KPK Tidak Bisa Tindak Lanjuti Kasus Dugaan Aliran Dana Suap ke Kapolri

Dua eks penyidik KPK terbukti merusak alat bukti

Jakarta, IDN Times - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya buka suara soal laporan kolaborasi 9 media di Indonesia Leaks yang terbit pada Senin (8/10). Dalam laporan yang berjudul "Skandal Perusakan Buku Merah", para jurnalisnya membuat laporan investigasi lanjutan mengenai upaya perusakan barang bukti yang dilakukan oleh dua mantan penyidik lembaga anti rasuah yang berasal dari institusi kepolisian. 

Dua penyidik yang diketahui bernama Roland Ronaldy dan Harun tertangkap kamera pengawas di lantai 9  gedung KPK menyobek catatan keuangan yang terdapat di buku merah tersebut. Mereka juga menghapus beberapa tulisan dengan menggunakan tipe ex. Total, ada 9 lembar buku bank yang mencatat transaksi keuangan aliran dana dari pengusaha Basuki Hariman ke beberapa pejabat, termasuk Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian. 

Proses perusakan barang bukti pada 7 April 2017 lalu yang justru dilakukan oleh penyidik KPK jelas membuat publik terhenyak. Sebab, institusi yang seharusnya melakukan upaya pemberantasan korupsi, malah ikut berbuat hal tersebut. 

KPK pun tidak membantah memang sempat terjadi aksi perusakan barang bukti dalam suap impor daging sapi dengan terpidana Basuki Hariman. Harun dan Roland sempat diperiksa di pengawas internal lembaga antirasuah. Namun, proses itu tidak bisa dilanjutkan. 

"KPK menerima permintaan pengembalian pegawai dari Mabes Polri karena ada kebutuhan dan penugasan lebih lanjut di sana, sehingga saat itu kedua pegawai KPK tersebut dikembalikan ke instansi asal," ujar juru bicara KPK, Febri Diansyah ketika memberikan keterangan pers pada Senin malam (8/10). 

Lalu, apa tindak lanjut KPK terhadap keduanya? Masihkah kasus dugaan suap yang dilakukan oleh Basuki Hariman ditindak lanjuti?

1. Pemeriksaan internal terhadap dua penyidik asal kepolisian tidak bisa dilanjutkan

KPK Tidak Bisa Tindak Lanjuti Kasus Dugaan Aliran Dana Suap ke KapolriANTARA FOTO/Galih Pradipta

Juru bicara KPK, Febri Diansyah mengatakan pimpinan KPK pada tahun lalu menyetujui pengembalian Roland dan Harun ke institusi Mabes Polri. Alasan ketika itu yakni ada penugasan dan kebutuhan lebih lanjut di sana. 

Ketua KPK, Agus Rahardjo memulangkan keduanya sebagai bentuk sanksi dari institusi antirasuah. Namun, yang menjadi permasalahan, Roland dan Harun justru hanya dianggap melakukan pelanggaran ringan kendati sudah merusak barang bukti. Lantaran sudah kembali ke Mabes Polri, maka pemeriksaan internal terhadap keduanya tidak dapat dilanjutkan. 

"Ruang lingkup di pemeriksaan internal tersebut hanya berlaku apabila yang bersangkutan adalah pegawai KPK. Jadi, ketika proses pemeriksaan tidak bisa lagi dilakukan apabila mereka bukan lagi pegawai di KPK. Untuk kelanjutan proses yang terjadi di instansi asal keduanya, silakan dicek ke sana," kata Febri dengan nada berhati-hati semalam. 

Lembaga antirasuah terlihat sangat berhati-hati apabila dugaan kasus korupsi yang ditangani berkaitan dengan institusi kepolisian. Mereka seolah khawatir tragedi cicak VS buaya kembali terulang. Perseteruan antara kepolisian dengan KPK pernah terjadi di masa lampau di era kepemimpinan Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. 

Baca Juga: Koalisi Masyarakat Sipil Desak KPK  Proses Perusakan Barang Bukti

2. Aliran dana suap dari pengusaha Basuki Hariman yang diproses baru hingga ke Hakim Mahkamah Konstitusi, Patrialis Akbar

KPK Tidak Bisa Tindak Lanjuti Kasus Dugaan Aliran Dana Suap ke KapolriIDN Times/Sukma Shakti

Selaku pengusaha impor daging sapi, Basuki Hariman, akhirnya memberikan uang suap ke berbagai pihak. Tujuannya, untuk memuluskan kepentingannya dalam berusaha. Uang suap yang berhasil dibuktikan oleh KPK yakni mengalir ke mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Patrialis Akbar senilai US$ 70 ribu yang digunakan sebagai biaya umrah. 

Basuki menyuap Patrialis untuk memuluskan uji materi UU Peternakan dan Kesehatan Hewan yang diajukan oleh asosiasi peternak dan pengusaha. Menurut Basuki, adanya UU tersebut telah merugikan perusahaannya di bidang impor daging. 

