketahui ada di dalam UU tersebut:

1. Aksi pengumpulan donasi harus memperoleh izin dari Mensos dan kepala daerah

Deretan Poin Penting UU soal Pengumpulan Donasi yang Didesak Direvisiilustrasi dana donasi (IDN Times/Aditya Pratama)

UU nomor 9 tahun 1961 terdiri dari 9 pasal dan diteken oleh pejabat presiden RI, Djuanda. Di dalam UU yang sudah berusia 61 tahun itu, juga terdapat penjelasan pasal demi pasal di bagian belakang. 

Di dalam pasal 1, tertulis pengumpulan uang atau barang di dalam UU itu bermakna setiap usaha mendapatkan uang atau barang untuk pembangunan dalam bidang kesejahteraan sosial, mental atau agama, kerohanian, kejasmanian dan bidang kebudayaan. Di dalam pasal 2, tertulis untuk dapat melakukan pengumpulan uang atau barang sebagaimana tertulis di pasal 1, maka diperlukan izin lebih dahulu dari pejabat yang berwenang. 

Pejabat berwenang yang harus dimintakan izinnya tertulis di pasal 4. Total ada 3 pejabat yang dianggap berwenang memberikan izin untuk melakukan pengumpulan donasi yakni menteri sosial, gubernur, bupati atau wali kota, dan bupati. 

Izin dari menteri sosial wajib dikantongi bila pengumpulan donasi itu diselenggarakan di seluruh wilayah di Indonesia atau melampaui daerah tingkat I alias provinsi. "Atau untuk menyelenggarakan atau membantu suatu usaha sosial di luar negeri," demikian bunyi pasal 4 ayat 1(a). 

Meski demikian, di dalam pasal yang sama juga tertulis bahwa mensos tidak bisa seenaknya memberikan izin. Ia perlu mendengarkan masukan dari panitia pertimbangan yang terdiri minimal 5 anggota. 

Di dalam pasal 6 tertulis bahwa permohonan pengajuan izin untuk pengumpulan uang atau barang dapat ditolak oleh pemberi izin. "Keputusan itu diambil usai mendengarkan pendapat panitia pertimbangan," demikian isi UU tersebut.

Di dalam pasal 6 ayat 3 tertulis penolakan pemberian izin oleh mensos atau kepala daerah tingkat I (gubernur) adalah keputusan final. "Tidak dapat dimintakan lagi pertimbangan," kata UU tersebut.

Baca Juga: ACT Diduga Tilep Donasi, Anggota DPR: Kenapa Kemensos Tak Ikut Audit?

2. Poin yang harus dicantumkan di dalam surat pengajuan izin pengumpulan donasi

Deretan Poin Penting UU soal Pengumpulan Donasi yang Didesak DirevisiYummy Berbagi dengan Para Pekerja Informal Melalui #1Resep1NasiBungkus (IDN Media/Herka Yanis Pangaribowo)

Di dalam pasal 5 tertulis dokumen tertulis untuk pengajuan izin tidak membutuhkan materai. Pasal 5 ayat (2) tertulis dengan jelas di dalam pengajuan izin, harus tercantum sejumlah poin berikut:

  • maksud dan tujuan pengumpulan uang atau barang
  • cara penyelenggaraan donasi
  • siapa yang menyelenggarakan donasi
  • batas waktu penyelenggaraan donasi
  • luasnya penyelenggaraan donasi (wilayah, golongan)
  • cara penyaluran donasi

Setelah poin-poin itu tercantum, maka surat pengajuan izin untuk pengumpulan donasi dapat langsung diajukan ke pejabat pemberi izin. Pihak yang mengajukan izin dapat meminta pertimbangan dan putusan akhir dari gubernur, bila proposal mereka ditolak oleh bupati atau wali kota. 

3. Pengumpulan donasi tanpa izin terancam sanksi denda Rp10 ribu

Deretan Poin Penting UU soal Pengumpulan Donasi yang Didesak Direvisiilustrasi borgol (IDN Times/Mardya Shakti)

Di dalam UU itu, memang tercantum sanksi bagi pihak yang melakukan pengumpulan donasi tanpa izin. Namun, sanksinya tergolong ringan yaitu pidana kurungan selama 3 bulan atau denda sebanyak Rp10 ribu. Hal itu tercantum di pasal 8 ayat (1). 

Aksi pelanggaran di dalam pengumpulan donasi masuk dalam kategori pelanggaran tindak pidana. Maka, pelakunya bila terbukti bersalah dapat dikenakan ancaman hukuman bui. 

Lalu, di dalam pasal 8 ayat (3) tertulis bila pelanggaran itu terbukti tindak pidana, maka uang atau barang yang sudah dikumpulkan bakal disita dan digunakan untuk membiayai usaha-usaha kesejahteraan yang sejenis. 

4. Pakar hukum desak DPR dan pemerintah agar segera revisi UU nomor 9 tahun 1961

Deretan Poin Penting UU soal Pengumpulan Donasi yang Didesak DirevisiPakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti (IDN Times/Fitang Budhi)

Sementara, banyaknya celah di dalam UU nomor 9 tahun 1961, mendorong sejumlah pakar mendesak agar aturan itu segera direvisi oleh pemerintah dan DPR. Salah satu pakar hukum yang mendesak revisi itu adalah pengajar Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti. 

"Seharusnya momentum ini dimanfaatkan oleh pemerintah dan DPR buru-buru koreksi undang-undangnya dibuat sistem lebih akuntabel," ujar Bivitri dalam diskusi daring pada 9 Juli 2022 lalu.

Bivitri berpandangan keputusan Kementerian Sosial (Kemensos) dengan mencabut izin Pengumpulan Uang dan Barang (PUB) ACT tidak menyelesaikan masalah. Sebab, UU yang digunakan sebagai acuan sudah lawas.

"Respons pemerintah harusnya tidak sekedar cabut izin, itu tidak menyelesaikan masalah," kata dia.

Selain itu, orang yang diduga menyelewengkan dana juga sudah diminta mundur dan masih bisa membuat organisasi baru. Menurutnya, pemerintah harus hadir dalam permasalahan tersebut dengan mengubah undang-undang terkait pengumpulan sumbangan.

Terlebih, lembaga filantropi menjadi salah satu aspek yang membantu pemerintah dalam membantu masyarakat yang kesulitan.

"Filantropi itu esensial untuk demokrasi, karena sebenarnya filantropi membagi pertanggungjawaban dengan pemerintah yang tujuan negara pasti salah satunya di pembukaan UUD 1945 mencegah kesusahan rakyat," tutur dia lagi.

Baca Juga: Presiden ACT Ibnu Khajar dan Pendiri ACT Ahyudin Diperiksa Polisi

Topik:

  • Rendra Saputra

Berita Terkini Lainnya