Kasus Korupsi e-KTP, KPK Tahan 2 Orang Usai 3 Tahun Status Tersangka

KPK sudah jebloskan delapan tersangka ke bui di kasus e-KTP

Jakarta, IDN Times - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum selesai mengusut dugaan perkara mega rasuah KTP Elektronik (e-KTP). Pada Kamis, (3/2/2022), komisi antirasuah menahan dua tersangka yakni Isnu Edhy Wijaya dan Husni Fahmi. Mereka baru ditahan setelah tiga tahun menyandang status sebagai tersangka. 

"Untuk kepentingan penyidikan, tersangka ISE (Isnu Edhy Wijaya) dan HSF (Husni Fahmi) dilakukan penahanan selama 20 hari pertama," ungkap Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar, ketika memberikan keterangan pers hari ini di gedung Merah Putih KPK.

Ia mengatakan kedua tersangka ditahan hingga 22 Februari 2022 di Rumah Tahanan KPK Pomdam Jaya Guntur. Lalu, apa peran Isnu dan Husni dalam mega korupsi yang merugikan negara Rp2,3 triliun itu?

1. Peran dua tersangka dalam proyek e-KTP

Kasus Korupsi e-KTP, KPK Tahan 2 Orang Usai 3 Tahun Status TersangkaIDN Times/Gregorius Aryodamar P

Isnu merupakan mantan Direktur Utama Perum Percetakan Negara. Sementara, Husni Fahmi merupakan Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan Kartu Tanda Penduduk Elektronik/PNS Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). 

Lili mengisahkan, Isnu pada Februari 2011 melobi pejabat di Kementerian Dalam Negeri agar bisa memenangkan proyek e-KTP. Isnu kemudian mengumpulkan sejumlah vendor dan membuat konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI).

Isnu sudah sepakat dengan Andi Agustinus dan Paulus Tanos. Ketiganya sempat bertemu dengan Anang Sugiana, pemilik PT Quadra Solution dan menawarkan bergabung dengan konsorsium PNRI. Isnu menawarkan commitment fee 10 persen untuk pihak lain. 

"Apabila ingin bergabung dengan konsorsium PNRI maka ada commitment fee untuk pihak lain sebesar 10 persen, yakni dengan rincian 5 persen untuk DPR RI dan 5 persen untuk pihak Kemendagri. Kemudian permintaan itu disanggupi oleh Anang Sugiana," ungkap Lili.

Berdasarkan beberapa kesepakatan yang dibuat, Perum PNRI bertanggung jawab memberikan fee kepada Irman (eks pejabat Kemendagri) dan stafnya sebesar 5 persen dari jumlah pekerjaan yang diperoleh. Isnu bersama konsorsium PNRI mengajukan penawaran paket pengerjaan e-KTP senilai kurang-lebih Rp5,8 triliun.

Alhasil, pada 30 Juni 2011, Sugiharto (eks pejabat Kemendagri) menunjuk konsorsium PNRI sebagai pelaksana pekerjaan penerapan KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) secara nasional (KTP elektronik) pada tahun anggaran 2011-2012. Isnu kemudian membentuk manajemen bersama dan membagi pekerjaan pada anggota konsorsium. 

"ISE (Isnu) juga mengusulkan adanya ketentuan bahwa setiap pembayaran dari Kementerian Dalam Negeri untuk pekerjaan yang dilakukan oleh anggota konsorsium, akan dipotong 2 persen sampai 3 persen dari jumlah pembayaran untuk kepentingan manajemen bersama," ujar dia.

Lili menambahkan, di dalam rincian penawaran proyek senilai Rp5,8 triliun tidak ada komponen potongan tersebut. Seharusnya, semua pembayaran yang diterima dari Kemendagri digunakan untuk kepentingan penyelesaian pekerjaan e-KTP.

"Pemotongan sebesar 3 persen tersebut pada akhirnya memengaruhi pelaksanaan pemenuhan prestasi Perum PNRI itu sendiri," kata dia.

Sedangkan, Husni berperan sebagai Ketua Tim Teknis, melakukan pertemuan dengan para vendor. Dia juga sempat bertemu dengan tersangka lainnya yakni Irman, Sugiharto, dan Andi Agustinus membahas proyek e-KTP.

"Tersangka HSF (Husni) juga hadir beberapa kali di pertemuan tersebut pada Juli 2010 yang membahas tentang uji petik, biometric, teknologi, dan teknis e-KTP," ungkap Lili.

Lili menyebut, dalam pertemuan tersebut, Husni diduga ikut mengubah spesifikasi, rencana anggaran biaya, dan komponen lainnya dengan tujuan mark up. Husni juga sering melapor kepada Sugiharto, eks pejabat eselon II di Kemendagri yang sudah dijebloskan ke penjara.

Baca Juga: HUT ke-76 RI, Setya Novanto dan Dada Rosada Gak Dapat Remisi

2. Husni dan Isnu terancam hukuman bui maksimal 20 tahun

Kasus Korupsi e-KTP, KPK Tahan 2 Orang Usai 3 Tahun Status Tersangkailustrasi borgol (IDN Times/Mardya Shakti)

Atas perbuatannya itu, Isnu dan Husni disangkakan telah melanggar UU Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3, yang mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi. 

Di dalam Pasal 2 ayat itu tertulis "setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, atau orang lain atau korporasi, dan dapat merugikan keuangan negara, maka dipindana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun." Selain itu, ada pula ancaman denda berkisar Rp200 juta hingga Rp1 miliar.

Sedangkan, di Pasal 3 tertulis "setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara, maka dipidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun." Sementara, nominal denda yang dikenakan berkisar Rp50 juta hingga Rp1 miliar. 

3. KPK telah memproses delapan tersangka dalam kasus korupsi e-KTP

Kasus Korupsi e-KTP, KPK Tahan 2 Orang Usai 3 Tahun Status TersangkaGedung KPK (IDN Times/Aryodamar)

Sementara, komitmen KPK tak akan berhenti mengusut perkara mega korupsi proyek e-KTP telah disampaikan Febri Diansyah saat masih menjabat sebagai juru bicara. Sebab, mega korupsi ini diduga melibatkan banyak pejabat dan pihak swasta.

"KPK memang menduga masih ada pelaku lain yang sudah diproses. Kami tidak akan berhenti pada pelaku yang sudah diproses selama ini. Kalau dalam proses penyidikan sekarang, kan kami tengah mengusut MN (Markus Nari)," ungkap Febri pada 2019. 

Total, komisi antirasuah sudah memproses delapan tersangka dan menjebloskan ke penjara. Delapan tersangka itu yakni Markus Nari, pejabat di Kemendagri Irman dan Sugiharto; mantan Ketua DPR Setya Novanto; pihak swasta Andi Naragong, Made Oka Masagung, Anang Sugiana Sudiharjo, dan Irvanto Hendra Pambudi. Nama terakhir yang disebut juga merupakan keponakan Setya Novanto. 

Ada pula mantan anggota DPR dari Fraksi Partai Hanura, Miryam S. Haryani yang telah ditahan terkait kasus e-KTP. Namun, ia ditahan lantaran memberikan keterangan tidak benar di ruang sidang. Dalam pemeriksaan di KPK, Miryam sudah 'bernyanyi' siapa saja nama anggota DPR yang ikut menerima duit bancakan dari proyek e-KTP.

Tapi, ia kemudian mengubah kesaksian itu dan memberikan pernyataan baru di ruang sidang.

Baca Juga: Sidang EKTP: Setya Novanto Sebut Puan Maharani dan Pramono Anung Terima Duit

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya