Kemendagri Ingatkan Ancaman Bui Bagi Warga yang Unggah Swafoto e-KTP

Ancaman bui bisa mencapai 10 tahun dan denda Rp1 miliar

Jakarta, IDN Times - Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Zudan Arif Fakhrullah, mewanti-wanti masyarakat ada bahaya yang mengintai ketika menggunggah swafoto dengan KTP elektronik di dunia maya. Menurutnya, foto berisi data pribadi itu bakal rentan disalahgunakan oleh pihak-pihak yang memiliki niat jahat.

Pernyataan Zudan ini untuk menanggapi maraknya fenomena orang melakukan swafoto dengan dokumen kependudukan seperti KTP elektronik. Lalu, swafoto tersebut dijual sebagai non-fungible token (NFT) di market place seperti OpenSea.

Fenomena ini mulai marak setelah seorang mahasiswa asal Semarang, Sultan Gustaf Al Ghozali (22 tahun) atau yang lebih dikenal di dunia maya sebagai Ghozali Everyday berhasil meraup miliaran rupiah dari penjualan swafoto dirinya sendiri sebagai NFT. Ghozali menjual NFT nya di market place tersebut. Kini, platform tersebut kebanjiran pengguna baru dan banyak yang menjual swafoto dengan KTP elektronik sebagai NFT.

Zudan mengingatkan ketika swafoto itu dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, maka masyarakat sendiri yang bakal dirugikan. "Menjual foto dokumen kependudukan dan melakukan foto selfie dengan dokumen KTP-el di sampingnya untuk verifikasi sangat rentan terhadap perbuatan penipuan atau kejahatan oleh 'pemulung data' atau oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Sebab, data kependudukan dapat dijual kembali di pasar underground atau digunakan dalam transaksi ekonomi daring seperti pinjaman online," ungkap Zudan melalui keterangan tertulis pada Senin, 17 Januari 2022 lalu. 

Ia mengakui belum semua warga paham pentingnya melindungi data pribadi. Tetapi, bukan lantas didiamkan. Hal ini, kata Zudan, harus disikapi secara bijak oleh semua pihak.

"Oleh karena itu perlu edukasi kepada seluruh masyarakat oleh kita semua untuk tidak mudah menampilkan data diri dan pribadi di media online," tutur dia lagi.

Zudan juga mengingatkan ada ancaman pidana yang bisa menghantui warga yang dengan sengaja mendistribusikan data pribadinya di dunia maya. Apa ancaman pidana yang bisa diterima oleh warga?

Baca Juga: Berbahaya! Hati-hati Unggah Swafoto Bersama E-KTP untuk Bisnis NFT 

1. Warga yang dengan sengaja mendistribusikan data diri bisa terancam bui maksimal 10 tahun

Kemendagri Ingatkan Ancaman Bui Bagi Warga yang Unggah Swafoto e-KTPilustrasi borgol (IDN Times/Mardya Shakti)

Menurut Zudan, menjual atau mendistribusikan dokumen kependudukan termasuk milik diri sendiri di dunia maya, dapat dikategorikan perbuatan melanggar hukum. Hal tersebut melanggar Undang-Undang nomor 24 tahun 2013 tentang perubahan UU nomor 23 tahun 2006 mengenai administrasi kependudukan. 

"Pelakunya diancam penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar," kata Zudan. 

Ia pun mewanti-wanti agar masyarakat lebih selektif memberikan data pribadi ketika tengah memasang aplikasi tertentu, terutama aplikasi yang melibatkan keuangan. Sebab, sering kali aplikasi tersebut tidak sekedar membutuhkan data pribadi. Mereka juga meminta akses ke dalam ponsel pengguna yang menyangkut phone book, kamera dan galeri dokumentasi di ponsel tersebut.

Data-data ini kerap kali digunakan oleh pemilik aplikasi pinjaman online untuk meneror warga yang belum membayarkan cicilan dana yang dipinjam.

Baca Juga: Mau Bikin NFT-mu Sendiri kayak Ghozali Everyday? Begini Langkahnya

2. Indonesia belum memiliki peraturan yang mengatur bila data pribadi disalahgunakan

Kemendagri Ingatkan Ancaman Bui Bagi Warga yang Unggah Swafoto e-KTPTren kasus kebocoran data di Indonesia (IDN Times/Aditya Pratama)

Kondisi warga yang data pribadinya terekspos di dunia maya semakin rentan lantaran bila hal tersebut terjadi tanpa persetujuan dari mereka, tidak ada mekanisme hukum yang dapat menjerat pelaku. Apalagi hingga saat ini Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (PDP) belum juga disahkan. Padahal, RUU nya sudah dibahas sejak 2014 lalu. 

Publik pun bertanya apa yang menjadi penghalang sehingga sulit diselesaikan. RUU itu sempat masuk program legislasi nasional (Prolegnas) tahun 2020, namun kembali tertunda dan dijanjikan akan rampung pada 2021. 

Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Nasional Demokrat, Muhammad Farhan, mengatakan penyebab RUU itu tak kunjung disahkan karena adanya perbedaan pendapat mengenai otoritas perlindungan data (OPD). Ia mengatakan masih ada perdebatan di antara pemerintah dan anggota DPR. 

"Teman-teman di DPR menginginkan agar OPD dipegang oleh lembaga independen. Tetapi, pemerintah sampai Presiden Jokowi sudah memiliki sikap yang firm bahwa pemerintah ingin menempatkan OPD di bawah Kemkominfo. Secara, teknis OPD akan dijalankan oleh Dirjen Aptika," kata Farhan ketika dihubungi oleh IDN Times pada Mei 2021 lalu.

Ia tak membantah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) juga melakukan pengumpulan data. Tetapi, instansi itu tetap harus bertanggung jawab kepada presiden dan DPR. 

Keinginan politik agar OPD berada di bawah Kominfo didasari alasan data pribadi kini disimpan oleh banyak institusi, termasuk perusahaan swasta dan asing.

"Data-data kita itu kan ditarik melalui berbagai macam cara, mulai dari jasa keuangan digital, aplikasi angkutan massal seperti Gojek, bank, rumah sakit sampai ke masalah layanan over the top, dikumpulkan melalui Facebook dan lain-lain," tutur dia. 

Apabila data itu dikelola perusahaan asing, kata Farhan, rentan disalahgunakan. Aksi penyalahgunaan data oleh otoritas asing bisa ditekan bila dilakukan kesepakatan antarnegara.

"Yang meneken kesepakatan itu kan menteri yang melakukan atas nama presiden dan negara," ujarnya.

3. Di RUU PDP, pelaku yang terbukti menggunakan data orang lain bisa diancam bui tujuh tahun

Kemendagri Ingatkan Ancaman Bui Bagi Warga yang Unggah Swafoto e-KTPIlustrasi peretasan (IDN Times/Sukma Shakti)

Di dalam naskah RUU PDP versi tahun 2019 yang diunggah di situs resmi Kominfo, RUU tersebut terdiri dari 72 pasal. Selain menjelaskan definisi data pribadi, di dalam aturan itu juga mengatur sanksi jika individu atau instansi terbukti menggunakan data yang bukan miliknya. 

Berdasarkan pasal tiga ayat 3 di RUU PDP, data pribadi bersifat umum dan spesifik. Data pribadi yang bersifat umum yaitu: 

a. nama lengkap;
b. jenis kelamin;
c. kewarganegaraan;
d. agama; dan/atau
e. data pribadi yang dikombinasikan untuk mengidentifikasi seseorang.

Lalu, data pribadi yang bersifat spesifik terdiri dari: 

a. data dan informasi kesehatan;
b. data biometrik;
c. data genetika;
d. kehidupan/orientasi seksual;
e. pandangan politik;
f. catatan kejahatan;
g. data anak;
h. data keuangan pribadi; dan/atau
i. data lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Pemidanaan terdapat di Bab XIII mulai dari Pasal 61-69. Di dalam Pasal 61 tertulis apabila individu terbukti menggunakan data orang lain maka bisa diancam bui berkisar dari dua hingga tujuh tahun. Ada pula ancaman denda dari Rp20 miliar hingga Rp70 miliar.

Di Pasal 61 ayat 1 tertulis, "setiap orang yang dengan sengaja memperoleh atau mengumpulkan data pribadi yang bukan miliknya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dapat mengakibatkan kerugian pemilik data pribadi maka dipidana penjara paling lama lima tahun." 

Sedangkan di ayat tiga tertulis, "setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum menggunakan data pribadi yang bukan miliknya, maka dipidana penjara paling lama tujuh tahun."

Baca Juga: 10 Barang Kocak yang Dijual di OpenSea usai Ghozali Viral, Makin Ngaco

Topik:

  • Hana Adi Perdana

Berita Terkini Lainnya