Jokowi Picu Kerumunan, Anggota DPR: Jangan Salahkan Warga Abai Prokes

Jokowi bagi-bagi suvenir ke warga yang mengerubunginya

Jakarta, IDN Times - Anggota komisi IX DPR Netty Heryawan, mengaku heran mengapa pihak protokol kepresidenan dan otoritas setempat malah membiarkan terjadinya kerumunan di Maumere, Nusa Tenggara Timur (NTT). Apalagi hingga saat ini, Indonesia masih dinyatakan bahaya COVID-19.

Berdasarkan data yang dikutip satgas penanganan COVID-19, sudah ada 1.306.162 orang Indonesia terpapar penyakit yang disebabkan virus Sars-CoV-2 itu. Melihat situasi itu, maka tak pantas bila menimbulkan kegiatan yang dapat menimbulkan kerumunan. Apalagi, bila hal tersebut dilakukan oleh pejabat publik. 

"Bila pejabat pemerintah tidak menunjukkan keteladanan maka jangan salahkan rakyat bila mereka tak taat prokes dan bersikap masa bodoh," ujar Netty melalui keterangan tertulis pada Rabu, 24 Februari 2021. 

Pejabat pemerintah, kata Netty, seharusnya memastikan langkah antisipatif setiap kali membuat kegiatan. Tujuannya, agar tidak memicu terjadinya kerumunan rakyat secara spontan. 

"Bila kegiatannya membagi-bagi atau melempar barang, tentu saja rakyat yang memang sedang kesulitan ekonomi tentu akan berebut mendapatkannya. Sebaiknya, dipikirkan bentuk kegiatan lain yang lebih humanis, kreatif dan mendidik," tutur dia lagi. 

Apa penjelasan Istana soal kerumunan yang terjadi di NTT pada Selasa kemarin?

1. Bila terjadi kerumunan baru, maka berpotensi meningkatkan kasus harian COVID-19

Jokowi Picu Kerumunan, Anggota DPR: Jangan Salahkan Warga Abai Prokes(ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah)

Netty juga menggarisbawahi, bila kerumunan baru terus muncul maka peluang bertambahnya kasus harian semakin tinggi.

"Bisa jadi prediksi Kemenkes bahwa kasus COVID-19 pada akhir 2021 mencapai 1,7 juta akan terlampaui," ujar Netty. 

Kasus COVID-19 di NTT juga tergolong tinggi. Merujuk kepada data yang dirilis Satgas Penanganan COVID-19 mengenai kondisi pandemik di NTT, angka harian per 23 Februari 2021 lalu sudah mencapai 8.391 kasus positif. Sebanyak 6.040 individu berhasil sembuh dan 223 orang meninggal dunia. 

Epidemiolog dari Univesitas Griffith, Brisbane, Australia, Dicky Budiman juga mewanti-wanti fasilitas kesehatan di NTT belum mumpuni. Bila terjadi lonjakan kasus baru maka diprediksi bisa membuat faskes di sana kolaps. 

"Harus dihindari kegiatan seperti ini (yang menimbulkan kerumunan), baik itu di level pejabat pusat atau daerah. Hingga situasi wabah di Indonesia dianggap terkendali," ungkap Dicky kepada IDN Times pada Rabu kemarin. 

Baca Juga: Mardani PKS: Presiden Marah PPKM Tak Efektif Tapi Malah Picu Kerumunan

2. Jokowi tak berhak marah bila PPKM mikro dinilai tak efektif karena sudah picu kerumunan

Jokowi Picu Kerumunan, Anggota DPR: Jangan Salahkan Warga Abai ProkesANTARA FOTO/Wahyu Putro

Sementara, menurut anggota komisi II dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera, menilai Jokowi tak berhak marah bila nanti program PPKM (Pembatasan Pergerakan Kegiatan Masyarakat) mikro, kembali dinilai tak efektif untuk menurunkan kasus COVID-19. Sebab, dalam melakukan kunker, Jokowi malah menimbulkan kerumunan warga. 

"Presiden kecewa dan marah karena PPKM/PSBB tidak efektif, kasus terus naik karena daerah kurang tegas sehingga masyarakat kurang patuh protokol kesehatan. Tapi, beberapa kali presiden menyebabkan kerumunan, warga mencontoh pemimpinnya?" ujar Mardani melalui akun media sosialnya pada Rabu kemarin. 

Mardani juga menyentil Istana karena tidak mengantisipasi potensi kerumunan yang dapat terjadi ketika Jokowi melakukan kunker ke daerah.

"Kalau presiden datang ke daerah terpencil seperti Maumere di NTT, presiden kan dianggap seperti ayah bagi rakyatnya. Ketika ayahnya datang ya pasti kumpul," tutur dia lagi ketika dihubungi IDN Times melalui telepon kemarin. 

3. Istana harus meminta maaf karena kunjungan Jokowi ke NTT memicu kerumunan

Jokowi Picu Kerumunan, Anggota DPR: Jangan Salahkan Warga Abai ProkesANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

Mardani kemudian mengusulkan agar Istana atau Jokowi mengakui secara lapang dada telah melakukan pelanggaran prokes. Lalu, meminta maaf kepada publik. 

"Jadi, sebaiknya Pak Jokowi atau siapapun yang bertanggung jawab harus meminta maaf (pelanggaran protokol kesehatan)," ungkapnya. 

Ia mengatakan, tidak bisa menganggap NTT aman dari COVID-19 lantaran kasus hariannya tidak setinggi di ibu kota. Saat ini persepsi yang harus dibangun yaitu di mana ada kerumunan maka COVID-19 lebih cepat menular di sana. 

"Setiap ada kerumunan, potensi munculnya klaster baru selalu ada. Pendekatannya harus menggunakan saintifik, jangan pakai perasaan," tutur dia. 

Baca Juga: Kerumunan Jokowi di NTT, Standar Ganda Prokes Dipertanyakan

Topik:

  • Ilyas Listianto Mujib

Berita Terkini Lainnya