KPK: Menaikan Iuran Bukan Solusi Tutupi Defisit Keuangan BPJS 

Akar masalah ada di tata kelola BPJS yang tidak efisien

Jakarta, IDN Times - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai menaikan iuran BPJS Kesehatan bukan solusi untuk menjawab defisit keuangan yang dialami oleh perusahaan pelat merah itu. Berdasarkan data yang disampaikan oleh staf khusus Menkeu, Yustinus Prastowo, defisit keuangan BPJS mencapai Rp27,4 triliun. 

Justru menurut pimpinan KPK, Nurul Ghufron, akar permasalahan dari defisitnya keuangan BPJS karena adanya tata kelola yang cenderung tidak efisien dan tidak tepat. 

"Sehingga, kami berpendapat solusi menaikan iuran BPJS sebelum ada perbaikan seperti yang pernah kami rekomendasikan tidak menjawab permasalahan mendasar dalam pengelolaan dana jaminan sosial kesehatan," ungkap Nurul melalui keterangan tertulis pada Jumat (15/5). 

Selain itu, komisi antirasuah juga menemukan adanya praktik penyimpangan (fraud) dalam proses klaim. Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan menyebut Kementerian Kesehatan sempat mengoreksi klaim kelas di 892 rumah sakit karena diduga curang. 

"Misalnya rumah sakitnya kelas C, tapi ternyata klaimnya malah kelas B," kata Pahala melalui pesan pendek kepada IDN Times pada Kamis (15/5). 

Pahala pun menyebut sudah pernah menyerahkan kajian dari komisi antirasuah kepada Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto di awal ia dilantik. Namun, rupanya rekomendasi itu tidak diakomodir. Apa saja rekomendasi yang pernah disampaikan oleh KPK kepada Kemenkes?

1. KPK merekomendasikan Kemenkes agar menertibkan kelas rumah sakit hingga kebijakan pembatasan manfaat untuk klaim penyakit katastropik

KPK: Menaikan Iuran Bukan Solusi Tutupi Defisit Keuangan BPJS (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi)

Pahala menjelaskan komisi antirasuah sejak awal sudah memberikan seabrek rekomendasi kepada Kemenkes. Ia menjamin bila rekomendasi itu dijalankan, maka dapat menekan beban biaya yang harus ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Pertama, Kemenkes harus segera menyelesaikan Pedoman Nasional Praktik Kedokteran. Kedua, pemerintah harus melakukan penertiban kelas rumah sakit.

Ketiga, pemerintah perlu menerapkan kebijakan urun biaya (co-payment) untuk peserta mandiri seperti diatur di dalam Permenkes nomor 51 tahun 2018 mengenai urun biaya dan selisih biaya dalam program jaminan kesehatan, keempat, pemerintah menerapkan kebijakan pembatasan manfaat untuk klaim penyakit katastropik sebagai bagian dari upaya pencegahan. 

Kelima, mengakselerasi implementasi kebijakan coordination of benefit (COB) dengan asuransi kesehatan swasta. Sementara, menyangkut tunggakan iuran dari peserta mandiri, maka komisi antirasuah merekomendasikan agar pemerintah mengaitkan kewajiban bayar iuran BPJS Kesehatan dengan pelayanan publik seperti tak bisa memperpanjang SIM, STNK atau paspor. 

"Bila rekomendasi itu dijalankan saja, maka bisa langsung terasa dampaknya. Defisit bisa ditekan Rp10 triliun - Rp12 triliun," tutur Pahala. 

Baca Juga: Iuran BPJS Kesehatan Naik, Dirut: Hakikatnya Ini Program Gotong Royong

2. KPK berharap pemerintah meninjau kebijakannya menaikan iuran BPJS Kesehatan yang mulai berlaku Juli 2020

KPK: Menaikan Iuran Bukan Solusi Tutupi Defisit Keuangan BPJS Kebijakan kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan (IDN Times/Rahmat Arief)

Sementara, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menilai kebijakan Presiden Jokowi yang kembali menaikan iuran BPJS Kesehatan di tengah pandemik COVID-19 tidak bijaksana. Sebab, kenaikan iuran itu malah menjadi tambahan beban bagi rakyat dalam menghadapi situasi pandemik. 

"KPK justru berpendapat bila rekomendasi dijalankan maka iuran BPJS Kesehatan tidak perlu dinaikan karena sangat membebani masyarakat," kata Nurul. 

Berdasarkan Perpres 64 tahun 2020, maka peserta kelas I dikenakan membayar iuran senilai Rp150 ribu. Peserta kelas II diwajibkan membayar Rp100 ribu dan kelas III membayar iuran Rp25.500. 

Sementara, sebelum mengalami kenaikan, iuran BPJS Kesehatan lebih murah 50 persen. Untuk peserta kelas I, iuran yang dikenakan tiap bulan Rp80 ribu, peserta kelas II membayar Rp51 ribu dan peserta kelas III membayar Rp25.500. 

Pemerintah juga sempat menaikan iuran BPJS melalui Perpres nomor 75 tahun 2019. Tetapi, saat dibawa ke Mahkamah Agung, gugatan masyarakat dikabulkan. 

Dalam kebijakan yang baru, kenaikan iuran untuk peserta kelas I dan II mulai berlaku pada Juli 2020. Sedangkan, peserta kelas III wajib membayar dengan nominal iuran yang naik mulai 2021.

3. Istana mempersilakan bila ada masyarakat yang mau menggugat Perpres nomor 64 tahun 2020 ke MA

KPK: Menaikan Iuran Bukan Solusi Tutupi Defisit Keuangan BPJS Ilustrasi BPJS Kesehatan (IDN Times/Rahmat Arief)

Sementara, Perpres nomor 64 tahun 2020 akan digugat oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI). Mereka rencananya akan menggugat ke Mahkamah Agung. Komunitas itu telah menggandeng Lokataru Foundation sebagai kuasa hukumnya.

Pihak Istana mempersilakan bila ada masyarakat yang kembali menggugat sola kenaikan iuran BPJS Kesehatan ke MA. Deputi II Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Abetnego Tarigan, proses itu memang disediakan di dalam hukum. 

"Setiap warga negara berhak menggunakan hak-haknya termasuk juga menggugat kebijakan pemerintah," kata Abetnego ketika dikonfirmasi pada Jumat (15/5). 

Namun, ketika ditanya peluang pemerintah memenangkan gugatan itu, Abetnego enggan berkomentar lebih jauh. 

Baca Juga: DPR: Ada 4 Alasan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Harus Dibatalkan

Topik:

  • Jumawan Syahrudin

Berita Terkini Lainnya