Dokter Tirta: Publik Mikir Vaksin Mandiri Pakai Merek yang Lebih Baik

Edukasi yang buruk sebabkan warga masih tak mau divaksinasi

Jakarta, IDN Times - Relawan satgas penanganan COVID-19, dokter Tirta Mandira Hudhi meminta agar vaksin mandiri tidak buru-buru dilakukan. Sebab, hingga kini masih banyak warga yang enggan divaksinasi COVID-19.

Hal itu lantaran edukasi dan sosialisasi mengenai vaksin COVID-19 hanya dilakukan mayoritas di media sosial. Sementara, merujuk data dari Biro Pusat Statistik (BPS), hanya 30 persen rakyat di Indonesia yang menggunakan media sosial. Kini, ketika topik vaksin mandiri ramai diperbincangkan, Tirta memiliki tugas baru untuk disampaikan ke publik. 

"Semua komplain di media sosial Twitter dan mengatakan dok, berarti yang mandiri (gunakan merek vaksin) yang lebih bagus dong? Karena image di Indonesia yang membayar biasanya dapat lebih bagus. Mau itu buat (industri) padat karya, tetapi image di publik adalah (vaksin) gratis itu elek (jelek). Itu image yang sudah terlanjur ada di benak publik," kata Tirta ketika berbicara di program "Ngobrol Seru" by IDN Times yang tayang, Rabu (27/1/2021). 

Ia pun mempertanyakan bila vaksinasi mandiri menggunakan merek selain CoronaVac atau vaksin Sinovac buatan Tiongkok, apakah hal tersebut akan diterima oleh publik.

"Kan bisa saja masyarakat berpikir wah, saya dapat vaksin gratis yang (efikasi) 65 persen. Sekarang kan (vaksin) Pfizer sedang dibanding-bandingkan dengan (vaksin buatan) Sinovac," ujarnya. 

Publik, kata Tirta, tidak akan memahami lebih jauh perbedaan teknologi yang digunakan dalam mengembangkan kedua vaksin tersebut. Sinovac diketahui menggunakan teknologi inactivated virus, sementara Pfizer mengembangkan teknologi baru mRNA (protein spike). 

Oleh sebab itu, ia menyarankan agar pemerintah terus memperbaiki komunikasi mengenai vaksinasi ke publik. Bila belum ada keputusan dan mekanisme soal vaksinasi mandiri, maka jangan disampaikan ke ruang publik. 

"Lebih baik kita fokus untuk tuntaskan dulu vaksinasi (gratis), data dulu tenaga kesehatan yang belum dapat (vaksin) siapa, sukseskan PPKM supaya maksimal di tiga tempat, setelah terbukti KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) Sinovac minimal, tidak ada keluhan berarti, penyakit terkontrol, baru silakan perusahaan masuk (untuk vaksin mandiri)," tutur dia lagi.

Apa tanggapan pengusaha soal tudingan mereka ingin memperjual belikan vaksin COVID-19?

1. Pengusaha berikan vaksin COVID-19 ke pegawai secara gratis

Dokter Tirta: Publik Mikir Vaksin Mandiri Pakai Merek yang Lebih BaikKetua Umum KADIN, Rosan Roeslani (Tangkapan layar YouTube IDN Times)

Di program yang sama, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Rosan P. Roeslani menegaskan, vaksin COVID-19 yang dibeli pengusaha akan diberikan secara cuma-cuma bagi para pegawainya.

"Bahkan, kami perluas lagi kepada keluarganya. Perusahaan yang ikut dalam program ini, mereka melakukannya secara sukarela," ungkap Rosan. 

Ia menepis anggapan bahwa vaksin yang dibeli oleh para pengusaha akan diperjual belikan. Menurutnya, KADIN pun sejalan dengan keinginan pemerintah untuk memberikan vaksin COVID-19 bagi para pegawai secara gratis. Sebab, biaya yang dikeluarkan untuk melakukan vaksinasi lebih rendah dibandingkan rutin menggelar tes swab antigen atau PCR. 

