Jokowi Tak Libatkan KPK Dalam Penyusunan Kabinet Jilid 2, Kenapa?

"Kenapa KPK harus merasa baper atau kegeeran sih?"

Jakarta, IDN Times - Presiden Joko "Jokowi" Widodo mengatakan ia telah selesai menyusun kabinet di pemerintahan jilid kedua selama lima tahun mendatang. Namun, berbeda dari kepemimpinannya di jilid pertama, mantan Gubernur DKI Jakarta itu tak ikut melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menelusuri rekam jejak para calon Menterinya. Hal itu diakui oleh Wakil Ketua KPK, Laode M. Syarif di gedung Pusat Edukasi Antikorupsi pada Senin pagi (14/10). 

"Kami tidak diikutkan (dalam proses penyusunan kabinet baru). Tetapi, kami berharap (Menteri) yang ditunjuk oleh Presiden adalah orang-orang yang mempunyai track record yang bagus dan dari segi integritas tidak tercela," ujar Syarif pada pagi tadi. 

Apa ya alasan Jokowi tak ikut melibatkan komisi antirasuah untuk menelusuri rekam jejak calon-calon Menterinya? Berkaca di pemerintahan Jokowi periode pertama ada dua Menterinya yang ditahan oleh komisi antirasuah karena diduga kuat korupsi. Bahkan, masih ada dua nama Menteri lainnya yang kerap disebut di sesi persidangan kasus rasuah. Namun, hingga kini belum ada tindak lanjutnya dari KPK. 

1. Wakil Ketua KPK memahami pemilihan calon menteri di kabinet adalah hak prerogatif Presiden

Jokowi Tak Libatkan KPK Dalam Penyusunan Kabinet Jilid 2, Kenapa?(Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif tengah bersiap mengikuti ujian psikotest di Pusdiklat) ANTARA FOTO/Wahyu Putro A.

Kendati begitu, Syarif mengaku bisa memahami apabila hak untuk memilih calon Menteri menjadi hak prerogatif Presiden Jokowi. Pimpinan KPK tidak bisa mencampuri hal tersebut. 

"Kita berharap bahwa yang dipilih betul-betul bersih, berintegritas, dan profesional di bidang yang akan ia kerjakan," kata mantan pengajar di Universitas Hasanuddin itu. 

Ia menambahkan Jokowi pasti sudah memahami rekam jejak calon menteri yang baik seperti apa. Ia pun tak mempermasalahkan apabila KPK tak dimintai pendapatnya untuk menelusuri apakah calon Menteri itu nantinya memiliki kasus rasuah di lembaga itu. 

"Bila diminta (masukan), akan kami berikan. Tapi, kalau pun tidak ya tidak apa-apa," kata dia lagi. 

Sikap Jokowi ini berbeda pada 2014 lalu. Menurut Abraham Samad yang ketika itu menjadi Ketua KPK secara terang-terangan menyebut ada 80 nama calon Menteri yang dikirimkan oleh Jokowi ke KPK. Lebih dari 10 nama kemudian diberi catatan oleh komisi antirasuah. 

"Yang perlu saya perjelas biar clear bahwa ada 80 nama yang dikirim ke KPK dan lebih dari 10 yang diberi catatan. Oleh karena itu, saya gak bisa mengingatnya. Tapi, kalau Anda memberi saya waktu satu-dua hari untuk membuka file lagi, insya Allah akan saya buka dan saya beri tahu kepada Anda (wartawan)," ujar Abraham pada 27 Oktober 2014 lalu. 

Alasan ia mengatakan itu untuk memastikan apakah masih ada nama calon Menteri yang sudah ditandai tetapi masih tetap dilantik oleh mantan Wali Kota Solo tersebut. KPK memberikan catatan warna merah dan kuning terhadap daftar calon Menteri yang disodorkan oleh Jokowi. Tanda merah menandakan individu tersebut tidak layak untuk dipilih jadi calon Menteri karena berpotensi terlibat dalam dugaan kasus korupsi. 

 

Baca Juga: Jokowi Bocorkan akan Tetap Ada Tokoh Papua di Dalam Kabinet Jilid II

2. Istana menyebut KPK terlalu percaya diri sehingga Presiden harus mengkonsultasikan semua hal ke lembaga itu

Jokowi Tak Libatkan KPK Dalam Penyusunan Kabinet Jilid 2, Kenapa?(Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV Ali Mochtar Ngabalin) ANTARA FOTO/Hanni Sofia

Sementara, pernyataan pimpinan KPK soal Presiden yang tak berkonsultasi soal penelusuran latar belakang calon menterinya mendapat komentar keras dari pihak Istana. Tenaga ahli utama kedeputian IV KSP, Ali Mochtar Ngabalin justru mengaku heran mengapa komisi antirasuah masih begitu percaya diri sehingga seolah-olah semua hal harus dikonsultasikan ke mereka. Menurut Ali, apabila Presiden Jokowi merasa perlu untuk melibatkan komisi antirasuah dalam penelusuran latar belakang calon-calon menterinya, maka ia akan melakukan itu. 

"Tetapi, kalau Beliau sudah merasa cukup informasi dan latar belakang yang dimiliki, kenapa mereka (KPK) harus merasa baperan atau geer?," kata Ali ketika dihubungi oleh IDN Times melalui telepon pada Senin malam (14/10). 

Lagipula pemilihan individu untuk menjadi calon menteri merupakan hak prerogatif Presiden. 

"Kemarin-kemarin kan Presiden menanyakan karena memang butuh. Lagipula apa urusannya sih? Kan kemarin-kemarin KPK juga sudah mengatakan bukan bagian dari pemerintah atau eksekutif atauapa pun istilah yang mereka pergunakan," tutur dia lagi. 

Ia pun kembali menegaskan apabila Jokowi membutuhkan masukan dari KPK maka akan dipanggil. Tetapi, apabila masukan dari KPK tidak dibutuhkan, maka mantan Wali Kota Solo itu pasti mendapatkan informasi dari saluran lain. 

"Kalau gak dibutuhkan (informasinya) ya tidak dipanggil," ujarnya. 

3. Dua Menteri di kabinet Jokowi jadi 'pasien' KPK

Jokowi Tak Libatkan KPK Dalam Penyusunan Kabinet Jilid 2, Kenapa?Mantan Menpora Imam Nahrawi (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi)

Apabila kita menengok ke belakang di era pemerintahan Jokowi jilid pertama sudah ada dua Menteri aktif yang jadi 'pasien' KPK. Mereka adalah mantan Menpora Imam Nahrawi dan eks Menteri Sosial, Idrus Marham. 

Imam ditahan lantaran diduga kuat terbukti menerima suap pada periode 2014-2018 senilai Rp14,7 miliar. Uang itu diterima melalui asisten pribadinya yaitu Miftahul Ulum. Miftahul telah ditahan oleh penyidik KPK pada awal September. 

Imam juga disebut meminta duit pada periode 2016-2018 senilai Rp11,8 miliar. Maka apabila ditotalkan, ia mendapat duit senilai Rp26,5 miliar. 

"Duit itu diduga commitment fee atas proposal pengajuan dana hibah yang diajukan oleh pihak KONI ke Kemenpora pada tahun anggaran 2018," tutur Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata. 

Sedangkan, Idrus ditahan oleh komisi antirasuah karena diduga sudah dijanjikan akan menerima uang US$1,5 juta apabila berhasil menggolkan proyek pembangunan PLTU Riau-1. Idrus diduga menerima janji untuk mendapat bagian yang sama besar dari mantan anggota DPR, Eni Maulani Saragih sebesar US$1,5 juta  yang dijanjikan pengusaha Johannes Kotjo bila purchase power agreement (PPA) proyek PLTU Riau-1 berhasil dilaksanakan Johanes dan kawan-kawan. 

Di pengadilan tingkat pertama, majelis hakim menjatuhkan vonis tiga tahun penjara dan denda Rp150 juta. Namun, komisi antirasuah tidak terima dengan vonis itu dan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. 

Selain kedua nama tadi, ada pula nama Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dan Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin yang muncul di persidangan. Enggar disebut pernah memberikan suap ke mantan anggota DPR, Bowo Sidik Pangarso. Sedangkan, Lukman diduga ikut menikmati suap dari praktik jual beli jabatan di Kementerian Agama. 

Baca Juga: [BREAKING] Mantan Menpora Imam Nahrawi Resmi Ditahan KPK

Topik:

Berita Terkini Lainnya