Ketua Komisi I Usulkan RI Jadi Juru Damai Rusia-Ukraina Lewat MU PBB

Jangan bawa konflik Rusia-Ukraina ke Dewan Keamanan PBB

Jakarta, IDN Times - Ketua Komisi I DPR dari fraksi Partai Golkar, Meutya Hafid mendorong Pemerintah Indonesia untuk ikut berperan dalam meredakan konflik peperangan antara Rusia dengan Ukraina. Militer Rusia mulai menyerang Ukraina dengan skala penuh usai mendapat restu dari Presiden Vladimir Putin pada Kamis, 24 Februari 2022 lalu. 

Dikutip dari laman Time, restu itu diberikan usai Putin menyampaikan pidatonya sekitar pukul 06.00 WIB. Menurutnya, serangan militer itu dibutuhkan untuk melindungi warga sipil di bagian timur Ukraina. Ia juga mewanti-wanti negara lain agar tidak ikut campur atau akan menerima konsekuensi yang tak terbayangkan. 

Dikutip dari laman Al Jazeera, Menteri Kesehatan Ukraina, Oleh Lyashko, sejak serangan dilakukan pada Kamis kemarin, total 57 orang yang meninggal dan 169 individu lainnya terluka. Meski sebagian besar merupakan personel militer. 

Di sisi lain Wali Kota Mariupol mengklaim ada tiga warga sipil yang tewas di bagian timur kota pelabuhan tersebut. Selain itu, ada pula enam warga sipil lainnya yang mengalami luka. 

"Saya berpandangan Indonesia mesti menginisiasi penyelesaian damai baik itu secara bilateral dengan Rusia dan Ukraina atau melalui jalur Majelis Umum PBB. Indonesia dapat mengambil peran ini mengingat posisi Indonesia sebagai Presidensi G-20. Selain itu, Indonesia memiliki kewajiban konstitusional untuk turut serta dalam menciptakan perdamaian dunia," ujar Meutya dalam keterangan tertulis pada Jumat, (25/2/2022). 

Meutya mengatakan, sikap kembali ke meja dialog harus segera dilakukan, sebab bila tetap dibiarkan insiden saling serang ini bisa menjadi perang terbuka yang meluas. "Perang ini berpotensi menjerumuskan dunia ke dalam Perang Dunia III," kata dia lagi. 

Mengapa Meutya mengusulkan jalan damai ditempuh lewat Majelis Umum dan bukan Dewan Keamanan PBB?

1. Majelis Umum PBB memungkinkan semua negara anggota berikan suara

Ketua Komisi I Usulkan RI Jadi Juru Damai Rusia-Ukraina Lewat MU PBBSekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, ketika melakukan pidato saat Sidang Majelis Umum PBB pada hari Rabu, 22 September 2021, lalu. (Instagram.com/antonioguterres)

Di dalam keterangan tertulisnya, Meutya turut menyayangkan apa yang dilakukan oleh Rusia terhadap Ukraina. Hal itu bertentangan dengan tatanan internasional yang berbasis hukum dan aturan. 

"Sebagai Ketua Komisi I DPR RI, saya mendesak semua pihak untuk menahan diri dan menyerukan semua pihak untuk segera de-eskalasi dan melakukan gencatatan senjata," ungkap Meutya.

Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi multilateralisme tentu sangat menolak segala bentuk tindakan yang dapat merusak perdamaian dan stabilitas dunia. Apalagi bila hal tersebut menyebabkan korban jiwa dari warga sipil. 

"Saya tentu berharap agar setiap permasalahan yang ada dapat diselesaikan melalui jalur dialog dan perundingan ketimbang jalur militer," kata dia. 

Ia pun mengusulkan agar proses damai dilakukan melalui Majelis Umum PBB dan bukan Dewan Keamanan. Sebab, bila melalui proses DK, maka semua keputusan yang dianggap merugikan Rusia bisa langsung diveto oleh Negara Tirai Besi itu. Rusia diketahui merupakan satu dari lima negara yang duduk sebagai anggota tetap DK PBB. 

"Sementara, di Majelis Umum PBB, tidak ada hak veto. Semua negara anggota dianggap memiliki satu suara yang sama," ujarnya. 

Baca Juga: Jokowi Minta Perang Rusia-Ukraina Dihentikan: Bahayakan Dunia!

2. Ancaman sanksi ekonomi dari Amerika Serikat baru terasa enam bulan kemudiaan

Ketua Komisi I Usulkan RI Jadi Juru Damai Rusia-Ukraina Lewat MU PBBPakar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Sejalan dengan Meutya, Guru Besar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana juga mengusulkan mencari upaya perdamaian lewat forum Majelis Umum PBB. Ia bahkan menyebut, dalam sejarahnya MU PBB pernah melaksanakan tugas menjaga perdamaian pada 1950 lalu. 

