Kisah Dwi Ariyani, Kartini Pejuang Hak Kesetaraan Bagi Kaum Disabilitas

Dwi pernah diusir dari pesawat karena bepergian seorang diri dengan kursi roda

Jakarta, IDN Times - Nama Dwi Ariyani (37 tahun) menjadi buah bibir ketika ia diusir oleh maskapai Etihad Airways pada April 2016 lalu. Padahal, saat itu, ia sudah melalui proses pemeriksaan yang berlapis hingga bisa masuk kabin pesawat dan duduk. 

Tapi, kondisinya yang menggunakan kursi roda dan seorang diri, membuat pihak maskapai khawatir. Tiba-tiba ia dihampiri oleh pramugari dan ditanya apakah bisa mengevakuasi dirinya sendiri kalau dalam keadaan bahaya. Tidak ada penjelasan lebih lanjut, pihak maskapai langsung menurunkan barang-barang Dwi dari bagasi dan mengusirnya dari dalam kabin. 

"Salah satu alasannya saya diturunkan yakni karena membahayakan penerbangan. Saya bingung, di bagian mana? Saya gak ngerti," ujar Dwi pada awal Desember 2017 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. 

Lalu, bagaimana Dwi memperjuangkan hak bagi sesama kaum disabilitas? Berikut kisahnya yang layak menjadi inspirasi para Kartini di zaman now: 

1. Diperlakukan diskriminatif oleh maskapai Etihad

Kisah Dwi Ariyani, Kartini Pejuang Hak Kesetaraan Bagi Kaum DisabilitasDwi Ariyani/istimewa

Kepada IDN Times yang menghubunginya melalui telepon beberapa waktu lalu, Dwi bercerita ia hendak berangkat menuju ke Jenewa, Swiss pada (4/04/2016) untuk menghadiri Konvensi Penyandang Hak-Hak Disabilitas. Kerennya, Dwi merupakan satu-satunya warga Indonesia yang diundang hadir ke sana. Usai kembali dari Jenewa, Dwi rencananya membagikan materi pelatihan yang ia dapat ke sesama rekan disabilitas. 

Bagi Dwi, ini bukan kali pertama ia terbang ke luar negeri dengan menggunakan kursi roda. Bahkan, ia juga sudah pernah terbang dengan maskapai Etihad, tapi tidak pernah mengalami masalah seperti kemarin. Dalam kasusnya kemarin, Dwi merasa sudah diperlakukan diskriminatif sejak awal. 

Petugas check in maskapai malah menempatkan Dwi di kursi di samping pintu darurat. Padahal, secara teori, tidak sepatutnya ia ditempatkan di sana, karena dalam keadaan bahaya, Dwi tidak mampu membantu orang lain. 

Sekitar 15 menit sebelum pesawat take off, Dwi dihampir oleh kru kabin dan menanyakan apakah ia bisa berdiri dan menyelamatkan orang lain. 

"Saya katakan saya tidak bisa melakukan evakuasi sendiri. Tapi, kalau berdiri saya masih mampu dan berjalan beberapa meter dengan berpegangan," katanya kepada IDN Times. 

Kru kabin kemudian memanggil staf darat untuk menjelaskan situasinya. Dwi akhirnya diminta turun oleh maskapai karena berangkat tanpa membawa pendamping. 

"Di situ, saya sudah merasa diperlakukan diskriminatif. Kan bukan salah saya, kalau saya diberi kursi di samping pintu darurat. Seharusnya pihak maskapai yang memberitahukan dan memindahkan saya ke kursi yang lain," katanya lagi. 

Walau sempat terjadi perdebatan, Dwi tetap diturunkan. Dengan menggunakan kursi roda yang sudah disiapkan oleh maskapai, ia dibawa keluar dari kabin pesawat kembali ke bandara. Menurut maskapai, semua barang Dwi yang semula ada di bagasi termasuk kursi rodanya, sudah dikeluarkan. 

"Iya ada (cek-cok di dalam pesawat). Bahkan, saat saya dibawa keluar, saya sempat berteriak-teriak di lorong (pesawat). Saya juga berdebat panjang dengan stafnya di depan pintu pesawat," tutur dia. 

Kru kabin, kata Dwi, sempat meminta pendapat pilot pesawat. Hasilnya tetap tak berubah, ia tidak diizinkan masuk ke dalam pesawat. 

Baca juga: Penyandang Disabilitas Masih Belum Hidup Nyaman Di Indonesia

2. Mengajukan keluhan ke Kemenhub hingga membuat petisi

Kisah Dwi Ariyani, Kartini Pejuang Hak Kesetaraan Bagi Kaum DisabilitasLBH Jakarta/istimewa

Tidak terima diperlakukan demikian, Dwi mengajukan protes kepada maskapai dan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub. Tetapi, Etihad justru tidak menunjukkan itikad baik. Mereka absen dalam pertemuan mediasi pertama yang dilakukan oleh Kemenhub pada (11/04/2016).

"Pihak Etihad Airways membatalkan pertemuan melalui telepon pada Sabtu, 9 April. Mereka beralasan Mba Dwi sudah melanggar persyaratan yang ada yakni tidak menggunakan pengacara dan mengumbar masalah ini ke media," ujar Kepala Bidang Minoritas dan Kelompok Rentan dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Pratiwi Febri kepada media tahun lalu. 

Menurut perempuan yang akrab disapa Tiwi itu, LBH Jakarta hanya memfasilitasi tempat pertemuan saja. Pihak Dwi juga tidak pernah membesar-besarkan isu tersebut di media. Mereka pun baru tahu ada permintaan maaf dari pihak Etihad Airways melalui media. 

