KPK Minta Putusan MK Soal Napi Koruptor Diwujudkan dengan Aturan KPU

Eks napi koruptor tak bisa langsung ikut Pilkada 2020

Jakarta, IDN Times - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi undang-undang nomor 10 tahun 2016 mengenai pilkada. Hakim konstitusi mengabulkan eks napi kasus korupsi harus jeda dulu selama lima tahun, baru kemudian mereka bisa ikut pilkada. 

Langkah ini sedikit memberikan angin segar bagi penyelenggaraan pilkada 2020 mendatang agar tidak diikuti oleh calon kepala daerah yang sebelumnya pernah dibui karena kasus korupsi. 

"Itu kami harus kami menghargai putusan itu dan saya pikir ini juga harus disambut baik oleh pemerintah, parlemen maupun partai politik," ujar Wakil Ketua KPK, Laode M. Syarif seperti dikutip dari kantor berita Antara pada Rabu (11/12). 

Pimpinan yang sebentar lagi masa jabatannya akan habis itu mengaku sering mendengar keluhan dari para kader politik yang memiliki kualitas bagus tapi malah tidak didukung oleh parpol tempat mereka bernaung. 

"Kami yang bagus-bagus meniti karier dari bawah sampai ke atas ini, kami tidak pernah di-support, malah yang ada uangnya digunakan untuk support mantan napi. Ngapain seperti itu," kata Syarif lagi. 

KPK pun berharap putusan itu tidak berakhir sekedar di atas kertas dan diumumkan ke publik. Mereka berharap lebih. Wah apa ya?

1. KPK berharap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dituangkan menjadi peraturan KPU

KPK Minta Putusan MK Soal Napi Koruptor Diwujudkan dengan Aturan KPU(Juru bicara KPK, Febri Diansyah) IDN Times/Santi Dewi

Juru bicara KPK, Febri Diansyah mengatakan putusan dari MK pada Rabu kemarin diharapkan bisa ditindak lanjuti dengan cara diimplementasikan dan dituangkan secara lebih teknis ke dalam Peraturan KPU. 

"Salah satu poin yang ditegaskan adalah titik awal dihitungnya waktu lima tahun setelah pelaksanaan putusan yang berkekuatan hukum tetap," kata Febri pada Kamis kemarin. 

Dalam vonis untuk tindak pidana korupsi selain hukuman pidana penjara ada juga hukuman denda, uang pengganti dan pidana tambahan pencabutan hak politik. Sebagai contoh apabila seorang terdakwa kasus korupsi divonis lima tahun penjara lalu hak politik dicabut tiga tahun, artinya usai ia menuntaskan masa pidana, terdakwa itu tidak bisa langsung ikut kontestasi politik. Ia perlu menunggu tiga tahun ditambah lima tahun sesuai putusan MK. Artinya, ia harus menunggu dengan total delapan tahun. 

Namun, putusan MK ini tidak bisa mencegah sepenuhnya eks napi kasus korupsi kembali mengikuti pilkada. Padahal, semula KPU sempat membuat aturan agar eks napi kasus korupsi tak bisa ikut pilkada. Tapi, aturan itu akhirnya tidak jadi diterapkan karena dibatalkan oleh Mahkamah Agung. 

Baca Juga: KPU Terbitkan Aturan Tak Larang Eks Napi Koruptor Maju Pilkada 2020

2. Putusan MK dinilai ampuh mengurangi eks napi kasus korupsi ikut Pilkada

KPK Minta Putusan MK Soal Napi Koruptor Diwujudkan dengan Aturan KPUANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Kendati tak bisa mencegah semua eks napi kasus korupsi ikut pilkada, dalam pandangan Direktur Eksekutif Paramater Politik, Adi Prayitno paling tidak redivis kasus rasuah yang ikut berkurang. 

"Syarat mantan koruptor baru bisa mencalonkan diri dengan tenggat lima tahun setelah dia menyelesaikan masa hukuman tentunya akan membatasi mereka untuk menjadi kepala daerah," kata Adi seperti dikutip dari kantor berita Antara pada Rabu kemarin. 

Menurut Adi dengan menunggu lima tahun lalu, maka akan membuat elektabilitas eks napi kasus korupsi akan tergerus. Sebab, nama-nama baru akan terus bermunculan dalam kurun waktu lima tahun. 

"Jadi, saya kira ini kabar baik. Di luar keputusan hukum, MK pasti mempertimbangkan suara publik yang menolak eks koruptor jadi kepala daerah," tutur dia.

3. KPU tak melarang koruptor maju pilkada, cuma minta parpol agar tak mengutamakan kader bekas napi kasus korupsi

KPK Minta Putusan MK Soal Napi Koruptor Diwujudkan dengan Aturan KPUIDN Times/Fariz Fardianto

KPU batal melarang eks napi kasus korupsi maju pilkada 2020. Mereka hanya mengutamakan memilih calon yang bukan eks napi kasus korupsi. 

Hal itu tertuang dalam Peraturan KPU Nomor 18 Tahun 2019 yang disahkan pada 2 Desember 2019. Dalam aturan itu, bahasan soal pencalonan mantan koruptor tercantum dalam Pasal 3A ayat (3) dan ayat (4). Ayat (3) mengatur pencalonan secara umum, sedangkan ayat (4) mengatur pencalonan dari jalur independen.

"Dalam seleksi bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengutamakan bukan mantan terpidana korupsi," demikian isi PKPU Nomor Tahun 2019. 

Di bagian lampiran, KPU mencantumkan dua dokumen pakta integritas terkait korupsi. Pakta itu dibuat dengan tujuan agar partai politik mengutamakan memilih kader yang berintegritas dan bukan eks napi kasus korupsi. 

Ada juga pakta integritas bagi calon kepala daerah. Dokumen itu meminta komitmen dari calon kepala daerah agar ketika terpilih tidak melakukan korupsi dan pelanggaran hukum.

Baca artikel menarik lainnya di IDN Times App, unduh di sini http://onelink.to/s2mwkb 

Baca Juga: Mimpi Ketua Baru KPK Firli Bahuri yang Ingin RI Bersih dari Korupsi

Topik:

Berita Terkini Lainnya