Kasus Nakes Mandikan Jasad di RS Siantar Sulit Disebut Penodaan Agama

Pasien yang meninggal merupakan suspek COVID-19

Jakarta, IDN Times - Organisasi Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menegaskan, sulit menyatakan kasus pemandian jenazah perempuan oleh empat tenaga kesehatan di RSUD Djasamen Saragih, Kota Pematang Siantar, sebagai kasus penodaan agama. Bila merujuk kepada pasal 156a KUHP ada dua unsur yang sangat penting dan sering tidak diperhatikan dengan cermat. 

"Dalam kasus-kasus penodaan agama, pertama harus ada unsur kesengajaan dengan maksud melakukannya di muka umum. Kedua, bentuk perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama," ungkap Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus A.T. Napitupulu melalui keterangan tertulis pada Rabu (24/2/2021). 

Dia meminta penyidik dan jaksa berhati-hati dalam menilai apakah perbuatan empat nakes yang kini sudah dijadikan tersangka, memang disengaja untuk melakukan penodaan agama. Erasmus menilai kelalaian karena tidak mematuhi protokol, standar atau urutan prosedur lainnya tidak dapat dikategorikan sebagai kesengajaan sehingga menodai agama. 

"Apalagi, para tersangka juga hanya menjalankan tugas sebagai tenaga kesehatan yang khusus menangani jenazah suspek COVID-19. Dalam bekerja, mereka juga sudah dilengkapi dengan surat keputusan," tutur dia lagi. 

Bagaimana perkembangan kasusnya kini? Berapa lama ancaman penjara yang dihadapi oleh keempat tersangka?

1. Memandikan jenazah non muhrim dinilai tak tepat sebagai tindakan menodai agama

Kasus Nakes Mandikan Jasad di RS Siantar Sulit Disebut Penodaan AgamaIlustrasi jenazah. (IDN Times/Sukma Shakti)

Erasmus menggaris bawahi perbuatan yang dinilai menodai agama harus bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama. Maka, para tersangka harus dapat dibuktikan menyasar agama tersebut. 

"Sedangkan, perbuatan yang menyasar orang per orang yang kebetulan menyalahi ajaran tidak dapat langsung disimpulkan menodai agama. Sebab, bila menggunakan logika demikian, maka semua kejahatan tentu menyalahi ajaran agama. Dalam kondisi ini, maka semua delik pidana adalah penodaan agama dan tak lagi dibutuhkan KUHP," tutur dia. 

Dia menegaskan perbuatan yang melanggar norma agama belum tentu dianggap melanggar norma hukum yaitu perbuatan menodai agama. ICJR juga mengkritik keputusan dari jaksa penuntut umum yang menerima pelimpahan kasus tersebut. Alih-alih dengan cepat menerima pelimpahan kasus, seharusnya jaksa bisa berperan sebagai dominus litis dan memastikan apakah suatu kasus perlu atau tidak diteruskan. 

Baca Juga: Mandikan Jenazah Non Muhrim, 4 Pegawai RSUD Siantar Tersangka

2. Kasus dugaan penodaan agama yang melibatkan nakes di masa pandemik, harus ditangani dengan hati-hati

Kasus Nakes Mandikan Jasad di RS Siantar Sulit Disebut Penodaan AgamaIlustrasi jenazah. (IDN Times/Mardya Shakti)

Erasmus juga mengingatkan agar aparat penegak hukum berhati-hati dalam menangani kasus penodaan agama ini. ICJR menilai berdasarkan fakta terkini, sulit menyimpulkan kasus yang melibatkan nakes di RSUD Djasamen Saragih Kota Pematang Siantar sebagai delik penodaan agama. 

"Bila kasus ini tidak ditangani dengan hati-hati, maka bisa menyasar para tenaga kesehatan yang sedang berjuang menghadapi pandemik COVID-19," ungkap Erasmus. 

Apalagi, kata dia, para nakes saat ini menjadi garda terdepan untuk mengatasi pandemik. Jumlah mereka yang terpapar dan meninggal pun dari hari ke hari juga meningkat. Dikutip dari data LaporCovid-19, per 23 Februari 2021, sudah ada 796 tenaga kesehatan yang meninggal dalam menghadapi COVID-19. 

3. Empat nakes yang dijadikan tersangka dijadikan tahanan kota

Kasus Nakes Mandikan Jasad di RS Siantar Sulit Disebut Penodaan AgamaIlustrasi borgol (IDN Times/Arief Rahmat)

Berdasarkan informasi Kasi Pidum Kejari Siantar, M. Chadafi, empat tersangka yaitu DAAY, ESPS, RS dan REP, tidak ditahan di rumah tahanan. Mereka dijadikan tahanan kota. 

Menurut Chadafi, keempatnya masih dibutuhkan sebagai petugas medis di ruang instalasi jenazah forensik di RSUD Djasamen Saragih, Kota Pematang Siantar. Apalagi keempatnya merupakan individu yang menangani jenazah COVID-19 di masa pandemik. 

"Kami khawatir bila dilakukan penahanan di rumah tahanan, maka akan mengganggu proses berjalannya kegiatan forensik, seperti memandikan jenazah. Kami enggak mau gara-gara hal ini kegiatan tersebut terhenti. Apalagi, saat ini kan kondisi pandemik," ujar Chadafi. 

Sesuai dengan pasal yang disangkakan, maka empat nakes itu terancam hukuman penjara selama lima tahun. 

4. Persatuan Perawat Nasional Indonesia ikut memberikan bantuan hukum

Kasus Nakes Mandikan Jasad di RS Siantar Sulit Disebut Penodaan AgamaPetugas medis di RSUD Kabupaten Tangerang. ANTARA FOTO/Fauzan

Sementara, Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) mengatakan akan memberikan bantuan hukum kepada empat petugas forensik selama proses hukum berjalan.

"Kami sebagai kuasa hukum PPNI siap memberikan bantuan hukum selama proses persidangan nanti," ujar pengacara dari PPNI, Muhammad Siban. 

Kasus dugaan penodaan agama bermula dari seorang pasien perempuan suspek COVID-19 bernama Zakiah (50), yang meninggal pada 20 September 2020 lalu di RSUD Djasamen Saragih, Kota Pematang Siantar. Jenazah itu kemudian dibersihkan oleh empat orang petugas forensik pria di rumah sakit sebelum dimakamkan. 

Suami almarhumah, Fauzi Munthe, tidak terima dan mengadukan kasus itu ke Polres Pematangsiantar. Kasus tersebut sempat dimediasi oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), namun tetap berlanjut ke proses hukum. 

Baca Juga: Mandikan Jenazah Bukan Muhrim, MUI Panggil RSUD Siantar

Topik:

  • Satria Permana

Berita Terkini Lainnya