"Jadi, kami tekankan ini (vaksin mandiri) harus gratis, tidak boleh dibebankan kepada para pekerja," ujarnya lagi. 

Ia juga menyampaikan ada dua mekanisme untuk memperoleh vaksin COVID-19. Pertama, dengan membeli stok vaksin COVID-19 yang sudah diimpor oleh pemerintah. Kedua, membeli langsung vaksin ke perusahaan farmasi. 

"Pengusaha boleh mengimpor dan membeli langsung dari produsen bila diizinkan oleh pemerintah," katanya. 

Baca Juga: Dokter Tirta: Vaksin Gratis Aja Banyak yang Gak Mau, Apalagi Mandiri

2. Dokter Tirta usul agar pemerintah ajak BPK dan KPK awasi pengadaan vaksin skema mandiri

Dokter Tirta: Publik Mikir Vaksin Mandiri Pakai Merek yang Lebih BaikRelawan Satgas COVID-19, dr. Tirta Hudhi (Tangkapan layar YouTube IDN Times)

Di dalam program itu, Tirta turut mengusulkan kepada pemerintah bila nantinya resmi membuka kebijakan vaksin mandiri, maka mengajak Badan Pengawas Keuangan (BPK) Kementerian Perindustrian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tujuannya agar mencegah cawe-cawe dalam pemberian kuota vaksin COVID-19 kepada perusahaan swasta. 

"Jadi, jangan sampai ada perasaan pengusaha yang merasa dianak tirikan karena tidak mendapat jatah vaksin. Justru ini yang dikhawatirkan oleh Dr. Pandu Riono akan terbentuk image di benak publik bahwa hanya pengusaha yang memiliki perusahaan yang dapat vaksin mandiri," ujarnya. 

Pria yang juga pengusaha itu mewanti-wanti bahwa kasus COVID-19 di Indonesia sudah menembus angka 1 juta. Sementara, vaksin bukan solusi utama untuk mengakhiri pandemik. 

"Solusinya adalah mengontrol mobilisasi ditambah edukasi yang baik," kata dia lagi. 

3. Vaksinasi COVID-19 harus diimbangi dengan pembatasan mobilitas warga

Dokter Tirta: Publik Mikir Vaksin Mandiri Pakai Merek yang Lebih BaikIlustrasi pengujian klinis tahap III vaksin COVID-19. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

Tirta mengatakan, buruknya edukasi dan sosialisasi mengenai protokol kesehatan bisa terlihat di kota-kota lain yang tidak terlalu besar. Ia mencontohkan Indramayu, Jawa Barat. Saat berkunjung ke sana, ia melihat banyak warga yang tidak mengenakan masker. 

"Kalau orang-orang di Jakarta divaksinasi, tetapi yang di Indramayu tidak (disuntik vaksin) maka hasilnya sama saja (pandemik tidak terkendali)," ungkap Tirta. 

Itu sebabnya, penting di masa sekarang untuk membatasi mobilisasi. Ia mengambil contoh beberapa negara justru memulai vaksinasi di tengah pembatasan pergerakan manusia yang semakin ketat. Tirta menyebut Inggris yang memberlakukan lockdown lapis kelima. Pemerintahnya pun baru meminta maaf ke publik karena gagal meredam angka kematian akibat COVID-19. 

Pada Rabu (27/1/2021), tercatat lebih dari 100 ribu warga Inggris meninggal karena COVID-19. Contoh lain Australia yang kini melarang sementara waktu warga dari Selandia Baru. Sebab, di sana muncul kembali kasus harian COVID-19. 

"Cuma di Indonesia saja yang blunder dan membiarkan TKA masih masuk. Itu pun akhirnya kita minta maaf," katanya. 

Imigrasi mengakui 153 tenaga kerja asal Tiongkok tetap dibiarkan masuk ke Indonesia di saat PPKM karena memiliki izin tinggal tetap dan sementara. 

https://www.youtube.com/embed/mhMaXkWP4G8

Baca Juga: Istana: Vaksin Mandiri Tidak Hanya bagi Orang yang Mampu 

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya