Jaksa Agung Tawarkan Kasus Pelanggaran HAM Gak Dibawa ke Pengadilan

Padahal, Jokowi minta kasus HAM dituntaskan oleh Kejaksaan

Jakarta, IDN Times - Jaksa Agung H.M Prasetyo mengatakan untuk bisa membawa perkara kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) bukan perkara mudah. Siapa pun yang menjadi Presiden dan Jaksa Agungnya, tetap akan sulit memproses kasusnya. 

Lho, kok begitu? Sebab, kata Prasetyo, sulit memintai keterangan kepada pihak-pihak yang diduga terlibat. Sebab, sebagian besar di antara mereka sudah meninggal. 

Padahal, pada aksi Kamisan (31/5), Presiden Joko "Jokowi" Widodo berjanji akan meminta Jaksa Agung dan Menkopolhukam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. 

1. Kejaksaan Agung sudah pernah meneliti enam kasus pelanggaran HAM

Jaksa Agung Tawarkan Kasus Pelanggaran HAM Gak Dibawa ke PengadilanANTARA FOTO/Ronny Muharrman

Ditemui di Kementerian Luar Negeri pada Jumat (1/6), Prasetyo sebelumnya pernah meneliti enam perkara pelanggaran HAM di masa lalu. Bahkan, penelitian tersebut melibatkan Komnas HAM. 

Dari sana ia menyadari, berdasarkan hasil penyelidikan terhadap enam perkara itu gak dilandasi dengan bukti otentik. 

"Kami konsinyering dengan Komnas HAM di Bogor. Hampir satu pekan kami ada di sana dan membedah satu per satu kasus. Ada peristiwa 1965, penembakan misterius, penculikan aktivis, kasus Talang Sari, Tragedi Trisakti. Semua mengatakan, masih minim bukti (untuk diproses)," kata Prasetyo. 

Semua yang hadir di sana, kata nya lagi, menyadari bahwa kasus itu hanya didasari asumsi dan bukan bukti. 

"Sementara, yang namanya proses hukum kan perlu bukti dan bukan opini," kata dia. 

2. Kejaksaan Agung tawarkan kasus diselesaikan tanpa melalui pengadilan

Jaksa Agung Tawarkan Kasus Pelanggaran HAM Gak Dibawa ke PengadilanANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

Tantangan lain yang dihadapi oleh Kejaksaan Agung yaitu mencari pihak-pihak yang diduga terlibat sudah sulit ditemukan. Malah, diduga ada yang sudah meninggal. Oleh sebab itu, pemerintah menawarkan jalur nonpengadilan untuk menuntaskan beberapa kasus tersebut. 

"Makanya, kembali kami pikir yang lebih baik adalah penyelesaian secara non yudisial. Sudah lah bangsa ini sudah capek dengan kasus-kasus itu. Kalau itu sudah selesai, kan tentunya kita mulai dengan bab baru," kata Prasetyo. 

Ia sadar ada gerakan di masyarakat yang mewakili keluarga korban dan gak setuju dengan cara non pengadilan ini. Prasetyo berharap mereka bisa bersikap lebih melunak supaya pemerintah bisa melanjutkan perkara pelanggaran HAM di masa lalu. 

"Ini yang harus dipahami bersama. Bukan kami gak mau menyelesaikan, bukan," kata dia. 

3. Komnas HAM sayangkan pernyataan Jaksa Agung

Jaksa Agung Tawarkan Kasus Pelanggaran HAM Gak Dibawa ke PengadilanIDN Times/Margith Juwita Damanik

Sementara, ketika dikonfirmasi oleh IDN Times ke Komnas HAM, salah satu Komisioner Beka Ulung Hapsara mengakui memang ikut diajak dalam pembahasan enam kasus pelanggaran HAM di Bogor pada tahun 2017. Namun, mereka gak ikut menanda tangani rekomendasi yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung.

Bahkan, Beka menyebut pembahasan gak menyebut bukti untuk menyelesaikan kasus tersebut gak otentik.

"Alasan kami gak ikut menandatangani karena Komnas HAM sudah bekerja dengan standar penyelidikan yang ada di Komnas HAM. Ada beberapa rekomendasi yang berada di luar kewenangan kami," ujar Beka yang dihubungi IDN Times melalui telepon pada Sabtu (2/6).

Mendengar pernyataan dari Jaksa Agung pada Jumat kemarin, Beka menyayangkannya. Sebab, kewenangan Komnas HAM hanya ada di tahap penyelidikan. Semua berkas dan barang bukti untuk kasus pelanggaran HAM di masa lalu sudah diserahkan oleh Komnas HAM ke Kejaksaan Agung.

"Jadi, yang bisa meningkatkan statusnya ke tahap penyidikan adalah Kejaksaan Agung. Dengan penyidikan itu, maka Kejaksaan Agung bisa memanggil paksa orang-orang yang diduga terlibat pelanggaran HAM tersebut," kata dia.

Sementara, jaksa agung justru seolah sudah memberikan sinyalemen mereka gak akan membawa kasus itu ke pengadilan. Padahal, saksi-saksi yang mengetahui peristiwa pelanggaran HAM di masa lalu.

Selain itu, dengan standar penyelidikan yang dimiliki Komnas HAM, Indonesia sudah pernah menggelar sidang untuk tiga kasus pelanggaran HAM, yakni di Timor-Timur, Abepura, dan Tanjung Priok. Dalam peristiwa kerusuhan di Timor-Timur, berdasarkan catatan laman Hukum Online, penyidik di Kejaksaan Agung gagal menetapkan Wiranto sebagai tersangka. Alasannya, kurang alat bukti.

"Jadi, sebenarnya gak ada alasan bagi kejaksaan agung dengan mengatakan sulit membawa kasus pelanggaran HAM ke pengadilan, karena kita sudah tiga kali menyidangkan kasus tersebut," tutur dia.

Permasalahannya, tinggal apakah kejaksaan agung mau atau gak melakukannya. Namun, hal itu sudah buru-buru ditepis oleh H.M Prasetyo.

"Bukan kami gak mau menyelesaikannya ya, bukan. Tapi, kami pikir penyelesaian yang lebih baik yakni melalui jalur non yuridis," kata dia kemarin.

Topik:

  • Dwi Agustiar

Berita Terkini Lainnya