Hukuman Cambuk di Aceh Dilakukan di Lapas Timbulkan Polemik Baru

Aturan ini banyak dikritik karena dianggap tak manusiawi bagi terpidana

Jakarta, IDN Times - Pemerintah Daerah Istimewa Aceh memberlakukan kebijakan baru terkait pelaksanaan hukuman cambuk. Kalau sebelumnya hukuman cambuk dilaksanakan di area terbuka dan dapat disaksikan publik, maka ke depan terpidana cambuk dilakukan secara tertutup di dalam lembaga pemasyarakatan.

Hal itu tertuang di dalam nota kesepahaman (MoU) yang diteken Gubernur Aceh Irwandi Yusuf bersama Kepala Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Aceh, A Yuspahruddin pada Kamis (12/4) lalu di Amel Convention Hall, Aceh. Celakanya, ide pelaksanaan hukuman itu turut disetujui oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.

Gubernur Irwandi mengatakan pelaksanaan hukuman cambuk sengaja dilakukan di dalam lapas agar tidak disaksikan anak-anak. Belum lagi, menurut mereka, dengan dicambuk di ruangan tertutup, bisa mengurangi dampak psikologis keluarga terdakwa. 

"Kami dengan Pak Gubernur sudah ada kerja sama, sebagai instansi pemerintah kami mendukung apa yang telah diputuskan oleh Pak Gubernur," ujar Yasonna usai menekan MoU itu pekan lalu. 

Namun, MoU itu menimbulkan polemik baru. Sebab, kendati agar tidak ditonton anak-anak, masyarakat tetap dapat menyaksikan terpidana dieksekusi cambuk. Kalau sudah begini, apakah hukuman itu akan benar-benar memberikan efek jera atau hanya tindakan penghalus agar semata-mata tidak terlihat melanggar HAM?

1. Hukuman cambuk di dalam penjara untuk melindungi HAM terpidana

Hukuman Cambuk di Aceh Dilakukan di Lapas Timbulkan Polemik BaruANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Menkum HAM Yasonna berdalih pelaksanaan hukuman cambuk di dalam lapas dianggap lebih manusiawi? Mengapa? 

"Tujuannya agar tidak dapat ditonton oleh anak-anak, tanpa ada kamera atau ponsel (yang mengabadikan)," kata Yasonna kepada media pekan lalu seperti dikutip dari kantor Associated Press pada Jumat (13/4). 

Namun, pelaksanaan hukumannya yang dilakukan secara tertutup justru diprotes sebagian mahasiswa. Sekelompok mahasiswa yang menamakan diri Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim (KAMMI) Aceh melakukan aksi demo saat MoU itu diteken. 

Ketua KAMMI Tuanku Muhammad mengatakan, mereka tetap setuju adanya pelaksanaan hukuman cambuk menggunakan rotan. Hanya saja mereka memprotes mengapa dilakukan di area tertutup. 

"Kami menolak Pemda Aceh menandatangani MoU hukuman cambuk di dalam lapas," ujar Tuanku kepada media. 

Tuanku menilai jika eksekusi cambuk dilakukan di dalam area tertutup, publik tidak dapat mengetahui apakah hukuman telah dilakukan. Padahal, tujuan utama dari eksekusi cambuk itu bukan semata-mata efek sakit yang dirasakan, tetapi juga efek jera dan malu yang ditimbulkan. Padahal ke depan diharapkan terpidana tidak lagi melakukan perbuatan yang sama. 

"Kalau cambuk dilakukan secara tertutup, maka tidak akan (menimbulkan efek jera lagi)," kata Tuanku. 

Baca juga: Jelang Eksekusi Cambuk, Pasangan Gay Ini Ungkap Keresahannya

2. Dilakukan di area tertutup atau terbuka, hukuman cambuk tetap menyiksa terpidana

Hukuman Cambuk di Aceh Dilakukan di Lapas Timbulkan Polemik Barusbs.com.au

Sementara, dalam pandangan aktivis Human Rights Watch Andreas Harsono, lokasi pelaksanaan eksekusi bukan lah hal penting. Sebab, eksekusi cambuk dilakukan di area terbuka atau tertutup, pada faktanya tetap saja itu merupakan suatu bentuk penyiksaan. 

"Itu tetap saja satu bentuk penyiksaan dan menimbulkan rasa trauma. Mau Anda lakukan di hadapan publik, di luar masjid usai pelaksanaan salat Jumat, atau dilakukan di dalam ruangan dan melarang orang mengambil gambarnya," kata Andreas seperti dikutip dari AP. 

Selain meminta agar pelaksanaan hukuman cambuk dihentikan, Human Rights Watch juga meminta agar Pemda membebaskan empat pria yang ditangkap pada Maret lalu karena diduga melakukan hubungan seksual sesama jenis. Sesuai hukum syariat Islam yang berlaku di Aceh, maka setiap pria itu harus dicambuk 100 kali. 

3. Pelaksanaan hukuman cambuk di dalam lapas bertentangan dengan konsep awal dibangunnya lapas

Hukuman Cambuk di Aceh Dilakukan di Lapas Timbulkan Polemik Barumedcom.id

Sementara, organisasi Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai pelaksanaan hukuman cambuk di dalam lembaga pemasyarakatan justru bertentangan dengan tujuan awal pembangunan lapas. 

"Filosofi dasar dari lahirnya Lapas adalah untuk menghapuskan sistem kepenjaraan yang sangat tidak manusiawi, penghukuman badan dan penyiksaan," ujar Direktur ICJR Anggara Suwahju melalui keterangan tertulis pada pekan lalu. 

Kemenkum HAM menerabas UU Nomor 12 Tahun 1995 mengenai pemasyarakatan kalau tetap bersikukuh memberlakukan hukuman cambuk di dalam lapas. Pada Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 1995 secara jelas dinyatakan bahwa pembinaan narapidana berdasarkan asas penghormatan harkat dan martabat manusia dan satu-satunya penderitaan yang boleh dibebankan kepada napi adalah kehilangan kemerdekaan. 

"Apalagi pada April 2016, Menkum HAM menuntut seluruh Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia untuk membangun karakter narapidana dengan pembinaan berkesinambungan, sehingga nantinya mereka dapat menjadi kader terbaik saat kembali ke masyarakat," kata Anggara. 

Menurutnya, Menkum HAM juga menerabas aturan internasional seperti Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik serta Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan manusia. 

4. Hukuman cambuk juga berlaku bagi umat non Muslim 

Hukuman Cambuk di Aceh Dilakukan di Lapas Timbulkan Polemik BaruANTARA FOTO/Rahmad

Kendati, semula pelaksanaan hukuman cambuk hanya berlaku bagi pemeluk agama Islam, tetapi pada kenyataannya hukuman tersebut juga dilakukan terhadap umat non Muslim. Dari catatan media, sudah ada tiga umat non Muslim yang dikenai hukuman cambuk dan dilakukan di depan umum. 

Terakhir, seorang pria 40 tahun dan berinisial JS dicambuk di depan umum. Ia dihukum cambuk 36 kali terkait kasus khamar atau minuan keras. Menurut Kasi Penindakan Satpol PP dan polisi Syariat Banda Aceh Evendi Abdul Latif, terpidana non Muslim sesungguhnya dapat memilih apakah ingin mengikuti hukum cambuk atau hukum di KUHP. 

"Kalau mereka ingin mengikuti KUHP boleh saja, kasusnya dilimpahkan ke kepolisian. Tapi mereka memilih dicambuk," ujar Evendi seperti dikutip media. 

Sementara, sejak 2017, ICJR sudah mengusulkan agar hukuman cambuk di Aceh dihapuskan. Selain bertentangan dengan banyak aturan hukum, ada 37 perempuan yang dihukum cambuk selama 2015-2016. 

"ICJR lebih prihatin lagi karena hukuman cambuk yang diberikan semakin berat, sampai dengan 100 deraan hukuman cambuk. Artinya, klaim hukuman cambuk yang digunakan untuk mempermalukan terpidana tidak lagi bisa dipertahankan. Secara perlahan-lahan hukuman ini berubah menjadi bengis karena bersifat melukai-merusak tubuh," ujar peneliti di ICJR Ajeng Gandini Kamilah tahun lalu. 

Baca juga: Tentang Aturan Baru Pelaksanaan Hukuman Cambuk di Aceh

Topik:

Berita Terkini Lainnya