Selain mengajukan protes melalui Kemenhub, Dwi turut menggalang dukungan dari publik melalui petisi change.org. Melalui platform tersebut, sebanyak 49.469 orang menandatangani petisi. Bahkan, tidak sedikit komentar netizen yang akhirnya ilfeel menggunakan jasa maskapai Etihad. 

Ia juga mengajukan keluhan ke pihak Ombudsman untuk menyelidiki apakah ada kekeliruan dalam prosedur yang dimiliki oleh maskapai Etihad dalam menangani penumpang disabilitas. 

3. Mengajukan gugatan ke pengadilan dan menang

Kisah Dwi Ariyani, Kartini Pejuang Hak Kesetaraan Bagi Kaum DisabilitasDwi Ariyani/istimewa

Karena Dwi melihat tidak ada niat baik dari maskapai Etihad, maka ia mengajukan gugatan resmi ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada akhir 2016. Proses hukum itu cukup melelahkan karena memakan waktu hampir satu tahun lamanya. Apalagi sidang pembacaan putusan sempat ditunda. Yang semula harusnya dibacakan pada (20/11/2017), tapi baru dilakukan pada (4/12/2017). 

Dwi meminta agar Etihad Airways memberi ganti rugi materiil senilai Rp 178 juta, imateriil Rp 500 juta serta permintaan maaf di lima media nasional. Sebagian besar tuntutan itu rupanya dikabulkan oleh majelis hakim. 

Etihad dianggap telah melakukan pelanggaran hukum sesuai yang diatur dalam pasal 134 UU nomor 1 tahun 2009 mengenai penerbangan. Dalam UU itu diatur hak penumpang berkebutuhan khusus. 

Majelis hakim memerintahkan untuk memberi ganti rugi materiil sebesar Rp 37 juta, imateriil senilai Rp 500 juta serta meminta maaf di media nasional. Sontak, vonis itu ditanggapi dengan suka cita oleh tak hanya Dwi, tapi penyandang disabilitas lainnya. 

"Ini diharapkan tidak hanya menggerakan maskapai udara asing, tapi juga maskapai udara nasional untuk menghormati hak disabilitas," kata Dwi kepada IDN Times melalui telepon. 

Etihad Airways sempat meminta maaf dan mengajukan kompensasi kepada Dwi yakni dua tiket ke Eropa. Tapi tawaran itu ditolak mentah-mentah oleh Dwi. Baginya, ini bukan soal tiket pesawat yang hangus akibat ia diusir pada April 2016 lalu. 

"Ini masalahnya cara Anda memperlakukan saya itu udah diskriminasi. (Karena) lihat saya pakai kursi roda, langsung gak membolehkan untukt terbang," kata aktivis yang mendorong kesetaraan kaum disabilitas itu. 

Baca juga: Meski Masih 12 Tahun, Anak Penyandang Disabilitas Ini Jadi Rapper Handal

4. Kaum disabilitas sering dianggap orang sakit

Kisah Dwi Ariyani, Kartini Pejuang Hak Kesetaraan Bagi Kaum DisabilitasSumber Gambar: www.pantsupeasy.com

Pasca kemenangannya di pengadilan, Dwi mengaku kapok naik maskapai Etihad. Ia khawatir mendapat perlakuan serupa, lantaran ada dugaan Etihad belum memiliki prosedur penanganan terhadap penumpang disabilitas. 

Sebab, ketika dicek ke situs resmi, Etihad justru mewajibkan penumpang yang menggunakan kursi roda untuk mengisi formulir medis. 

"Padahal, sudah tertulis di dalam aturan internasional bahwa penyandang disabilitas bukan penyakit," kata Dwi. 

Hal itu pula yang tengah ia perjuangkan bersama rekan-rekan penyandang disabilitas. Indonesia, ujarnya, termasuk salah satu negara yang telah meratifikasi Konvensi Penyandang Disabilitas melalui UU Penyandang Disabilitas nomor 8 tahun 2016.  Tetapi, mirisnya tidak sedikit maskapai penerbangan nasional yang juga memperlakukan penyandang disabilitas dengan diskriminatif. Oleh sebab itu, Dwi sempat berharap Menteri Perhubungan agar membuat regulasi yang melarang semua maskapai melakukan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas. 

5. Pejuang hak disabilitas dengan latar teknologi komputer

Kisah Dwi Ariyani, Kartini Pejuang Hak Kesetaraan Bagi Kaum Disabilitaswww.disabilityrightsfund.org

Dwi diketahui merupakan konsultan di Indonesia bagi LSM Disability Rights Fund dan Disability Rights Advocacy Fund. Tugasnya yakni menjadi jembatan antara organisasi tempat ia bekerja dengan pihak yang membutuhkan dana atau menyumbang demi kemajuan persamaan hak kaum disabilitas. Selain memang penyandang disabilitas, Dwi ingin agar rekannya yang lain bisa diperlakukan setara seperti individu pada umumnya. 

Ia pernah terlibat dalam membantu proses pemulihan psikologis bagi anak-anak korban gempa bumi di Yogyakarta pada 2006 lalu. Ia juga membantu agar bantuan kemanusiaan bisa diakses oleh korban. 

Menurut situs organisasi Disability Rights Fund, Dwi disebut berpengalaman survei lapangan dan penilaian untuk pengumpulan data bagi penelitian. Hasilnya, sangat bermanfaat untuk masukan perbaikan hukum dan pembuatan buku panduan bagi kelompok disabilitas. 

Dengan kemampuannya di bidang teknologi komputer, Dwi memproduksi artikel berita yang dapat dibaca oleh para penyandang tuna netra. 

Baca juga: Jakarta Belum Ramah untuk Disabilitas dan Lansia

 

 

 

 

Topik:

Berita Terkini Lainnya