"Ketika itu pecah perang di Semenanjung Korea. Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi yang disebut sebagai Uniting for Peace. Resolusi itu berisi permintaan kepada negara-negara yang bertikai untuk segera melakukan gencatan senjata," kata Hikmahanto melalui keterangan tertulis pada Kamis, 24 Februari 2022 lalu. 

Bila permintaan gencatan senjata melalui MU PBB tetap tak digubris, maka Majelis Umum dapat memberi mandat kepada negara-negara untuk mengerahkan pasukan terhadap negara yang tak mematuhi gencatan senjata. Proses di MU PBB ini harus diinisiasi oleh sebuah negara. 

"Indonesia dapat mengambil peran ini. Apalagi Indonesia saat ini memegang presidensi G-20 dan memiliki kewajiban konstitusional untuk turut dalam ketertiban dunia," ungkapnya. 

Presiden Joko "Jokowi" Widodo, kata Hikmahanto dapat mengutus Menteri Luar Negeri Retno Marsudi untuk melakukan shuttle diplomacy dengan melakukan pembicaraan ke semua pihak, termasuk Presiden Majelis Umum, Sekjen PBB, Menlu Rusia, Menlu Ukraina, hingga Menlu di negara-negara Eropa barat. 

"Bila saling serang di Ukraina dibiarkan maka bisa menjadi cikal bakal perang dunia III," tutur dia lagi. 

Hikmahanto juga mengingatkan bahwa ancaman sanksi ekonomi yang bakal dijatuhkan oleh AS tidak berpengaruh banyak. Sebab, pertama sanksi itu baru akan terasa di level masyarakat dan elite dalam waktu 6 bulan hingga satu tahun ke depan. 

Kedua, Rusia tidak sama seperti Iran dan Korea Utara yang masih bergantung kepada negara lain. Ketiga, Rusia masih akan tetap dibantu oleh sekutunya. Bahkan, China melihat ada celah potensi keuntungan secara finansial. 

3. 138 WNI dalam keadaan aman dan segera dievakuasi keluar dari Ukraina

Ketua Komisi I Usulkan RI Jadi Juru Damai Rusia-Ukraina Lewat MU PBBPresiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy bertemu dengan sejumlah tentara pasukan bersenjata Ukraina dalam posisi siap tempur dekat garis pemisah dari wilayah pemberontak yang didukung Rusia Donetsk, Ukraina, Kamis (17/2/2022). ANTARA FOTO/Ukrainian Presidential Press Service/Handout via REUTERS.

Sementara, menurut keterangan dari Kementerian Luar Negeri, saat ini terdapat 138 WNI yang bermukim di Ukraina. Sebanyak 72 WNI di antaranya telah menginap di KBRI Kiev. 

"Mereka dalam kondisi selamat dan tetap tenang. Kami meminta mereka untuk meningkatkan kewaspasdaan dan berkumpul di KBRI. KBRI juga membantu penjemputan bagi mereka yang kesulitan transportasi," ungkap Direktur Perlindungan WNI Kemlu, Judha Nugraha melalui keterangan tertulis pada Juamt, (25/2/2022). 

Sejak Rusia resmi menyerang Ukraina pada Kamis kemarin, otoritas setempat menutup wilayah udaranya bagi penerbangan sipil. Artinya, tidak ada satu pun pesawat sipil bisa mendarat di bandara Ukraina. 

Hal ini tentu menjadi tantangan dalam proses evakuasi WNI yang semula ingin dilakukan melalui wilayah udara Ukraina. Berdasarkan kisah seorang WNI di Ukraina, Vanda Sakina Damayanti, kemungkinan evakuasi akan dilakukan melalui jalur darat menuju ke negara lain yang berbatasan dekat dengan Ukraina. 

"Kalau pun terjadi evakuasi, kita mungkin diarahkan ke perbatasan Polandia atau masuk ke negara di Eropa barat. Baru dari sana, kami akan dievakuasi dengan pesawat, karena semua bandara di Ukraina sudah ditutup," tulis Vanda di Instastory-nya kemarin. 

Vanda bersama suami dan dua anaknya sudah meninggalkan apartemennya di Kiev untuk mencari perlindungan ke KBRI. "Kami sampai saat ini masih dalam posisi menunggu kabar selanjutnya dari KBRI. Mereka masih sibuk meeting untuk menentukan nasib kami akan dibawa ke mana," kata dia. 

Salah satu hal yang disampaikan Vanda yakni WNI yang berada di kota-kota yang telah dibom pasukan Rusia, diminta mencari perlindungan ke konsul kehormatan RI di Lviv. 

Baca Juga: Rusia Invasi Ukraina, Ini Skema Evakuasi WNI yang Disiapkan Kemlu RI

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya