Mahatir Serukan Rebut Riau, KSP: Belum Tentu Itu Sikap Resmi Malaysia

Istana tak mau terprovokasi pidato Mahathir Mohammad

Jakarta, IDN Times - Kantor Staf Presiden (KSP) ikut angkat bicara mengenai soal pidato yang disampaikan oleh eks Perdana Menteri Mahathir Mohamad dalam sebuah kongres di Selangor pada Minggu, 19 Juni 2022 lalu. Di dalam pidatonya, Mahathir mendorong agar Malaysia merebut kembali Singapura dan Kepulauan Riau supaya menjadi bagian dari teritori Negeri Jiran.

Namun, Deputi V Jaleswari Pramodawardhani mengatakan tak ingin terburu-buru memberikan penilaian apa pun terhadap pidato itu. Ia memilih untuk memastikan lebih dulu, apakah pernyataan Mahathir adalah posisi resmi Pemerintah Negeri Jiran saat ini. Apalagi saat ini, Mahathir sudah tak lagi menjabat sebagai PM Malaysia. 

"Bila tidak (pernyataan resmi Pemerintah Malaysia), maka pernyataan itu hanyalah pandangan pribadi," ungkap Jaleswari di dalam keterangan tertulis pada Selasa, (21/6/2022). 

Ia juga menjelaskan bahwa secara obyektif untuk menentukan pemegang kedaulatan atas suatu wilayah, hukum kebiasaan internasional maupun berbagai preseden putusan pengadilan internasional telah memberikan standar kendali efektif. Ada beberapa hal yang harus dipenuhi oleh pemerintah suatu negara bila ingin suatu wilayah diklaim berada di bawah kendalinya. 

"Hingga detik ini, satu-satunya entitas yang memiliki kendali atas wilayah Provinsi Riau adalah Pemerintah Indonesia," kata dia.

Apa saja yang menjadi faktor pendukung sehingga dapat dijadikan bukti bahwa Kepulauan Riau sah masuk teritori Indonesia?

Baca Juga: Eks PM Mahathir: Malaysia Harus Rebut Kembali Singapura dan Riau

1. Pembangunan Provinsi Riau sesuai dengan UU Nomor 19 tahun 1957

Mahatir Serukan Rebut Riau, KSP: Belum Tentu Itu Sikap Resmi MalaysiaANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

Mengutip data dari situs Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Riau, area itu merupakan gabungan dari sejumlah kerajaan Melayu yang pernah berjaya di sana, seperti, Kerajaan Indragiri (1658-1838), Kerajaan Siak Sri Indrapura (1723-1858), Kerajaan Pelalawan (1530-1879), Kerajaan Riau-Lingga (1824-1913) dan beberapa kerajaan kecil lainnya. Jaleswari juga menjelaskan bahwa Riau jelas merupakan bagian dari Pemerintah Indonesia. 

"Hal tersebut misalnya dari adanya administrasi Pemerintah Indonesia di Provinsi Riau yang dilakukan lewat proses demokratis, kapasitas menerapkan hukum nasional, pencatatan kependudukan, kemampuan menegakan hukum dan unsur lain yang hanya bisa diterapkan oleh entitas pemerintah yang sah," kata dia. 

Selain itu, pembangunan Provinsi Riau disusun melalui Undang-undang darurat nomor 19 tahun 1957. Kemudian aturan itu disahkan sebagai Undang-undang nomor 61 tahun 1958. Provinsi Riau dibangun dalam kurun waktu hampir 6 tahun yakni pada 17 November 1952-5 Maret 1958. 

Lalu, melalui keputusan Presiden RI pada 27 Februari 1958, S.M Amin ditunjuk menjadi gubernur pertama di Provinsi Riau.

Baca Juga: Berencana Liburan ke Pulau Sipadan? Ini 3 Hal yang Perlu Kamu Ketahui

2. Mahathir diduga ingin menyindir Sultan Johor

Mahatir Serukan Rebut Riau, KSP: Belum Tentu Itu Sikap Resmi MalaysiaEks PM Mahathir Mohamad (ANTARA FOTO/REUTERS/Athit Perawongmetha)

Pernyataan kontroversial itu disampaikan oleh Mahathir diduga untuk menyindir Sultan Johor, Sultan Ibrahim. Sebab, sebelumnya, area Singapura dan Kepulauan Riau di masa lalu di bawah kekuasaan Kerajaan Johor.

Hubungan Mahathir dengan Kesultanan Johor memang kerap diwarnai cekcok. Bahkan, ketika Mahathir masih menjabat sebagai Perdana Menteri, ia sering terlibat lempar pernyataan di ruang publik dengan Sultan Johor dan Putra Mahkota. 

Pidato Mahathir tersebut kemudian rentan membentuk persepsi yang keliru lantaran ditulis oleh Harian Straits Times tanpa konteks yang jelas. Belum lagi pidato tersebut disiarkan secara langsung di platform media sosial. 

Di dalam pidatonya, Mahathir menyebut bahwa area Tanah Melayu membentang luas dari  Isthmus of Kra di bagian selatan Thailand hingga Kepulauan Riau, dan Singapura. Kini area Tanah Melayu hanya dibatasi di Semenanjung Malaysia saja. 

"Saya membayangkan apakah Semenanjung Malaysia juga akan menjadi milik orang lain di masa depan," kata dia.

3. Indonesia-Malaysia menyisakan sembilan sengketa lahan yang belum ada titik temu

Mahatir Serukan Rebut Riau, KSP: Belum Tentu Itu Sikap Resmi MalaysiaIlustrasi bendera Malaysia (ANTARA FOTO/REUTERS/Lim Huey Teng)

Sementara, pada 2019 lalu, terungkap bahwa antara Indonesia dan Malaysia masih menyisakan sembilan urusan sengketa lahan yang belum menemukan titik temu atau disebut Outstanding Boundary Problem (OBP). Dua dari sembilan OBP itu dijanjikan bakal rampung dalam waktu dekat.

Kepala Pusat Pemetaan Batas Wilayah Badan Informasi Geospasial, Ade Komara Mulyana ketika itu menjelaskan, sembilan batas darat itu terbentang sepanjang 2.000 kilometer di Pulau Kalimantan. Nantinya, kedua negara akan bersama-sama menelusuri batas wilayah yang belum disepakati mengacu kepada perjanjian Inggris-Belanda. Karena dalam hukum internasional, penentuan batas wilayah negara ditentukan prinsip Uti Possidetis Juris.

"Ini yang menjadi patokan kita dalam menentukan batas Indonesia dan Malaysia," ungkap Ade kepada media pada 2019 lalu.

Sementara, empat OBP lainnya berada di sebelah barat di atas Kalimantan Barat. Lima OBP lainnya berada di sebelah timur Kalimantan Utara. Saat ini, Indonesia dan Malaysia sepakat menyelesaikan di sektor timur lebih dulu.

Baca Juga: Kisruh Parodi Indonesia Raya, Dubes: RI-Malaysia Masak Ribut Terus

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya