Kebijakan Tambal-Sulam Dinilai Akan Dorong RI Masuk Jebakan Pandemik 

Kini, kasus COVID-19 sedang melonjak di luar Jawa-Bali

Jakarta, IDN Times - Epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono, menyentil kebijakan penanganan pandemik COVID-19 di Tanah Air yang terkesan tambal sulam. Kebijakan yang dibuat bukan bersifat jangka panjang, melainkan reaktif atas situasi pandemik COVID-19. Karena itu, pandemik di Indonesia diprediksi akan berlangsung lama. 

"Gak ada tanda-tanda bahwa kita akan berhasil menggunakan cara apa pun. Artinya, kita bisa lama sekali berada dalam situasi ini. Pak Jokowi menyelesaikan jabatannya sebagai presiden saja, mungkin belum selesai pandemiknya," kata Pandu ketika dihubungi IDN Times melalui telepon, Senin 2 Agustus 2021. 

Salah satu pernyataan yang ia sentil yakni harapan Presiden Joko "Jokowi" Widodo yang ingin agar kekebalan komunal di Jawa-Bali bisa tercapai pada Agustus 2021.

"Kenapa kekebalan komunal itu harus dicapai bulan Agustus? Cara untuk mencapainya itu bagaimana? Semuanya itu kan perlu perencanaan, ada yang jangka pendek hingga panjang," tutur dia lagi. 

Ia menggarisbawahi ketika pemerintah menetapkan target harus realistis. Bila pemerintah ingin menyuntikan vaksin COVID-19 hingga 5 juta per hari, maka harus dicek juga ketersediaan stok vaksin dan vaksinatornya. Tidak bisa pernyataan semacam itu diucapkan ke publik tanpa data. 

"Kan itu semua (vaksinasi) membutuhkan dana. Dicek juga apakah Kementerian Keuangan memiliki dananya atau tidak. Bila tidak ada koordinasi semacam itu, maka bukan manajemen namanya," ujar Pandu. 

Padahal, kata dia, pejabat di Tanah Air sering menyampaikan situasi lonjakan kasus COVID-19 di India karena dipicu meluasnya mutasi corona varian Delta. "Tapi, kita tidak pernah membicarakan bila situasi itu juga terjadi di Indonesia. Semua berpikir situasi di India gak akan pernah terjadi di Tanah Air. Padahal, seharusnya strategi yang disiapkan sejak lama adalah antisipasi," ungkapnya. 

Alhasil, situasi pandemik di Indonesia menjadi naik-turun. Tetapi, tidak benar-benar berakhir. Lalu, bagaimana caranya agar Indonesia bisa keluar dari jerat jebakan pandemik COVID-19?

1. Jebakan pandemik sudah terlihat dengan indikasi lonjakan kasus di luar Jawa-Bali

Kebijakan Tambal-Sulam Dinilai Akan Dorong RI Masuk Jebakan Pandemik Epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI) Dr. Pandu Riono (Tangkapan layar Zoom Indikator Politik Indonesia)

Menurut Pandu, perangkap pandemik itu sudah mulai dirasakan. Meski kasus di Pulau Jawa dan sejumlah area di Bali menurun, tetapi lonjakan COVID-19 kini terjadi di luar dua pulau tersebut. 

"Sekarang naik lagi dan terjadi lonjakan yang selama ini belum pernah terjadi yakni di luar Jawa dan Bali. Hal itu karena sudah banyak virus Delta yang menyebar hingga ke pulau lain," kata Pandu. 

Kini, virus corona varian Delta sudah ditemukan di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Berdasarkan data dari Balitbang Kementerian Kesehatan per 31 Juli 2021, sudah ada 10 kasus COVID-19 varian Delta di Papua. Sementara, di Nusa Tenggara Timur (NTT) sudah ditemukan 41 kasus. 

"Dengan jumlah penduduk di Papua yang sedikit, bayangkan bila separuhnya meninggal (karena COVID-19). Itu kan seperti tidak mengantisipasi ketika pandemik terjadi di wilayah dengan penduduk yang sedikit," ujarnya lagi. 

Pandu pun yakin seandainya terjadi penurunan secara konsisten selama enam bulan ke depan, maka warga dan pemerintah akan larut dalam euforia. Padahal, masih ada kantong-kantong daerah yang berpotensi menyebabkan terjadinya lonjakan COVID-19. 

Baca Juga: Oksigen buat Pasien COVID di Papua Barat Langka, BNPB Kirim 50 Tabung

2. Vaksin COVID-19 tak mencegah penularan, didistribusikan ke warga lambat

Kebijakan Tambal-Sulam Dinilai Akan Dorong RI Masuk Jebakan Pandemik Capaian dosis vaksinasi dosis pertama di Indonesia (Dokumentasi Kementerian Kesehatan)

Lebih lanjut, Pandu menjelaskan, varian Delta yang kali pertama muncul di India itu memiliki kemampuan replikasi antara 5 hingga 8 kali lebih cepat dibandingkan varian Sars-CoV-2 sebelumnya. Ia pun mewanti-wanti semakin cepat terjadinya penularan maka mutasi virus akan terus berlanjut. 

Pandu mengakui, vaksin COVID-19 memang membantu. Tetapi, vaksin tidak mencegah penularan COVID-19. 

"Vaksin memang mencegah agar tidak terjadi kematian atau gejala berat COVID-19, tetapi itu semua baru bisa terjadi bila dilakukan secara cepat. Selama ini hanya retorika saja ingin cepat vaksinasi," kata Pandu. 

Berdasarkan data dari Kemenkes per 31 Juli 2021, baru DKI Jakarta dan Bali saja yang pemberian dosis pertama vaksin COVID-19 mencapai 90 persen. Provinsi lain di bawah itu, seperti Lampung baru memberikan vaksin dosis pertama kurang dari 10 persen jumlah penduduknya. 

Pandu mendorong pemerintah agar segera melakukan langkah radikal untuk membawa bangsa ini keluar dari jurang. Sebab, bila tidak, maka siklusnya kembali berulang. 

"Ketika jeda sekian lama maka kasus COVID-19 di Jawa dan Bali akan naik lagi," tutur dia. 

3. Satgas penanganan COVID-19 klaim Indonesia telah lewati puncak gelombang kedua

Kebijakan Tambal-Sulam Dinilai Akan Dorong RI Masuk Jebakan Pandemik Grafik kasus COVID-19 selama Juli 2021 (IDN Times/Aditya Pratama)

Sementara, ketika dimintai komentarnya, Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito mengatakan, pemerintah tengah berupaya keras untuk bisa menurunkan kasus COVID-19. Caranya, dengan mendengarkan masukan dan rekomendasi dari sejumlah ahli. 

"Hasilnya pun sudah terlihat yaitu penurunan sebesar 44 persen dari puncak kasus," kata Wiku pada hari ini. 

Ia kemudian meminta pemerintah dan masyarakat perlu konsisten terhadap pencapaian penurunan kasus ini. Wiku meminta masyarakat yakin bahwa Indonesia bisa melewati pandemik COVID-19. 

"Tugas kita bersama yaitu perlu konsisten agar pencapaian ini bisa lebih baik dan signifikan ke depannya dan dilandasi dengan penuh keyakinan bahwa Indonesia, pemerintah dan masyarakatnya mampu melewati ini semua," tutur dia lagi. 

Baca Juga: Diperpanjang hingga 9 Agustus, Ini Daerah-Daerah Masuk PPKM Level 4

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya