Jokowi: Kritik dan Masukan dari Pers Sangat Penting untuk Pemerintah

Faktanya, masih ada jurnalis yang dibui karena mengkritik!

Jakarta, IDN Times - Presiden Joko "Jokowi" Widodo pada puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2022 mengatakan kritik dan masukan dari insan pers sangat penting bagi pemerintah. Menurut Jokowi, kritik dan masukan tersebut bisa menjadi pengingat bagi pemerintah dan jajarannya agar bekerja dengan frekuensi yang sama. 

"Kritik, masukan dan dukungan dari insan pers, sangat sangat penting. Hal itu untuk mengingatkan jika ada yang kurang, perlu diperbaiki, mendorong yang masih lamban dan mengapresiasi yang sudah berjalan baik," ungkap Jokowi ketika menyampaikan pidatonya dari Istana Bogor pada Rabu, (9/2/2022) dan dikutip dari YouTube Sekretariat Presiden. 

"Dengan demikian, pemerintah dan jajarannya memiliki frekuensi dan visi yang sama untuk Indonesia yang maju," kata dia lagi. 

Ia juga menyebut bahwa pemerintah terbuka terhadap kritik sebab itu demi kebaikan bersama. Profesi jurnalis, kata dia dijamin di dalam undang-undang pers. 

"Itu sebabnya kebebasan pers menjadi salah satu pilar penting kemajuan di Indonesia," ujarnya. 

Namun, fakta di lapangan justru menunjukkan tiga jurnalis dibui selama 2021 karena dianggap melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Siapa saja para jurnalis yang dibui tersebut?

1. Tiga jurnalis dibui selama 2021 karena produk jurnalistiknya dianggap melanggar UU ITE

Jokowi: Kritik dan Masukan dari Pers Sangat Penting untuk PemerintahIlustrasi pers ketika bekerja (IDN Times/Arief Rahmat)

Sementara, berdasarkan fakta yang disampaikan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI), profesi jurnalis justru rentan dikriminalisasi dan dibui. Pada 2021, tiga jurnalis terpaksa mendekam di bui karena dianggap melanggar UU ITE, khususnya pasal pencemaran nama baik. 

Dikutip dari Catatan Akhir Tahun 2021 AJI, ketiga jurnalis itu dibui karena memberitakan hal-hal yang menyangkut kepentingan publik seperti dugaan korupsi, kebijakan pemda yang dianggap bisa merugikan publik dan penyerobotan tanah. 

Jurnalis pertama adalah Muhammad Asrul yang bekerja di media berita.news. Ia dijerat dengan pasal 27 ayat 3 UU ITE. 

Asrul yang merupakan editor itu memuat berita tentang dugaan korupsi di Palopo, Sulawesi Selatan. Pengadilan Palopo menjatuhkan vonis 3 bulan bagi Asrul. Ia sudah menyarankan agar proses sengketa itu diselesaikan sesuai Undang-Undang Pers yakni melalui Dewan Pers. 

"Sudah ada penyelesaian dan penilaian dari Dewan Pers bahwa Muhammad Asrul ini jurnalis dan beritanya itu merupakan produk jurnalistik, dan itu sudah firm (mantap), dan (pernyataan) itu keluar dari Dewan Pers,” ungkap Ketua Bidang Advokasi AJI, Erick Tanjung ketika memberikan keterangan pers pada 29 Desember 2021 lalu. 

Jurnalis kedua, yakni Sadli Saleh yang mengkritik kebijakan Bupati Buton Tengah, Samahudin. Pengadilan Negeri Pasarwajo, Kabupaten Buton menjatuhkan vonis 2 tahun bui untuk pria yang juga menjadi pemimpin redaksi di media lokal. 

Ia mengkritik kebijakan Samahudin dalam proyek pembangunan jalan simpang lima. Tulisannya yang berjudul "ABRACADABRA: SIMPANG LIMA LABUNGKARI DISULAP MENJADI SIMPANG EMPAT" dianggap oleh majelis hakim telah menimbulkan kebencian di masyarakat. 

Jurnalis ketiga, yakni Dianta Putera Sumedi. Pengadilan Kotabaru, Kalimantan Selatan menjatuhkan vonis bui 3 bulan dan 15 hari karena menayangkan tulisan penyerobotan lahan dengan judul "Tanah Dirampas Jholin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel."

