Limbah Batu Bara Dianggap Tidak Berbahaya: Untungkan Pengusaha

Pengelolaan limbah batu bara butuh biaya mahal

Jakarta, IDN Times - Peneliti di Lembaga Swadaya Masyarakat Trend Asia Andri Prasetyo menilai keputusan Presiden Joko "Jokowi" Widodo mencoret limbah abu terbang dan abu dasar pembakaran batu bara (FABA), dari daftar limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) tidak terlepas dari lobi-lobi sejumlah pihak.

Pihak yang dimaksud Andri, antara lain Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Asosiasi Pengusaha Batu Bara Indonesia dan Asosiasi Pembangkit Listrik Swasta Indonesia (APLSI).

"Dengan limbah batu bara dikeluarkan (dari daftar berbahaya), jelas yang diuntungkan mereka karena cost produksi mereka bisa ditekan," ujar Andri ketika berbicara dalam diskusi virtual dengan topik Penghapusan Limbah FABA dari Daftar Limbah B3, pada Jumat (12/3/2021).

Dengan dikeluarkan dari daftar B3, maka para pelaku usaha tidak lagi diwajibkan mengeluarkan biaya tambahan untuk mengurus abu batu bara. Andri juga menjelaskan saat ini tren yang muncul di dunia, banyak negara yang mulai berlomba-lomba menggunakan energi terbarukan. Dampaknya, negara yang masih menggunakan energi kotor batu bara harus mengeluarkan biaya yang lebih mahal. 

"Jadi mereka udah kalah (saing). Sekarang, biaya per KWH-nya di rentang Rp1.120. Sedangkan energi surya hanya butuh biaya Rp812 per KWH," tutur dia. 

Alhasil, pengusaha dan oligarki coba mencari celah dengan melakukan lobi-lobi agar aturannya bisa diubah. Sehingga, menurut Andri, bila pemerintah berdalih sengaja mencoret FABA agar bisa dimanfaatkan, itu merupakan alasan yang dicari-cari. 

Apa tanggapan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait tudingan tersebut?

1. KLHK coret FABA dari daftar B3 berdasarkan alasan saintifik

Limbah Batu Bara Dianggap Tidak Berbahaya: Untungkan PengusahaIlustrasi tongkang angkut batu bara. IDN Times/Mela Hapsari

KLHK menggelar jumpa pers untuk mengklarifikasi dicoretnya FABA dari daftar B3. Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah dan B3 Rosa Vivien Ratnawati mengatakan, keputusan tersebut sudah melalui kajian mendalam.

Aturan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 mengenai Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. PP tersebut disahkan Presiden Jokowi pada awal Februari 2021. 

"KLHK ketika ambil keputusan tidak dipaksa orang. Sebagai instansi, kami pasti punya alasan saintifik. Jadi semuanya itu berdasarkan scientific based knowledge," ujar Vivien dalam diskusi virtual dan dikutip dari kantor berita ANTARA hari ini. 

Vivien menjelaskan pemerintah membuat dua kategori mengenai FABA. Pertama, limbah itu diklasifikasikan sebagai limbah beracun bila perusahaan yang mengolahnya menggunakan sistem stoker boiler dan tungku industri. 

Kedua, bagi perusahaan yang menggunakan sistem pembakaran pulverized coal atau chain grate stoker, maka FABA yang dihasilkan masuk kategori limbah tak beracun alias nonB3.

Baca Juga: Curhat Warga Suralaya: Kehilangan Adik Ipar Gegara Hirup Abu Batu Bara

2. KLHK janji awasi pengelolaan limbah batu bara dari pelaku usaha

Limbah Batu Bara Dianggap Tidak Berbahaya: Untungkan PengusahaIlustrasi PLTU Batu Bara di Kalimantan Timur (tangkapan layar YouTube JATAM Nasional)

Dalam diskus kali ini, Vivien juga menjanjikan akan tetap mengawasi pengelolaan FABA meski kini tak lagi dianggap masuk daftar limbah beracun. Ia mengatakan perusahaan tetap tidak bisa seenaknya mengolah FABA sehingga bisa merugikan warga. 

"Jadi, tidak boleh dibuang sembarangan," ujar dia. 

Tetapi, kenyataan di lapangan justru jauh dari kata pengawasan. Berdasarkan data yang dimiliki aktivis lingkungan dari Jaringan Advokasi Tambang Nasional (Jatam), Merah Johansyah, sebelum diberlakukan aturan baru, pelaku usaha sudah abai soal limbah batu bara yang dihasilkannya.

Salah satu contoh yang ia paparkan terjadi di warga yang tinggal di dekat PLTU Panau, Sulawesi Tengah. Warga yang mukim di dekat PLTU itu mayoritas mengalami penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA). 

"Ada pula warga yang alami penyakit kanker kelenjar getah bening hingga kanker nasofaring. Paru-paru mereka pun terdiagnosa menghitam sehingga akibatkan 14 orang meninggal dunia," ujar Merah dalam diskusi yang sama.

Dalam presentasinya, Merah menunjukkan foto gunung pasir yang berada di PLTU di Panau yang merupakan limbah FABA. Limbah tersebut dibiarkan berada di area terbuka dan tidak diurus sama sekali. 

"Padahal, ini masih dalam rezim aturan lama. Apalagi dengan adanya aturan baru yang menyebut bukan dikategorikan limbah B3, bagaimana mengelolanya?" tanya dia. 

Merah menambahkan bila masuk musim hujan, tumpukan limbah batu bara yang menggunung itu akan mengalir ke sungai dan mencemari sumber air yang dikonsumsi warga sekitar. 

3. Warga Suralaya Banten sudah lama hirup asap batu bara hingga paru-parunya gosong

Limbah Batu Bara Dianggap Tidak Berbahaya: Untungkan PengusahaWarga di Desa Suralaya, Edi, yang hidup dekat dengan PLTU Suralaya (Tangkapan layar YouTube JATAM Nasional)

Lain lagi dengan curhatan warga di Desa Suralaya, Banten, bernama Edi. Ia mengaku kecewa dengan keputusan Jokowi yang menghapus limbah hasil pembakaran batu bara dari daftar limbah B3. 

Sebab, kata dia, kondisinya kini yang sudah tinggal dekat dengan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya, akan semakin mengenaskan. Mengutip situs resmi Indonesia Power, ada delapan unit PLTU yang dibangun di daerah tersebut. PLTU tersebut memiliki kapasitas I x 625 Mega Watt (MW) dan telah beroperasi sejak 1984. 

Edi menjelaskan saat aturan baru belum disahkan, ia sudah kehilangan adik ipar perempuannya, karena terlalu lama menghirup abu terbang dari batu bara. "Pada 2010 itu, adik ipar saya baru menikah lalu meninggal. Setelah didiagnosa oleh dokter, paru-parunya terlihat gosong," kata pria 42 tahun itu. 

Pada 2020 lalu, giliran anak bungsunya yang mengalami penyakit di bagian paru juga karena hal serupa. "Dan yang menyatakan itu bukan saya, tetapi dokter," tutur dia. 

Lantaran mengalami pengalaman tersebut, Edi membantah limbah hasil pengolahan batu bara disebut tidak beracun. Ia mengatakan dampaknya bagi kesehatan tidak terlihat secara instan. Namun, bila terakumulasi, kualitas kesehatan warga semakin menurun. 

Baca Juga: Presiden Jokowi Hapus Limbah Batu Bara dari Kategori Bahan Beracun

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya