Komnas HAM: Sidang Kasus Paniai Papua Berjalan Kurang Greget 

Jaksa dinilai hadirkan saksi yang kurang relevan

Jakarta, IDN Times - Komnas HAM menilai sidang lanjutan mengenai peristiwa Paniai, Papua pada Kamis, 13 Oktober 2022 lalu,  berjalan greget. Hal itu disebabkan majelis hakim kurang bekerja keras untuk menggali keterangan dari dua saksi yang dihadirkan di PN Makassar, Sulawesi Selatan.

Dua saksi yang dihadirkan adalah mantan Pangdam XVII/Cendrawasih Mayjen TNI (Purn) Fransen Goncang dan Ketua Tim Investigasi Peristiwa Paniai mantan Wakapolri Komjen Pol (Purn) Ari Dono Sukmanto.

"Tanpa mengurangi rasa hormat kepada pengadilan dan demi menggali kebenaran material dan peristiwa Paniai, majelis hakim perlu bekerja lebih keras," ungkap Wakil Ketua Komnas HAM Amiruddin, dalam keterangan tertulis yang dikutip, Sabtu (15/10/2022). 

Amir mewakili Komnas HAM ikut memantau jalannya persidangan secara langsung di Makassar sejak pagi. Menurutnya, majelis hakim tidak menggali lebih jauh soal tanggung jawab komando di peristiwa Paniai. 

Amir juga menyoroti peran Jaksa Penuntut Umum (JPU) ketika menghadirkan saksi. "JPU perlu lebih aktif dalam menghadirkan saksi yang sungguh-sungguh dan relevan dengan peristiwa. Sekaligus menunjukkan alat bukti yang kuat," tutur dia. 

Apa saja yang disampaikan oleh kedua saksi itu di persidangan?

1. Eks Pangdam Cendrawasih berkisah hanya ada peluru tajam untuk tangani tragedi Paniai

Komnas HAM: Sidang Kasus Paniai Papua Berjalan Kurang Greget Tangkapan layar sidang lanjutan kasus pelanggaran HAM berat di Paniai Papua hadirkan dua saksi di Pengadilan Negeri Makassar, Kamis (6/10/2022). (Dahrul Amri/IDN Times Sulsel)

Di dalam kesaksiannya, Fransen mengatakan, kesatuan di Paniai hanya disediakan peluru tajam. Itu sebabnya, dalam penanganan kericuhan di Paniai berujung maut pada 2014 lalu. Apalagi daerah itu tergolong rawan. 

"Kenapa itu peluru tajam, karena ada keterbatasan peluru. Memang di dalam proyek itu ada peluru tajam, karet, dan hampa. Tapi, karena keterbatasan anggaran, peluru karet dan hampa tak diberikan ke koramil itu. Selain itu, daerah tersebut juga rawan," ujar Fransen pada Kamis kemarin. 

Pernyataan Fransen mengonfirmasi informasi yang disampaikan oleh Letda Wardi Hermawan yang menjadi babinsa dan menjaga gudang senjata di Koramil 1705-02 Enarotali. Ia juga mengatakan, tidak ada peluru hampa yang disediakan ketika peristiwa Paniai terjadi.

Baca Juga: Kejagung Tetapkan Purnawirawan TNI Jadi Tersangka Kasus HAM Paniai

2. Mantan Wakapolri sebut ada perbedaan keterangan soal peristiwa Paniai

Komnas HAM: Sidang Kasus Paniai Papua Berjalan Kurang Greget (Wakapolri Komjen Pol Ari Dono) ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

Sementara, ketika bersaksi, Ari menjelaskan, ketika peristiwa Paniai terjadi ia masih menjabat sebagai Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri. Ari kemudian ditunjuk menjadi Ketua Tim Investigasi Gabungan TNI Polri yang dibentuk oleh Menko Polhukam setelah peristiwa Paniai pada 8 Desember 2014.

"Tim investigasi ini bertujuan mencari tahu apakah ada unsur pidana dan mencari tahu pelaku penembakan," kata Ari Dono.

Ari menyebutkan bahwa tim investigasi bertugas di Paniai sejak tanggal 26 Mei hingga 13 Juni 2015. Tim memeriksa sejumlah personel TNI dan Polri yang bertugas pada saat kejadian penembakan, yang menewaskan empat orang warga sipil.

Personel yang diperiksa terdiri dari sembilan anggota Polri, 11 personel Koramil 1705/Enarotali, tujuh personel dari Yonif 753/AVT, 14 personel dari Paskhas TNI AU, 11 orang warga sipil, dan tujuh orang lainnya. Mereka diperiksa berdasarkan hasil pengembangan kasus.

"Saat itu kami memeriksa 59 orang. Dari pemeriksaan itu kami keluarkan rekomendasi agar dilakukan penyelidikan lebih mendalam dan dilakukan uji balistik juga," tuturnya.

Menurutnya, tim menemukan perbedaan keterangan soal peristiwa itu. Ari Dono mengatakan, ada yang menyebut bahwa ada anggota Polri yang menusuk warga dengan sangkur. Namun, ada juga yang menyebut anggota TNI menebas.

"Tapi kami tidak tahu dan tidak menemukan yang mana korbannya. Bahkan sampai kami kembali tidak tahu siapa korbannya," kata dia.

3. Kasus di Paniai masuk 13 kasus pelanggaran HAM berat yang diselidiki oleh Komnas HAM

Komnas HAM: Sidang Kasus Paniai Papua Berjalan Kurang Greget Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD ketika memberikan pidato di Universitas Udayana, Bali pada Jumat, 30 September 2022. (Dokumentasi Kemenko Polhukam)

Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, pemerintahan Joko "Jokowi" Widodo akan menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat di Paniai, Papua. Ini bagian solusi dari konflik bersenjata di Papua. 

Ia mengatakan, untuk menangani kasus pelanggaran HAM berat di Paniai, Kejakgung menurunkan 22 orang jaksa. Kasus di Paniai masuk ke dalam 13 kasus pelanggaran HAM berat yang diselidiki oleh Komnas HAM. Pemerintahan Jokowi fokus menangani kasus Paniai lantaran peristiwa tersebut terjadi ketika mantan Gubernur DKI Jakarta itu berkuasa yakni pada 7-8 Desember 2014 lalu. 

Ia menambahkan, kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000, tepatnya sebelum disahkannya UU Nomor 26 Tahun 2000, akan diserahkan kepada DPR RI untuk dianalisis terkait kecukupan buktinya. Apabila dinyatakan cukup bukti oleh DPR, maka kasus itu akan dibawa ke pengadilan.

Perisitwa Paniai ini diketahui berawal pada malam 7 Desember 2014 di Enarotali, Kabupaten Paniai, Papua. Kejadian ini ditengarai diawali oleh teguran kelompok pemuda kepada anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang membawa mobil Toyota Fortuner Hitam tanpa menyalakan lampu. Teguran itu rupanya menyebabkan pertengkaran yang berujung penganiayaan oleh TNI.

Dalam peristiwa tersebut, empat orang tewas akibat terkena peluru tajam dan luka tusuk. Sedangkan, 21 orang lainnya terluka akibat tindak penganiayaan. 

Baca Juga: Sidang HAM Paniai, Eks Pangdam Cenderawasih Curhat soal Papua

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya