Indeks Persepsi Korupsi RI Anjlok, Jokowi: Kami Akan Evaluasi

Indonesia jadi negara terkorup ke-5 di Asia Tenggara

Jakarta, IDN Times - Presiden Joko "Jokowi" Widodo ikut angkat bicara soal anjloknya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2022. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu mengatakan IPK yang dirilis Transparency International (TI) bakal dijadikan koreksi dan evaluasi bagi pemerintah, agar persepsi terkait rasuah di Tanah Air terus membaik.

Berdasarkan data yang dirilis TI, skor IPK Indonesia pada 2022 anjlok ke angka 34. Indonesia tercatat ada di peringkat ke-110 dari 180 negara. Padahal, IPK 2021, skor Indonesia mencapai 38 dan ada di peringkat ke-96. Hal ini menandakan Indonesia menjadi negara yang tergolong tingkat korupsinya dipandang masih tinggi.

Dengan skor IPK 34, maka Indonesia sejajar dengan negara-negara lain di Afrika yang memiliki tingkat korupsi tinggi. Negara-negara itu yakni Gambia, Malawi, Sierra Leone, Nepal, dan Bosnia Herzegovina. 

"Iya, itu akan menjadi koreksi dan evaluasi kita bersama," ungkap Jokowi ketika meninjau Pasar Baturiti, Tabanan, Bali, Kamis (2/2/2023). 

Bila diteliti lebih lanjut, skor IPK pada 2022 sama seperti ketika Jokowi baru menjabat sebagai presiden pada 2014. Lalu, apakah ini bermakna Jokowi gagal membendung rasuah yang semakin merajalela di Tanah Air?

1. Jokowi dinilai ingkar janji berantas korupsi

Indeks Persepsi Korupsi RI Anjlok, Jokowi: Kami Akan EvaluasiIndeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia selama 20 tahun terakhir. (Dokumentasi TII)

Akademisi dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan IPK Indonesia pada 2022 sudah bisa diprediksi menurun. Selain itu, IPK ini mencerminkan Jokowi ingkar janji untuk memberantas korupsi. 

"Jadi, (IPK Indonesia) kembali lagi ke titik nol itu menjadi bukti bahwa yang Pak Jokowi lakukan waktu itu (tahun 2014) hanya menjanjikan (untuk memberantas korupsi). Dia hanya jualan janji. Kan waktu itu Pak Jokowi janji bakal memperkuat KPK, anggaran bakal dinaikan, begitu juga IPK," kata Bivitri kepada IDN Times ketika ditemui usai peluncuran IPK 2022 di Jakarta, Selasa (31/1/2023). 

Sementara, publik sudah mulai memberikan penilaian kualitas kepemimpinan Jokowi di akhir masa jabatannya. Mayoritas, kata Bivitri, menilai Jokowi tak mampu memenuhi janjinya. 

"Makanya, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) balik lagi ke titik nol saat ia mulai menjabat presiden. Itu jadi bukti bahwa ia menjanjikan hal yang gak mampu dipenuhi," tutur dia. 

TII mencatat saat di awal menjabat pada 2014, IPK Indonesia berada di angka 34. Lalu, IPK terus menanjak pada tahun-tahun berikutnya pada periode pertama kepemimpinan Jokowi. Pada 2015, IPK Indonesia ada di angka 36. Pada 2016, IPK Indonesia naik satu poin di angka 37. 

Sementara, pada 2017, skor IPK Indonesia stagnan di angka 37. Kemudian, pada 2018, skor IPK Indonesia kembali naik ke angka 38. Puncak keemasan upaya perlawanan korupsi di Tanah Air terjadi pada 2019. Saat itu, skor IPK naik hingga ke angka 40. 

Namun, setelah Jokowi setuju melakukan revisi terhadap Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), skor IPK Indonesia anjlok 3 poin ke angka 37 pada 2020. IPK kembali naik satu poin menjadi 38 pada 2021. 

Lalu, pada 2022, skor IPK Indonesia kembali ke titik awal saat Jokowi menjabat yakni 34. Bila dilihat dari tren yang ada, Jokowi berhasil menjaga konsistensinya melawan rasuah pada periode pertama. Namun, komitmen itu terlihat menurun di periode kedua kepemimpinannya. 

Baca Juga: Novel Tuding Pimpinan KPK yang Ugal-ugalan Penyebab IPK Terjun Bebas

2. Skor IPK Indonesia yang jeblok bisa memengaruhi upaya menggaet calon investor untuk IKN

Indeks Persepsi Korupsi RI Anjlok, Jokowi: Kami Akan EvaluasiNgobrol Seru “Kupas Tuntas RKUHP” bersama Pakar Hukum dan Tata Negara, Bivitri Susanti (IDN Times/Lia Hutasoit)

Poin penting lainnya dari pemaparan skor IPK Indonesia pada 2022 yakni penurunan drastis salah satu indikatornya, yaitu Political Risk Service (PRS) International Country Risk Guide dari angka 48 ke 35. Deputi Sekretaris Jenderal TII Wawan Suyatmiko mengatakan, penurunan drastis itu menggambarkan pelaku usaha yang datang ke Indonesia bukan lagi mengalami risiko dalam bentuk untung dan rugi. Para pelaku usaha juga mengalami risiko politik. 

Sementara, Bivitri menyebut, skor IPK Indonesia yang rendah berpeluang memengaruhi calon investor asing untuk membenamkan dananya di mega proyek Ibu Kota Negara (IKN). Menurutnya, calon investor yang nantinya tetap berinvestasi di Indonesia adalah investor yang tidak berkualitas dan hanya mementingkan keuntungan jangka pendek. 

"Investor yang berkualitas tidak akan mau hanya meraih keuntungan dalam jangka waktu cepat. Sementara, investor yang tak berkualitas sebaliknya. Setelah dapat keuntungan langsung kabur, bodo amat soal lingkungan, bodo amat soal Hak Asasi Manusia (HAM)," kata Bivitri. 

Di sisi lain, calon investor berkualitas akan berpikir ulang untuk membenamkan duit di negara yang belum memiliki tata kelola pemerintahan yang baik dan tinggi praktik korupsinya.

"Jadi, calon investor berkualitas mau dikasih insentif pajak model apapun, kepemilikan tanah hingga ratusan tahun lamanya, mereka juga gak akan mau kalau risiko berinvestasinya terlalu tinggi," tutur Bivitri. 

3. Indonesia jadi negara terkorup ke-5 di kawasan Asia Tenggara

Indeks Persepsi Korupsi RI Anjlok, Jokowi: Kami Akan EvaluasiPeringkat IPK Indonesia dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara. (Dokumen TII)

Sementara, bila dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara, Indonesia tercatat menjadi negara kelima terkorup. Di bawah Indonesia ada Filipina dengan skor 33, Laos yang memiliki skor 31. Lalu, Kamboja dengan skor 24 dan Myanmar meraih skor 23. 

Di sisi lain, sama seperti 2021, negara yang memiliki tingkat korupsi paling minim di ASEAN adalah Singapura. Namun, skor Negeri Singa mengalami penurunan dari semula 85 menjadi 83. 

"Ini menjadi kado bagi Indonesia karena tahun ini kita menjadi host bagi pertemuan tingkat tinggi ASEAN," ujar Wawan, di tempat yang sama. 

Ia menjelaskan penurunan skor bagi Singapura terjadi lantaran data WEF executive opinion untuk Negara Singa dan Brunei Darussalam dihapus. Brunei tidak masuk daftar itu, kata Wawan, karena pada 2022 data yang tersedia hanya tiga indikator. 

Baca Juga: Indeks Persepsi Korupsi RI Tahun 2022 Anjlok 4 Poin di Angka 34

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya