ICW Kritik KPK yang Lebih Fokus Bui Koruptor Ketimbang Kejar Asetnya

Tahun 2018, KPK hanya mengembalikan Rp500 miliar ke negara

Jakarta, IDN Times - Organisasi Indonesia Corruption Watch (ICW) melakukan evaluasi terhadap kepemimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019. Evaluasi dilakukan lantaran masa tugas lima pimpinan lembaga antirasuah segera berakhir pada Desember mendatang. Malah, ICW sudah mulai mendesak kepada Presiden Joko "Jokowi" Widodo agar segera membentuk panitia seleksi untuk pemilihan pimpinan yang baru. 

Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana pada Minggu (12/5) menyoroti beberapa poin soal kepemimpinan KPK jilid keempat tersebut. Salah satunya yakni soal masih lemahnya fokus KPK dalam mengembalikan aset milik koruptor ke negara. Yang jadi fokus KPK, kata Kurnia, bagaimana memenjara pelaku tindak korupsi. 

"Padahal, salah satu instrumennya, bisa dengan menggunakan UU nomor 8 tahun 2010 mengenai tindak pidana pencucian uang (TPPU). Mengapa ini menjadi penting? Karena apabila korupsi mengakibatkan kerugian negara, maka instrumen yang tepat untuk mengembalikan itu dengan menggunakan UU TPPU," kata Kurnia pada Minggu kemarin di kantor ICW kawasan Kalibata, Jakarta Selatan. 

Selain itu, dengan digunakan juga UU TPPU, maka hukuman bagi pelaku tindak kejahatan korupsi bisa lebih berat. Ia mengatakan kinerja pimpinan yang dipotret yakni pada periode 2016-2018 lalu, kendati lima komisioner dilantik pada Desember 2015. Selain itu, Kurnia juga menyampaikan kritik yang disampaikan mengenai KPK bukan berarti ingin membuka kebobrokan lembaga antirasuah. 

"Melainkan, kami ingin memberikan masukan agar kinerja lebih baik lagi," tutur dia. 

Lalu, berapa banyak kasus korupsi yang dikenakan pasal TPPU oleh KPK selama periode kepemimpinan jilid keempat?

1. Pada periode 2016-2018, KPK menggunakan UU tindak pencucian uang untuk 15 kasus saja

ICW Kritik KPK yang Lebih Fokus Bui Koruptor Ketimbang Kejar AsetnyaIDN Times/Sukma Shakti

Dalam catatan ICW, di periode kepemimpinan jilid keempat, KPK hanya menerapkan UU tindak pencucian uang untuk 15 kasus korupsi saja. Contoh salah satu kasus yang paling nyata terjadi tindak pencucian uang namun belum diumumkan sebagai tersangka yakni kasus korupsi KTP Elektronik yang diduga melibatkan mantan Ketua DPR, Setya Novanto. 

"Padahal, di muka persidangan, ketika membacakan surat tuntutan, jaksa KPK sudah mengatakan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Setya Novanto adalah korupsi dengan cita rasa pencucian uang," kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana pada Minggu kemarin. 

Menurut, dia seharusnya, korupsi di kasus KTP Elektronik juga sudah bisa dikenakan UU Tindak Pidana Pencucian Uang. Selain sudah ada uang yang diubah bentuknya menjadi aset, ditemukan pula adanya aliran duit ke dan dari beberapa negara. 

"Padahal, bicara TPPU, pembuktiannya jauh lebih mudah dengan mengikuti follow the money. Apalagi sifat pendekatan dengan metode itu bersifat rahasia, sehingga akan meminimalisasi resistansi pelaku korupsi karena KPK akan menggandeng PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan)," kata dia lagi. 

Baca Juga: Setya Novanto Makan di Rumah Makan Padang, Kumham: Sekalian Cari Angin

2. KPK menilai tidak mudah untuk menggunakan UU TPPU dalam kasus korupsi

ICW Kritik KPK yang Lebih Fokus Bui Koruptor Ketimbang Kejar AsetnyaIDN Times/Margith Juita Damanik

Sementara, ketika dikonfirmasi dalam program Sapa Indonesia Malam yang tayang di Kompas TV pada (29/4) lalu, juru bicara KPK, Febri Diansyah menjelaskan tidak mudah untuk menggunakan UU TPPU dalam suatu kasus korupsi. Presenter program tersebut mengutip pernyataan Febri yang mengatakan soal TPPU bukan sekedar korupsi lalu hasil praktik rasuah itu dibelikan barang. 

"Harus juga ada unsur penggelapan, demikian kata Mas Febri," ujar presenter dalam tayangan itu yang menirukan kembali ucapan Febri malam itu. 

Selain itu, mantan aktivis antikorupsi tersebut turut menjelaskan ada hal yang memberatkan dan meringankan yang jadi pertimbangan jaksa KPK dalam menentukan tuntutan bagi para tersangka. 

"Apakah ia bersikap kooperatif (selama proses penyidikan dan persidangan). Akhir-akhir ini cukup banyak terdakwa korupsi yang pada akhirnya mengakui perbuatannya. Meskipun pengakuan itu tidak menghilangkan tanggung jawabanya. Tapi, tentu itu harus dihitung sebagai faktor yang meringankan," kata Febri. 

3. Hasil dialog antara ICW dengan pimpinan KPK justru mengungkap kekurangan SDM jadi faktor pasal TPPU tidak digunakan

ICW Kritik KPK yang Lebih Fokus Bui Koruptor Ketimbang Kejar AsetnyaIDN Times/Angelia Nibennia Zega

Sementara, jawaban yang menarik justru diungkapkan secara blak-blakan oleh Koordinator ICW, Adnan Topan Husodo. Menurut Adnan, hasil dari pertemuannya dengan pimpinan KPK mengungkap penyidik lembaga antirasuah sudah terbebani dengan tugas untuk menangkap dan memenjarakan para pelaku korupsi. Sehingga, mereka tidak lagi memiliki waktu dan sumber daya untuk menjerat pelaku korupsi dengan pasal TPPU. 

"Berarti, institusi penegak hukum seperti KPK membutuhkan reorganisasi dan desain baru dengan lebih mengakomodasi pendekatan follow the money nya dalam penegakan hukum, sehingga keduanya bisa berjalan secara paralel," kata Adnan. 

Apalagi jumlah penyidik KPK diketahui tidak banyak. Data terbaru yang dirilis oleh KPK per April 2019 menunjukkan jumlah penyidik lembaga antirasuah hanya sekitar 123 orang. 

4. Pakar TPPU mendorong agar KPK menggunakan pasal pencucian uang sejak awal kasus diusut

ICW Kritik KPK yang Lebih Fokus Bui Koruptor Ketimbang Kejar Asetnya(Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang Yenti Garnasih) ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

Kritik juga disampaikan oleh pakar TPPU dari Universitas Trisakti, Yenti Garnasih. Berbicara di program yang sama, Yenti justru mempertanyakan mengapa KPK justru tidak mengenakan pasal TPPU sejak awal para penyidiknya mengungkap kasus korupsi. 

"Korupsi tidak akan terjadi TPPU, kalau usai terjadi korupsi lalu langsung ditangkap. Artinya, uang yang dikorupsi belum sempat dibelanjakan. Itu kan baru disebut tidak terjadi TPPU," kata Yenti pada (29/4) lalu. 

Ia menyebut barang-barang yang dirampas oleh KPK dari para koruptor menunjukkan sudah terjadi TPPU. Apabila tidak, maka benda tersebut tidak akan dirampas lalu dilelang dan hasilnya dimasukan ke dalam kas negara. 

"Kenapa KPK merampas barang dan bukan uang? Itu kan membuktikan sudah terjadi TPPU," kata dia. 

Yenti bahkan mengoreksi pernyataan Febri yang menyebut kasus korupsi baru bisa diproses TPPU apabila terjadi tindak penggelapan. Menurutnya, korupsi juga dikategorikan perbuatan pencucian uang apabila ada upaya untuk menyamarkan hasil rasuahnya. 

Peraih doktor pertama di bidang TPPU di Indonesia itu turut mengkritik agar tidak mengeluh mengapa hukuman bagi para koruptor tergolong ringan. Menurutnya, ada andil juga dari KPK lantaran sejak awal memproses kasus korupsi tidak sekaligus menggunakan pasal TPPU. 

"Kalau sejak awal TPPU digunakan secara akumulatif, pasti ancaman pidana dan pidana yang dijatuhkan pasti berat. Uang hasil kejahatan bisa disita dan dikembalikan ke negara," tuturnya lagi. 

5. Kerugian negara akibat korupsi sepanjang 2016-2018 mencapai Rp17,2 triliun, tapi yang baru bisa dikembalikan hanya Rp1,2 triliun

ICW Kritik KPK yang Lebih Fokus Bui Koruptor Ketimbang Kejar AsetnyaIDN Times/Sukma Shakti

Catatan penting lainnya yakni dengan tidak optimalnya menggunakan pasal TPPU turut berdampak jumlah kerugian keuangan negara yang dapat dikembalikan oleh KPK juga sedikit. Data yang dikutip dari lembaga antirasuah sepanjang periode 2016-2018, kerugian keuangan negara yang disebabkan dari korupsi mencapai Rp17,2 triliun.

Namun, yang dapat dikembalikan tidak mencapai separuhnya. Data menunjukkan di periode yang sama, KPK baru bisa mengembalikan kerugian keuangan negara Rp1,27 triliun. 

Lalu, apa komentar KPK soal pengembalian kerugian keuangan negara yang belum optimal ini? Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang pernah memberikan jawaban atas pertanyaan IDN Times pada 20 Desember 2018 lalu. 

"KPK kan memang bukan cari untung atau penagih pajak eksport impor. Jadi, yang didapat oleh KPK dengan yang dikeluarkan bisa jadi tidak seimbang. Kami kan mendapat (anggaran) kurang dari Rp800 miliar setiap tahun, masuknya cuma segitu. Ya, mau bagaimana hanya segitu yang bisa kami buktikan pada 2018," kata Saut yang ditemui ketika itu di Hotel Mandarin Oriental, Jakarta Pusat. 

Ia berdalih KPK baru bisa memproses suatu kasus tergantung dari kecukupan bukti. KPK tidak dapat berbuat apa pun seandainya tidak ada bukti. 

Saut turut menambahkan, kadang kala dari upaya penindakan justru menjadi pintu masuk untuk mengusut kasus dengan nilai kerugian negara yang jauh lebih besar. 

"Dapatnya (saat OTT) Rp30 juta, tapi belakangan gede-gede (yang dikembalikan ke negara), baik itu rumah atau kendaraan. Jadi, sebenarnya bukan masalah besar kecil (nominal yang disumbang ke negara), yang harus digaris bawahi yakni dari perbuatan korupsi itu telah merusak moral bangsa," tutur dia lagi.

Baca Juga: Sepanjang 2018, KPK Setor Rp500 Miliar ke Kas Negara 

Topik:

Berita Terkini Lainnya