Dianta dianggap telah melanggar pasal 28 UU ITE yang berisi penyebaran informasi untuk menimbulkan kebencian atau permusuhan terhadap kelompok individu tertentu. Media tempat Dianta bekerja telah memuat hak jawab, meminta maaf dan mencabut berita tersebut. Tetapi, polisi tetap memproses kasusnya. 

Usai pembacaan vonis, Dianta menyebut keputusan majelis hakim ini merupakan lonceng kematian bagi kemerdekaan pers. Sementara, Dewan Pers mencatat ada 44 kasus di mana mereka harus berkoordinasi dengan pihak kepolisian terkait dugaan pelanggaran UU ITE. 

Baca Juga: Deretan Kritik yang Dijawab Jokowi, dari Lip Service hingga Mural

2. KSP pernah sebut kritik harus disampaikan dengan sopan dan beradab

Jokowi: Kritik dan Masukan dari Pers Sangat Penting untuk PemerintahKepala Staf Presiden Jenderal (Purn) Moeldoko (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

Sementara, pemerintah kerap menepis anti terhadap kritik. Tetapi, mereka memberikan catatan, kritik yang disampaikan harus dilayangkan dengan sopan dan beradab. 

Hal itu disampaikan oleh Kepala Staf Presiden, Jenderal (Purn) Moeldoko pada Agustus 2021 lalu. "Jadi kalau mengkritik sesuatu ya beradab, tata krama, ukuran-ukuran kultur kita itu supaya dikedepankan. Bukan hanya selalu berbicara antikritik, antikritik. Cobalah lihat cara-cara mengkritiknya itu," kata Moeldoko di Kantor Staf Presiden, Jakarta pada 2021 lalu. 

Moeldoko ketika itu merespons soal banyaknya mural berisi kritikan terhadap pemerintah yang tiba-tiba dihapus oleh Satpol PP dan kepolisian. Ia mengatakan, sedari awal sebenarnya presiden selalu menyampaikan bahwa dirinya tak pernah dipusingkan dengan kritik.

Namun, Jokowi juga menyatakan bahwa kritik harus sesuai dengan adat budaya ketimuran. Moeldoko menilai bahwa masyarakat Indonesia mudah sekali menjustifikasi atau menyamakan antara kritik dengan fitnah. "Ini sering terjadi kita dan banyak tokoh-tokoh kita yang tidak memberi pendidikan kepada mereka-mereka itu, justru terlibat di dalamnya untuk memperkeruh situasi. Janganlah seperti itu," ujarnya.

3. Jokowi mengaku sudah lama dikritik dan tak mempermasalahkan

Jokowi: Kritik dan Masukan dari Pers Sangat Penting untuk PemerintahPresiden Joko "Jokowi" Widodo ketika memberikan pidato di puncak Hari Pers Nasional (HPN) pada 9 Februari 2022 yang diikuti secara virtual dari Bogor (Tangkapan layar YouTube Sekretariat Presiden)

Jokowi juga pernah menyebut bahwa ia sudah lama mendengar kritik yang dialamatkan ke dirinya. Salah satunya yang menyorot perhatian publik yakni ketika Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia menjuluki Jokowi sebagai "King of Lip Service." BEM UI ingin menyampaikan ke publik bahwa Jokowi kerap mengobral janji tetapi sering kenyataannya berbeda. 

BEM UI menyampaikan kritiknya dengan konten berupa foto dengan judul "Jokowi: The King of Lip Service". Dalam foto, Jokowi terlihat tengah mengenakan sebuah mahkota.

Mantan Gubernur DKI Jakarta itu mengaku tidak terlalu ambil pusing lantaran Indonesia merupakan negara demokrasi. "Ya itu kan sudah sejak lama ya, dulu ada yang bilang saya ini klemar-klemer, ada yang bilang juga saya itu plonga-plongo, kemudian ganti lagi ada yang bilang saya ini otoriter," kata Jokowi ketika memberikan keterangan pers pada Juni 2021 lalu. 

Ia tak menghalangi mahasiswa yang ingin menyampaikan aspirasinya. Namun, ia juga memberikan catatan, agar semua dilakukan dengan tata krama. 

"Kita tidak perlu menghalangi mahasiwa untuk berkespresi. Tapi, juga ingat kita ini memiliki budaya tata krama, memiliki budaya kesopansantunan," tutur dia lagi. 

Baca Juga: Meme Jokowi The King of Lip Service, Ketua BEM UI: Tidak Akan Dihapus

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya