IDI: Pemberhentian Tetap Dokter Terawan Tak Berlaku Seumur Hidup

Panglima TNI akan ikut keputusan MKEK soal nasib Terawan

Jakarta, IDN Times - Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Dr. dr. Moh. Adib Khumaidi menemui Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa baru-baru ini. Adib ingin mengenalkan kepengurusan baru IDI periode 2022 hingga 2025. Selain itu, Adib dan Andika turut membahas nasib Terawan Agus Putranto yang direkomendasikan di Muktamar ke-XXXI agar diberhentikan tetap dari IDI. 

Adib menyampaikan kepada Andika, status pemberhentian tetap terhadap Terawan bukan berarti ia selamanya tak bisa menjadi dokter. "Kalau pemberhentian tetap itu bukan diartikan seumur hidup, Pak Panglima. Jadi, masih ada ruang seandainya Beliau (Terawan) ingin menjadi anggota kembali, kita akan buatkan forum secara internal. Saya yakin karena rumah semua dokter di Indonesia ada di IDI, maka siapapun yang mau masuk, pasti akan kami terima," ungkap Adib seperti dikutip dari YouTube Jenderal Andika pada Senin, (25/4/2022). 

Ia menjelaskan selaku Ketum PB IDI, maka Adib diwajibkan mengambil tindakan dalam kurun waktu 28 hari usai direkomendasikan oleh Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK). Rekomendasi itu dibacakan di muktamar di Aceh pada 25 Maret 2022 lalu. Artinya, keputusan sudah harus diambil Adib paling lambat 23 April 2022 lalu. 

Sementara, Andika menegaskan bahwa selaku Panglima TNI, semua jajarannya bertindak kepada aturan dan undang-undang yang berlaku. "IDI selaku organisasi kan sudah memiliki kewenangan yang melekat di dirinya dan bagi saya itu kan telah menjadi satu hukum atau perundang-undangan," kata Andika merespons pernyataan Adib. 

Apakah ini bermakna izin praktik Terawan di RSPAD Gatot Subroto terancam tak bisa lagi diperpanjang?

Baca Juga: Anggota MKEK IDI Sebut Disertasi Terawan soal Terapi DSA Cacat Fatal

1. Terawan tercatat punya izin praktik sebagai dokter hingga 5 Agustus 2023

IDI: Pemberhentian Tetap Dokter Terawan Tak Berlaku Seumur HidupEks Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto ketika mengikuti rapat kerja dengan komisi IX di Kompleks Parlemen, Senayan pada 10 Desember 2020. (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

Di dalam keterangan persnya pada 1 April 2022 lalu, Ketua Bidang Hukum Pembelaan dan Pembinaan Anggota (BHP2A) PB IDI, Beni Satria, soal pemberian izin praktik sebagai dokter menjadi ranah dan kewenangan pemerintah. Dalam hal ini, hal tersebut dikeluarkan oleh dinas kesehatan di wilayah setempat. Tetapi, sebelum pemberian izin praktik dikabulkan, maka calon dokter tersebut harus melampirkan surat rekomendasi untuk praktik dari IDI. 

Beni pun menyebut izin praktik Terawan tercatat masih berlaku hingga 5 Agustus 2023. Namun, Beni menegaskan, Terawan hanya boleh menjalankan praktik yang sudah based on evidence. Ia tak boleh lagi menjalankan modifikasi DSA untuk pengobatan 'cuci otak'.

Metode DSA oleh Terawan dimodifikasi menjadi intra-arterial heparin flushing (IAHF) atau lebih dikenal dengan 'cuci otak'. Metode IAHF ini dinilai meragukan karena menggunakan alat yang tidak difungsikan semestinya dan belum terbukti secara ilmiah atau evidende-based medicine (EBM) sebagai syarat pengobatan kedokteran.

Tetapi, ini justru dikomersialkan dan diklaim manjur untuk terapi stroke. Ini lah yang kemudian menjadi pangkal permasalahan. 

Usai dipecat dari IDI, kata Beni, hak-hak sebagai anggota tentu tidak didapatkan lagi oleh dokter. Mulai dari rekomendasi izin praktik hingga jabatan-jabatan yang mengharuskan dijabat oleh seorang dokter yang diatur dalam MKEK, seperti menjadi ketua di perhimpunan dokter.

Baca Juga: Komisi IX Desak IDI Cari Solusi Agar Terawan Batal Dipecat Permanen

2. IDI melarang semua rumah sakit menggunakan metode DSA untuk pengobatan

IDI: Pemberhentian Tetap Dokter Terawan Tak Berlaku Seumur HidupIlustrasi rumah sakit. (IDN Times/Arief Rahmat)

Di sisi lain, Beni menjelaskan semua rumah sakit di Indonesia tak boleh menggunakan metode DSA untuk terapi bagi pasien stroke. Bila mereka ngotot tetap menyediakan layanan DSA untuk pengobatan maka bisa dijerat dengan UU Praktik Kedokteran nomor 29 tahun 2004. 

