ICW: Sudah Tak Lagi Relevan Kalau Mau Golput di Pemilu 2019

Golput baru relevan kalau hidup di rezim otoriter

Jakarta, IDN Times - Koordinator organisasi Indonesia Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo mengajak agar calon pemilih menggunakan hak suaranya dalam pemilu 2019. Jangan sampai publik malah memilih untuk golput. Dalam pandangan Adnan, bersikap golput di pemilu tahun ini sudah tak lagi relevan. 

"Akan relevan apabila kita hidup di rezim yang otoriter karena itu sebagai bentuk perlawanan. Mengapa kita ketika itu bersikap golput? Karena pemenangnya sudah ditentukan, jadi untuk apa memilih?," ujar Adnan beralasan ketika ditemui di sebuah diskusi di area Cikini, Jakarta Pusat pada Selasa (16/4). 

Lalu, apakah calon pemilih yang bersikap golput karena sejak awal tak berminat untuk memilih berpengaruh terhadap pesta demokrasi lima tahun itu? 

1. ICW yakin pemilih yang golput karena alasan ideologis tak berpengaruh terhadap pemilu 2019

ICW: Sudah Tak Lagi Relevan Kalau Mau Golput di Pemilu 2019ANTARA FOTO/ Akbar Tado

Adnan kemudian mengutip data dari lembaga survei Indikator yang menyebut jumlah calon pemilih yang bersikap golput dengan alasan ideologis kurang dari satu persen. Data dari lembaga survei yang sama menyebut justru calon pemilih menjadi golput karena alasan teknis seperti namanya tidak tercantum di dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), tidak bisa mencoblos sesuai TPS atau alasan lain. 

"Jadi, ini sudah bukan eranya golput. Era golput dalam makna ideologis sudah selesai (masanya)," kata Adnan. 

Baca Juga: H-1 Pemilu, Tagar #01TheChampion Masuk Trending Worldwide Twitter

2. Adnan mengajak publik tidak terlalu sempit memandang kebijakan negara

ICW: Sudah Tak Lagi Relevan Kalau Mau Golput di Pemilu 2019IDN Times/Angelia Nibennia Zega

Ada banyak hal yang membuat orang akhirnya memilih bersikap golput secara ideologis. Namun, sebagian besar bersikap golput karena tidak melihat adanya perubahan yang signifikan dalam kebijakan yang telah diterapkan oleh pemerintah. Tetapi, Adnan mengajak publik untuk tidak selalu apatis dalam melihat dinamika politik. 

"Tidak ada satu kebijakan yang sempurna, karena sebuah negara harus ditopang oleh berbagai kepentingan, kepentingan si A, B atau kelompok tertentu. Apabila karena hal itu kemudian kita menjadi golput, maka kita terlalu sempit untuk melihat negara, politik dan dinamika," kata Adnan. 

Ia memberikan contoh ada yang mengkritik kebijakan transportasi publik kereta MRT bisa dilakukan oleh pejabat negara siapa saja. Tetapi, pada faktanya setelah puluhan tahun berlalu, kebijakan itu baru terealisasi dan dirasakan manfaatnya oleh publik di tahun 2019. 

"Padahal anggarannya ada sejak puluhan tahun lalu, kebijakannya sudah ada juga. Tapi, kok tidak jalan. Itu yang harus dipikirkan," tutur dia. 

3. Pemilu tahun ini merangkul kelompok minor seperti disabilitas

ICW: Sudah Tak Lagi Relevan Kalau Mau Golput di Pemilu 2019Antara Foto

Pemilu tahun 2019 juga mulai merangkul kelompok minoritas seperti kaum disabilitas. Data dari Pusat Pemilihan Umum Akses Disabilitas (PPUA) tercatat ada 35 disabilitas yang maju sebagai caleg. Angka itu diakui oleh anggota PPUA, Aprilsyah tidak mengalami peningkatan alias stagnan. 

Dalam pandangan Adnan, hal ini menjadi satu sinyalemen positif di dalam pesta demokrasi. 

"Artinya, kelompok minoritas ini mulai punya suara dan mulai berani menyuarakan hak mereka. Saya kira itu peluang yang bisa mereka mainkan, karena kita sudah terlalu lama melupakan mereka," kata Adnan. 

Hal lain yang disoroti oleh Adnan yakni jumlah pemilih di luar negeri jauh lebih tinggi apabila dibandingkan pemilu 2014 lalu. Saking antusiasnya, calon pemilih di luar negeri rela menempuh jarak jauh untuk memberikan suaranya secara langsung. Padahal, WNI di Indonesia memilih opsi lebih banyak. 

"Kalau pemilu di luar negeri, WNI nya lebih antusias, masak kita yang hidup di dalam negeri kalah dari mereka?," tanya Adnan. 

4. Mengajak orang menjadi golput tergolong perbuatan pidana

ICW: Sudah Tak Lagi Relevan Kalau Mau Golput di Pemilu 2019Dok.Pribadi/Pambayun Purbandini

Pemerintah memang tidak melarang siapa pun untuk menjadi golput. Tapi, kasusnya berbeda jika ada pihak yang dengan sengaja mengajak orang lain untuk menjadi golput.

Tidak main-main, mereka yang mendorong orang lain menjadi golput akan berhadapan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD. Ancaman pidana penjaranya mencapai dua tahun. 

Setidaknya ada dua pasal dalam UU No. 8 Tahun 2012, yang menjelaskan tentang ancaman bagi mereka yang mengajak orang golput, yakni:

- Pasal 292
Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp24 juta.

- Pasal 301 ayat 3
Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp36 juta.

Jadi, kamu masih mau bersikap golput di pemilu 2019?

Baca Juga: Golput Meningkat di Pilpres 2019, Siapa yang Untung?

Topik:

Berita Terkini Lainnya