Komisi III Rapat Lanjutan dengan Mahfud Bahas Rp349 T, Rabu 29 Maret

DPR bakal putuskan apakah dibentuk pansus usai rapat

Jakarta, IDN Times - Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni mengatakan, rapat lanjutan untuk membahas dugaan transaksi mencurigakan dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD yang semula akan digelar Jumat (24/3/2023) ini batal.

Rapat tersebut digeser menjadi Rabu (29/3/2023) bersama Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) serta Menteri Keuangan. Ketiga pejabat itu tergabung di dalam Komite Nasional Koordinasi Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). 

"Jadi, tanggal 29 Maret, kami akan gelar rapat bersama Pak Menko dan Pak (Ketua) PPATK. Sedangkan dengan Bu Menkeu suratnya lagi diajukan. Rapat hari Jumat ini batal," ungkap Sahroni kepada IDN Times melalui pesan pendek, Jumat (24/3/2023). 

"Rencananya kami akan rapat bersama tiga pihak itu pukul 15:00 WIB," kata politikus Partai Nasional Demokrat (Nasdem) tersebut. 

Sementara, dalam rapat bersama Kepala PPATK Ivan Yustiavandana pada Selasa (21/3/2023) lalu, anggota Komisi III DPR menyoroti soal data yang disampaikan oleh PPATK kepada Mahfud. Sebab, berdasarkan ketentuan di dalam Undang-Undang TPPU, PPATK hanya boleh melaporkan hal tersebut ke Presiden dan DPR. 

"Yang diatur di dalam undang-undang sebenarnya ada kerahasiaan yang tidak boleh diungkap oleh publik.Tadi kan teman-teman bertanya ada gak aturan yang boleh mengungkapkan laporan (PPATK) itu. Di pasal berapa?" tutur dia. 

Ia pun menjelaskan, ada sejumlah laporan PPATK yang tergolong bukan rahasia dan dapat diungkap ke publik. Namun, transaksi mencurigakan senilai Rp349 triliun bukan termasuk yang bisa dibagikan ke publik. 

Apakah Komisi III DPR sudah memutuskan bakal membentuk pansus transaksi mencurigakan Rp349 triliun itu?

1. Pansus terkait transaksi mencurigakan bakal diputuskan setelah rapat 29 Maret 2023

Komisi III Rapat Lanjutan dengan Mahfud Bahas Rp349 T, Rabu 29 MaretKonferensi pers Wakil Ketua Komisi III DPR sekaligus Bendahara NasDem, Ahmad Sahroni (IDN Times/Aryodamar)

Lebih lanjut, usulan agar dibentuk panitia khusus untuk menyelidiki dugaan transaksi mencurigakan senilai Rp349 triliun akan diputuskan usai rapat 29 Maret 2023. Usulan itu kali pertama disampaikan oleh politikus Partai Gerindra, Desmond J Mahesa. 

"(Pansus) nanti diputuskan setelah tanggal 29 Maret, setelah semuanya final, maka nanti akan ada usul untuk membuat pansus agar lebih spesifik. Kami gak mau ada kegaduhan. Apa memang ada unsur udang di balik bakwan atau memang ada kaitannya kegaduhan ini untuk menonjolkan seseorang, atau bisa menjatuhkan seseorang," kata dia. 

Ia menyebut, ada begitu banyak informasi di masa lalu yang hanya berujung fitnah belaka. Maka, dalam rapat dengan Komisi III DPR harus berujung kepada pembuatan keputusan.

"Penyelesaiannya nanti harus disajikan kepada publik. Jangan sampai informasi sudah tersebar tapi gak ada penyelesaiannya," ujar dia. 

Baca Juga: Politikus Gerindra Dorong Bentuk Pansus Transaksi Mencurigakan Rp349 T

2. Komisi III DPR soroti cara Mahfud yang ungkap laporan PPATK ke publik

Komisi III Rapat Lanjutan dengan Mahfud Bahas Rp349 T, Rabu 29 MaretMenteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD (tengah) ketika memberikan keterangan pers soal dugaan transaksi mencurigakan di Kementerian Keuangan pada Senin, 20 Maret 2023. (IDN Times/Santi Dewi)

Lebih lanjut, Sahroni mengatakan bahwa Ivan selaku Kepala PPATK menyerahkan laporan tersebut kepada Mahfud dalam posisi sebagai Ketua Komite Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.

Mahfud yang akhirnya bersuara dan menyampaikan adanya dugaan transaksi mencurigakan senilai Rp349 triliun ke publik. Bahkan ketika itu, Mahfud menyebut transaksi mencurigakan itu terjadi di Kementerian Keuangan. 

"Pak Ivan sebenarnya tidak menyampaikan ke publik duluan. Beliau bertindak selaku sekretaris komite nasional dengan menyerahkan laporan ke Menko Polhukam sebagai ketua, secara detail. Tapi, ketua komite menyampaikan (laporan) itu ke publik namun tidak detail. Kan akhirnya, ini yang jadi pertanyaan banyak orang. Gaduh nih ceritanya," tutur dia.

Menurut informasi yang ia peroleh dari PPATK, transaksi mencurigakan itu bukan terjadi di Kemenkeu. "Tapi, ada transaksi yang asal usulnya dari Kemenkeu. Ada dua bea cukai dan pajak," ujarnya.

Sahroni berharap, akan ada ujung dalam rapat yang digelar pada Rabu pekan depan. Salah satunya dengan menyerahkan laporan itu ke aparat penegak hukum (APH) agar ditindaklanjuti. 

"Nah, ini harus jelas. Kalau masih belum jelas, maka pansus akan bergerak melakukan pendalaman laporan PPATK," kata dia.  

Ia menambahkan, isu dugaan transaksi mencurigakan itu menjadi melebar ke beberapa pihak. Publik akhirnya ikut menyoroti kelakuan flexing istri para pejabat. 

"Mulai dari istri Sekretaris Daerah (Provinsi Riau), istri Kepala BPN (Badan Pertanahan Nasional), dan lain-lain. Jadi, sekarang istri para pejabat yang semula suka main medsos, malah ikut ditelisik. Nah, ini jangan lagi terjadi dan kita selesaikan dalam waktu yang cepat," katanya. 

3. PPATK menepis semua dugaan transaksi janggal Rp349 triliun terjadi di Kementerian Keuangan

Komisi III Rapat Lanjutan dengan Mahfud Bahas Rp349 T, Rabu 29 MaretKepala Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan (PPATK), Ivan Yustiavandana. (youtube.com/PPATK Indonesia)

Sementara, di ruang rapat pada Selasa kemarin, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menjelaskan, dugaan transaksi janggal Rp349 triliun itu tidak semuanya berbicara tentang  tindak pidana yang dilakukan di Kementerian Keuangan. Tetapi, ada pula yang menyangkut tugas pokok dan fungsi Kemenkeu sebagai penyidik tindak pidana asal. Kebanyakan, kata Ivan, dari dugaan transaksi janggal itu menyangkut kasus ekspor-impor dan kasus perpajakan. 

"Di dalam satu kasus saja terkait impor-ekspor itu bisa mencapai lebih dari Rp100 triliun, Rp40 triliun," ungkap Ivan. 

"Jadi, ada tiga stream. Pertama, LHA (Laporan Hasil Analisis) yang disampaikan oleh PPATK itu ada LHA ada terkait dengan oknum. Kedua, LHA terkait dengan oknum dan tusi (tugas pokok dan fungsi), misalnya kami menemukan kasus ekspor-impor dan perpajakan, tapi kami hanya ketemu oknumnya. Ketiga, kami tidak menemukan oknumnya tapi kami menemukan tindak pidana asalnya," tutur dia lagi. 

Tindak pidana asal kepabeanan atau pajak tersebut yang disampaikan oleh tim PPATK ke penyidik. "Jadi, tidak bisa diterjemahkan tindak pidananya itu ada di Kemenkeu. Ini jauh-jauh berbeda maknanya. Kalimat ‘di Kemenkeu’ itu juga ada yang salah," katanya.

Ia menjelaskan, publik juga keliru seandainya memaknai laporan dari PPATK yang diserahkan ke KPK. Laporan tersebut, kata Ivan, bukan tentang dugaan transaksi mencurigakan yang dilakukan oleh pegawai komisi antirasuah. 

"Tapi, lebih kepada karena tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, penyidik tindak pidana asalnya di KPK," katanya.

Baca Juga: Arsul Sani: Mahfud MD Tak Berwenang Ungkap Laporan PPATK ke Publik

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya