KPK: Kasus Korupsi Garuda akan Rampung Paling Lambat Awal Maret 2019

Emirsyah Satar dan Sutikno Soedardjo dijadikan tersangka

Jakarta, IDN Times - Beban yang dipikul oleh para pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jilid V sedikit lebih ringan saat mereka meninggalkan posisi tersebut pada Desember mendatang. Sebab, salah satu tumpukan kasus yang belum rampung itu pada tahun ini. 

Wakil Ketua KPK, Laode M. Syarif sudah menyampaikan hal tersebut kali pertama saat menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi 3 pada (28/1) lalu. Di sana, Syarief mengatakan kasus korupsi Garuda akan rampung di akhir bulan Januari atau di awal bulan Februari. 

Namun, rencana itu kembali molor. Hal itu, lantaran dokumen yang diperoleh lembaga antirasuah dari Perancis dan Inggris sudah tiba di Jakarta. 

Lalu, kapan kasus ini bisa benar-benar dituntaskan? Kali ini Syarief menyebut secepatnya. 

"Bulan ini atau awal Maret paling lama," kata Syarief menjawab pertanyaan IDN Times melalui pesan pendek pada Senin (11/2). 

Ia pun turut mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Inggris atas bantuannya. Mengapa? 

1. SFO Inggris membantu KPK untuk menuntaskan kasus korupsi Garuda

KPK: Kasus Korupsi Garuda akan Rampung Paling Lambat Awal Maret 2019(Wakil Ketua KPK, Laode M. Syarif dan Wakil Dubes Inggris untuk RI, Rob Fenn) IDN Times/Santi Dewi

Wakil Ketua KPK, Laode M. Syarief mengaku tidak akan bisa menuntaskan kasus korupsi Garuda Indonesia tanpa bantuan dari beberapa negara. Inggris termasuk salah satu di dalamnya. 

"Kami berterima kasih atas bantuan SFO (Serious Fraud Office) dan dokumen yang sudah kami peroleh. Kalian bisa berharap nanti kasus korupsi pengadaan mesin Garuda bisa segera dituntaskan," ujar pria yang sempat menjadi aktivis lingkungan itu pada sore tadi. 

Selain, dibantu Inggris, KPK juga mendapatkan data dari Pemerintah Perancis. 

Baca Juga: Garuda Indonesia Tekan Kerugian Hingga US$114 Juta

2. KPK sudah pernah periksa Emirsyah Satar pada tahun 2018

KPK: Kasus Korupsi Garuda akan Rampung Paling Lambat Awal Maret 2019ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

KPK menetapkan mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar pada 19 Januari 2017. Ia diduga telah menerima suap dari perusahaan pembuat mesin pesawat asal Inggris, Rolls Royce. 

Emirsyah Satar diduga menerima suap dengan nilai mencapai Rp20 miliar. Wakil Ketua KPK, Laode M. Syarief ketika itu merinci jumlah suap yang diterima mantan bankir itu terdiri dari uang Euro mencapai 1,2 juta dan US$180 ribu. 

Selain menerima suap dalam bentuk uang, Emirsyah turut menerima hadiah dalam bentuk barang. Nilainya mencapai US$2 juta. Barang itu tersebar di Singapura dan Indonesia. 

Lembaga antirasuah sudah memanggil Emirsyah untuk diperiksa usai ditetapkan sebagai tersangka. Pemeriksaan pertama pada 10 April 2018. Juru bicara KPK, Febri Diansyah ketika itu menjelaskan penyidik hanya mengklarifikasi soal kepemilikan aset milik Soetikno Soedarjo. 

Pemeriksaan kedua dilakukan pada 16 April 2018. Saat itu, Emirsyah diperiksa sebagai saksi untuk tersangka bos Mugi Rekso Abadi (MRA), Soetikno. KPK ingin mendalami PT MRA dalam pengadaan pesawat dan mesin pesawat A330-300 untuk perusahaan pelat merah tersebut. 

3. KPK juga menetapkan bos PT MRA, Soetikno Soedarjo sebagai tersangka

KPK: Kasus Korupsi Garuda akan Rampung Paling Lambat Awal Maret 2019(Bos PT MRA Soetikno Soedardjo) ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.

Selain Emirsyah Satar, KPK juga menetapkan bos PT MRA, Soetikno Soedarjo sebagai tersangka dalam kasus yang sama. Soetikno diduga menjadi perantara suap dari perusahaan manufaktur terkemuka asal Inggris, Rolls Royce ke Emirsyah ketika ia membeli 50 mesin pesawat Airbus SAS pada periode 2005-2014. 

Kasus itu bisa terkuak, setelah lembaga antirasuah menerima laporan dari SFO dan KPK Singapura (CPIB) yang sedang melakukan investigasi terhadap suap Rolls Royce di beberapa negara. SFO dan CPIB turut memberikan beberapa alat bukti. 

Berdasarkan penelusuran dan data yang dimiliki KPK, Soetikno mengalirkan suap melalui perusahaan Connaught International Pte. Ltd yang berlokasi di Singapura. Soetikno adalah pengendali sesungguhnya dari perusahaan tersebut.

Uniknya ketika masih menyandang status tersangka, Soetikno pada Agustus 2018 lalu sempat diketahui berlibur bersama keluarganya ke Thailand. Hal itu diketahui dari unggahan foto di Insta Story putri Soetikno, Dita Soedardjo. Padahal, biasanya, seorang tersangka dicegah untuk bisa ke luar negeri. 

Lalu, mengapa ini terjadi pada Soetikno? Juru bicara KPK, Febri Diansyah hanya membenarkan ada batas waktu soal pencegahan seseorang ke luar negeri. Menurut dia, pencegahan dilakukan terhadap seseorang yang keterangannya dibutuhkan dalam suatu kasus, termasuk dalam kasus suap terhadap mantan Dirut PT Garuda Indonesia. 

"Tapi, kalau memang belum dibutuhkan (keterangannya), saya kira juga tidak harus dilakukan (pencegahan ke luar negeri). Tapi, yang pasti penyidikan ini terus berjalan dan kami ingatkan terhadap para saksi dan tersangka agar bersikap kooperatif dalam menjalankan proses," kata Febri ketika dikonfirmasi pada tahun lalu. 

4. Emirsyah Satar terancam hukuman penjara 20 tahun

KPK: Kasus Korupsi Garuda akan Rampung Paling Lambat Awal Maret 2019Ilustrasi narapidana. (IDN Times/Sukma Shakti)

Menurut keterangan dari KPK, Emirsyah Satar disangka melanggar pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana. Apabila merujuk ke aturan tersebut, maka ia terancam penjara 4-20 tahun. Selain itu, ada pula denda Rp200 juta hingga Rp1 miliar.

Hal itu lantaran Emirsyah dianggap telah melanggar aturan sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara tidak boleh menerima hadiah atau janji. Apalagi hadiah atau janji itu untuk menggerakan agar tidak atau melakukan sesuatu. 

Sedangkan, Soetikno disangkakan dengan pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 5 ayat 1 huruf b atau pasal 13 No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Merujuk ke UU itu, maka Soetikno terancama dibui 1-5 tahun. Ada pula denda yang harus dibayar yakni Rp50 juta hingga Rp250 juta. 

Soetikno dianggap telah melanggar aturan di mana ia dilarang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara. 

Baca Juga: Disebut Bangkrut, CEO Garuda: Saya Gak Mungkin Ada di Sini

Topik:

Berita Terkini Lainnya