KPK: Penerapan Hukuman Mati Tak Jamin Korupsi Berkurang

"Di negara yang korupsinya minim, malah tidak ada KPK"

Jakarta, IDN Times - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laode M. Syarif mengatakan bisa saja dalam kasus rasuah diterapkan hukuman mati bagi pelakunya. Namun, harus ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi.

Dua di antaranya, kata Syarif, tersangka mengulangi perbuatannya dan ia mencuri uang untuk kebutuhan yang sangat vital. Salah satunya, apabila yang dicuri adalah dana untuk kepentingan pemulihan pasca bencana. Namun, yang jadi pertanyaan, apakah dengan diberlakukan hukuman mati maka korupsi jadi berkurang?

"Tidak juga tuh. Kami sebenarnya juga pusing, karena sudah berapa bupati, gubernur, anggota DPR, dan Menteri yang tertangkap tangan oleh KPK. Tapi, masih saja ada yang tetap korupsi," kata Syarif ketika ditemui di gedung KPK pada Kamis (9/5). 

Kemarin, ia berbicara di hadapan sekitar 400 Direktur, CEO BUMN dan auditor untuk mengajak agar BUMN turut mencegah terjadinya korupsi dari dalam tubuh institusinya sendiri. Acara yang mengambil tema "Bersama Menciptakan BUMN Bersih Melalui Satuan Pengawasan Intern (SPI) yang Tangguh dan Terpercaya" itu turut dihadiri Menteri BUMN, Rini Soemarno. 

Lalu, gimana dong cara yang efektif untuk mencegah korupsi tidak semakin merajalela di Indonesia?

1. Indonesia sudah menerapkan hukuman seumur hidup untuk pelaku korupsi

KPK: Penerapan Hukuman Mati Tak Jamin Korupsi Berkurang(Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar) ANTARA FOTO

Syarif menyebut kendati sejauh ini Indonesia belum pernah menerapkan hukuman mati bagi pelaku tindak kejahatan korupsi, tetapi sudah ada koruptor yang dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. 

"Yang paling lama dipenjara itu adalah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar. Beliau akan meninggal di penjara, karena dibui seumur hidup tadi," kata Syarif. 

Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, menilai Akil terbukti menerima hadiah atau janji terkait pengurusan sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) dan tindak pidana pencucian uang. Hakim menyatakan, Akil terbukti menerima suap terkait empat dari lima sengketa pilkada dalam dakwaan kesatu, yaitu Pilkada Kabupaten Gunung Mas (Rp3 miliar), Kalimantan Tengah (Rp3 miliar), Pilkada Lebak di Banten (Rp1 miliar), Pilkada Empat Lawang (Rp10 miliar dan US$500 ribu), dan Pilkada Kota Palembang (sekitar Rp3 miliar).

Untuk Pilkada Kota Palembang, hakim menyatakan bahwa orang dekat Akil, Muhtar Ependy, terbukti menerima Rp19,8 miliar dari Wali Kota Palembang Romi Herton dan istrinya, Masyito. Namun, majelis hakim tidak memperoleh kepastian mengenai total uang yang diterima Akil terkait Pilkada Kota Palembang itu.

Syarif pun mempertanyakan apakah usai Akil divonis seumur hidup lalu tidak ada lagi hakim yang korupsi? 

"Malah tidak menimbulkan efek jera tuh. Buktinya, kami kemarin masih menangkap satu lagi melalui OTT. Memang antara kerasnya hukuman dengan efek jera itu gak ada hubungan," kata pria yang pernah menjadi aktivis lingkungan itu. 

Baca Juga: Agar Jera, Ketua KPK Ingin Koruptor Dibui di Lapas Nusakambangan

2. Di negara yang korupsinya minim, malah tidak ada lembaga pemberantas korupsi

KPK: Penerapan Hukuman Mati Tak Jamin Korupsi BerkurangIDN Times/Sukma Shakti

Di forum itu, Syarif turut menyinggung di negara-negara yang tingkat korupsinya minim dan memiliki indeks persepsi korupsi yang tinggi, malah tidak memiliki lembaga pemberantas korupsi. 

"Di negara yang bersih dari korupsi tapi masih memiliki KPK itu hanya dua yakni Selandia Baru dan Singapura. Sisanya di negara bersih lainnya, tindak pidana itu dikerjakan oleh polisi dan kejaksaan," tutur dia. 

3. Penerapan hukuman mati bagi koruptor di Tiongkok cenderung digunakan untuk memberangus kelompok oposisi

KPK: Penerapan Hukuman Mati Tak Jamin Korupsi BerkurangIDN Times/Sukma Shakti

Syarif kemudian mengambil contoh Tiongkok yang memang tegas menerapkan hukuman mati bagi pelaku korupsi. Tetapi, dalam pandangannya, sering kali hukuman itu digunakan untuk memberangus kelompok oposisi yang berseberangan dengan pemerintah. 

"Hukuman mati digunakan untuk memerangi teman-temannya yang berbeda pandangan politik. Sehingga, tidak saya anjurkan," kata dia kemarin. 

Sementara, di negara-negara lain yang sudah lebih maju seperti Denmark, Finlandia, dan negara skandinavia lainnya, tutur Syarif, hukuman mati malah sudah dihapus. 

"Sementara, hukuman paling tinggi di Singapura bagi koruptor itu penjara 5 tahun," katanya lagi. 

4. Ketua KPK sempat mengusulkan agar koruptor kelas kakap dibui di Lapas Nusakambangan

KPK: Penerapan Hukuman Mati Tak Jamin Korupsi BerkurangIlustrasi narapidana. (IDN Times/Sukma Shakti)

Sementara, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo sempat mengurai harapan agar para terpidana kasus korupsi, terutama koruptor kelas kakap bisa ditaruh di Lapas Nusakambangan. Agus berharap dengan begitu, para koruptor akan jera dan tak lagi korup. Hal itu disampaikan oleh Agus ketika berdiskusi mengenai kajian lembaga antirasuah terkait lembaga pemasyarakatan di gedung KPK pada Selasa (30/4). 

"Mulai 2019, kami berharap (terpidana kasus korupsi) bisa dieksekusi ke sana," kata Agus. 

Ide mantan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) itu bukan tanpa dasar. Agus mengaku sudah pernah berkunjung ke fasilitas pengamanan maksimum di Lapas Nusakambangan. Ia diberi informasi ada penjara khusus di sana yang memang dibuat untuk bandar-bandar narkoba kelas kakap.

"Itu pengalaman saya. Jadi, gak ada salahnya juga koruptor-koruptor big fish masuk ke sana," kata dia lagi.

Baca Juga: PUKAT UGM: Keliru, Berikan Pensiun untuk Koruptor

Topik:

Berita Terkini Lainnya