Sayangnya, setelah Patrialis, pengusutan kasus Basuki seolah mentok. Apakah hal itu disebabkan hilangnya barang bukti berharga yang telah dirusak oleh Roland dan Harun?

"Saya belum mendapatkan informasi itu. Bukan berarti kasusnya tidak berjalan, tetapi ketika kasusnya berjalan dan kami temukan bukti dugaan tindak pidana korupsi yang lain. Bukti permulaan yang cukup didapat saat salah satu hakim MK terbukti menerima suap untuk mempengaruhi perkara," kata Febri. 

Bukan kah kedua perwira polisi itu tetap bisa diproses menggunakan pasal merintangi proses penyidikan? Mantan aktivis antikorupsi itu justru tidak menjawab tegas mengenai hal tersebut. 

"Kalau bisa atau tidak bisa (mengenakan pasal 21), bukan domain saya untuk menjawab. Tapi, yang pasti sejauh ini belum ada proses pencarian informasi atau penyelidikan untuk hal yang dimaksud tadi," tutur dia. 

3. Mabes Polri justru mengganjar Roland dan Harun dengan promosi

KPK Tidak Bisa Tindak Lanjuti Kasus Dugaan Aliran Dana Suap ke KapolriANTARA FOTO/Nyoman Budhiana

Di saat KPK menyatakan ada pelanggaran etik yang dilakukan oleh Roland dan Harun, justru pernyataan dari Mabes Polri berbeda. Keduanya justru disebut tidak terbukti telah melakukan pelanggaran etik. 

"Pemeriksa internal Polri tidak menemukan adanya pelanggaran yang dimaksud," ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat di Mabes Polri pada Agustus lalu, M. Iqbal. 

Alih-alih diproses, Roland dan Harun justru mendapatkan promosi. Kapolri, Jenderal (Pol) Tito Karnavian pada Maret lalu mengangkat AKBP Roland Ronaldy sebagai Kapolres Cirebon Kota, Jawa Barat. Sementara, Kompol Harun diberikan tempat yang tinggi di Direktorat Kriminal Khusus di Polda Metro Jaya per Oktober 2017. 

4. Nama Tito Karnavian disebut menerima uang suap sebanyak Rp 8 miliar

KPK Tidak Bisa Tindak Lanjuti Kasus Dugaan Aliran Dana Suap ke Kapolri(Syafruddin bersama Tito Karnavian) ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

Dalam perkara pemberian uang suap dari pengusaha Basuki Hariman, penyidik KPK Surya Tarmiani merenceng 68 transaksi keuangan dari buku dengan sampul warna merah itu. Puluhan transaksi itu terjadi pada periode Desember 2015 hingga Desember 2016. 

Namun, yang mengalir ke mantan hakim MK, Patrialis Akbar, hanya satu, yakni melalui orang dekatnya yang bernama Kamaludin. Setelah dikelompokan, ternyata ada aliran dana yang diduga diberikan untuk Tito Karnavian. 

"Tanggal 2016 19/1, beli USD 71.840 x 13.920 untuk Kapolda. Kredit 1.000.000.000-- Merupakan pemberian uang kepada Kapolda Tito Karnavian yang diantarkan Basuki Hariman," demikian tertulis dalam BAP yang dibuat Surya Tarmiani, 9 Maret 2017 seperti dikutip dari laman KBR. 

Dari setoran-setoran dan BAP tersebut, nama yang diduga Tito Karnavian tertulis sedikitnya 8 kali menerima uang. Totalnya mencapai sekitar Rp 8 miliar. Dana tersebut diantar langsung oleh pengusaha Basuki Hariman. 

5. Mabes Polri membantah Tito Karnavian menerima aliran uang suap

KPK Tidak Bisa Tindak Lanjuti Kasus Dugaan Aliran Dana Suap ke KapolriKapolri Jenderal Pol Tito Karnavian (kanan) didampingi Wakapolri Komjen Pol Syafruddin (kiri) (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)

Mabes Polri pun akhirnya bereaksi terhadap laporan yang dirilis oleh tim Indonesia Lekas tersebut. Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen (Pol) Setyo Wasisto, mengatakan laporan yang diturunkan pada Senin kemarin adalah isu lama. 

"Oh, itu kan berita lama. Tahun 2017," ujar Setyo kepada media pada Senin kemarin. 

Ia pun meminta agar media meminta tanggapan kepada Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Kombes (Pol) Adi Deriyan. Tanggapan serupa sudah pernah disampaikan oleh Tito pada Agustus lalu. Ia membantah pernah menerima aliran uang suap dari pengusaha Basuki Hariman. 

"Sudah dijawab oleh Humas. Sudah dijawab oleh humas. Resmi! Cukup ya?," kata Tito kepada tim Indonesia Leaks pada Agustus lalu. 

Kini, bola panas ada di tangan KPK. Apakah mereka memiliki nyali untuk mengusut lebih lanjut kasus yang diduga melibatkan para pejabat termasuk petinggi di kepolisian?

 

Baca Juga: KPK: Irwandi Yusuf Diduga Terima Gratifikasi Rp 32 Miliar 

Topik:

Berita Terkini Lainnya