Juru Bicara RKUHP: KUHP Nasional Tidak Hapus Pidana Mati
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Juru bicara sosialisasi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), Albert Aries, berharap publik tidak meributkan dulu soal penerapan KUHP Nasional yang baru bagi terdakwa Ferdy Sambo. Sebab, vonis Sambo belum berkekuatan hukum tetap atau inkracht.
Meski di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Sambo divonis mati, tetapi hukumannya berpeluang berubah saat mengajukan banding atau kasasi.
Selain itu, KUHP Nasional baru yang tertuang dalam UU Nomor 1 Tahun 2023 baru berlaku pada Januari 2026. Sebab, pada rentang 2023 hingga 2026, pemerintah masih menyosialisasikan KUHP Nasional yang baru.
"Jadi, perlu masyarakat ketahui bahwa KUHP Nasional yang baru belum berlaku sebagai hukum positif," ungkap Aries ketika dihubungi IDN Times melalui telepon, Selasa (14/2/2023).
Ia pun mendorong agar Pasal 100 dalam KUHP Nasional tidak perlu dibaca dan dikaitkan dengan vonis Sambo. Sebab, pasal tersebut belum berlaku.
"Tapi, kalau para terpidana, siapa pun, termasuk Pak Ferdy Sambo, pidana matinya dikuatkan, belum juga dieksekusi setelah KUHP Nasional berlaku, mereka akan mengalami fase transisi KUHP lama ke KUHP baru," tutur dia.
Albert tak menampik di KUHP Nasional yang baru, rezim untuk pidana mati diberlakukan hukuman percobaan lebih dulu selama 10 tahun. Sesuai Pasal 3 KUHP Nasional yang baru, seandainya terjadi perubahan peraturan perundang-undangan setelah perbuatan terjadi, maka aturan yang akan dipakai adalah peraturan yang menguntungkan si pelaku dan pembantu tindak pidana.
"Yang lebih menguntungkan mana, pidana mati dilaksanakan atau pidana mati dengan percobaan lebih dulu 10 tahun? Pasti lebih menguntungkan yang percobaan dulu dong? Artinya, di saat transisi akan ada penyesuaian dalam bentuk peraturan pemerintah," katanya.
Lalu, apakah Sambo masih berpeluang dieksekusi mati bila vonisnya hingga di Mahkamah Agung tetap sama?
1. Sambo berpeluang dieksekusi mati bila pidana dilakukan sebelum 2026
Lebih lanjut, Albert mengatakan vonis Sambo masih berpeluang berubah. Sebab, keputusannya belum berkekuatan hukum tetap hingga ke tahap Mahkamah Agung (MA) atau tidak ada keputusan untuk mengajukan banding. Bila proses pelaksanaan pidana mati digelar sebelum 2026, maka Sambo berpeluang akan menghadapi regu tembak di Pulau Nusa Kambangan.
Namun, seandainya eksekusi mati belum dilakukan hingga memasuki 2026, maka akan ada penilaian dan assessment berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) yang sedang digodok.
"Apabila terpidana mati ini yang belum dieksekusi bisa diasess sedemikian rupa sehingga bisa mengikuti aturan di KUHP Nasional yang baru," tutur dia.
Dalam pembicaraannya, Albert turut menggarisbawahi bukan berarti pidana mati jadi dihapuskan di dalam KUHP Nasional yang baru. "Kan itu semua ada assessment-nya. Kalau selama dinilai tidak ada perubahan sikap dan kelakuan, itu kan pidana mati tetap bisa dilaksanakan," ujarnya.
Editor’s picks
Baca Juga: Mahfud: Sambo Bisa Dibui Seumur Hidup Bila Tak Dieksekusi hingga 2026
2. Terpidana mati biasanya tak langsung dieksekusi dengan cepat
Lebih lanjut, Albert tak menutup mata tak semua terpidana mati langsung dieksekusi. Banyak juga yang antre. Berdasarkan data dari Kementerian Hukum dan HAM per Januari 2022, total ada 404 terpidana mati yang masih menanti dieksekusi. Namun, Kemenkumham menyebut soal eksekusi adalah kewenangan dari Kejaksaan Agung selaku eksekutor.
"Kan ada juga terpidana mati yang antre karena masih mengajukan grasi, PK (Peninjauan Kembali), itu persoalan yang lain. PK itu secara teori tidak menunda eksekusi," kata Albert.
Ia kembali menyebut terpidana mati yang sudah antre puluhan tahun untuk dieksekusi hingga 2026 mendatang juga bakal mengacu ke Pasal 3 KUHP Nasional yang baru.
"Misalnya, bandar narkoba yang sudah dijatuhi vonis mati ternyata di dalam lapas tidak bertobat dan masih mengendalikan (penjualan narkoba), itu berpeluang tetap dijatuhi pidana mati menggunakan KUHP Nasional yang baru. Dieksekusi mati gak apa-apa," ujarnya.
3. Kepala Lapas hanya satu elemen saja yang memberikan penilaian
Albert juga menepis kepala lembaga pemasyarakatan menjadi satu-satunya pihak yang bakal menilai, apakah terpidana mati sudah berkelakuan baik di dalam lapas atau tidak. Hal itu menyangkut pernyataan advokat senior Hotman Paris Hutapea yang khawatir pidana percobaan 10 tahun itu bisa dengan mudah didapat oleh para terpidana mati. Sebab, hal tersebut membuka peluang terjadinya penyuapan ke kalapas untuk mengeluarkan surat berkelakuan baik.
Tetapi, di Pasal 100 ayat 4 tertulis pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan adanya Keputusan Presiden yang juga diberi pertimbangan oleh Mahkamah Agung (MA).
"Kalapas itu hanya salah satu elemen. Tapi, ini juga merupakan perintah dari UU dengan mendapatkan pertimbangan dari MA. Artinya, nanti juga dilihat surat yang masuk dari Kemenkum HAM, MA berupa penilaian terpidana mati," kata Albert.
Dengan begitu, presiden bisa mendapatkan pertimbangan yang menyeluruh dan cukup sebelum dirilis keputusan presiden untuk mengubah pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup. Albert juga menyebut terpidana mati yang menanti kejelasan nasibnya soal kapan dieksekusi sesungguhnya juga menjalani hukuman bui di lapas.
"Itu menyakitkan lho sambil menanti pelaksanaan eksekusi (mati) yang gak tahu kapan datangnya," ujarnya.
Baca Juga: Tok! Ferdy Sambo Divonis Mati