Bila terbukti bersalah, maka sesuai pasal 79 huruf C, rumah sakit yang bersangkutan bisa dikenakan denda maksimal Rp50 juta. Sanksi lebih berat bakal dijatuhkan bila pasien meninggal usai diberikan metode DSA. Beni bahkan menegaskan dokter yang melakukan praktik DSA itu tak akan diberikan bantuan hukum oleh IDI. 

"Kalau kemudian (metode DSA) menyebabkan meninggalnya orang, tentu akan ada pidana lagi yakni penjara 5 tahun. Kalau menyebabkan luka berat tentu akan ada pidananya juga 3 tahun. Karena apa yang dilakukan dokter harus sesuai dengan kaidah ilmiah," tutur Beni. 

Anggota Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Rianto Setiabudy, mengungkap ada kecacatan prosedural yang fatal dalam metode Terawan.

"Jadi, ada dari disertasi itu yang mengandung kelemahan-kelemahan substansial. Salah satunya menggunakan obat heparin," tutur dokter spesialis farmakologi jebolan Universitas Indonesia (UI) itu pada 6 April 2022 lalu.

Ia menjelaskan, terapi DSA yang dipromosikan oleh Terawan, yakni metode radiologi dengan cara memasukan kateter ke pembuluh darah di bagian paha hingga di bagian otak. Di sana akan dilepas zat kontras. 

"Zat kontras itu untuk mengetahui di mana letak mampetnya itu (darah). Supaya kateter itu terbuka, diberikanlah sedikit dosis heparin untuk mencegah pembekuan darah di ujung kateter. Jadi, dosis (heparin) yang kecil ini tidak bisa diharapkan merontokan gumpalan darah itu. Jadi, (heparin) hanya mampu mencegah pembekuan darah sementara," katanya memberikan penjelasan. 

3. Terawan ogah datang ke kantor untuk klarifikasi karena anggap cara komunikasi IDI buruk

IDI: Pemberhentian Tetap Dokter Terawan Tak Berlaku Seumur HidupTerawan Agus Putranto (ANTARA FOTO/Wahyu Putranto A.)

Sementara, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) periode 2015-2018, dr. Ilham Oetama Marsis, mengatakan permasalahan di antara kedua pihak sudah dimulai sejak 2013. Lalu, pada 2018, MKEK IDI merekomendasikan kepada PB IDI agar memecat sementara Terawan dari keanggotaan organisasi kedokteran itu. Ketika itu, posisi ketua umum dijabat dr. Marsis. 

Ketika itu, Terawan disebut melakukan pelanggaran kode etik berat. Salah satunya mempromosikan terapi cuci otak kepada masyarakat. Padahal, secara ilmiah, belum terbukti manfaatnya. 

"Jadi, berlarut-larutnya masalah ini karena kita tidak menuntaskan isu ini sejak 2018 lalu. Itu yang jadi masalah sebenarnya," ungkap Marsis ketika mengikuti Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi IX di gedung Parlemen Senayan, 4 April 2022 lalu. 

Ia mengenang kembali ketika itu memilih tidak terburu-buru mengeksekusi rekomendasi dari MKEK IDI. Ia sempat bertanya kepada MKEK apakah Terawan sudah diberi kesempatan melakukan pembelaan diri. Sebab, keputusan pemecatan menyangkut kehormatan seorang dokter. 

"Majelis mengatakan sudah memanggil Terawan tapi dia tidak datang," kata dia. 

Dr. Marsis kemudian memutuskan mengontak Terawan. Ia pun mengaku siap menemui dokter yang sempat bernaung di bawah tim elite marinir TNI AL itu. Akhirnya, dr. Marsis menemui Terawan tiga hari kemudian. Pertemuan dilakukan di Hotel Borobudur. 

Kepada dr. Marsis, Terawan mengaku pola komunikasi yang dibangun IDI tidak komunikatif. "Buktinya saya telepon dalam waktu tiga hari, Beliau mau datang menemui saya," kata Marsis, mengingat pertemuannya dengan Terawan pada 2018. 

Dalam pertemuan itu, Terawan menjanjikan kepada Marsis akan menyerahkan sejumlah bukti mengenai alasannya mangkir ketika dipanggil MKEK IDI sebanyak dua kali. Bahkan, Terawan tegas mengatakan ingin menyelesaikan permasalahannya dengan IDI. 

"Saya berikan kesempatan kepada Beliau hingga September 2018 agar semua bukti dan alasan untuk counter dugaan kelalaian dalam melakukan praktik kepada IDI. Saya sepakat masalah tersebut diselesaikan secara terhormat," ujarnya. 

Sayangnya, saat itu IDI belum sempat menuntaskan sanksi bagi Terawan. Eksekusi sanksi terhadap Terawan malah sempat dihentikan karena ia diangkat Presiden Joko "Jokowi" Widodo pada Oktober 2019 sebagai Menteri Kesehatan. 

Di dalam rapat itu, Marsis mengaku yakin bisa ditemukan solusi antara IDI dengan Terawan, sehingga semua persoalan bisa diselesaikan secara terhormat. 

Baca Juga: Tiga Putusan Lengkap MKEK IDI yang Pecat Terawan Sebagai Dokter

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya