Mahfud MD: 86 Persen Koruptor Lulusan Perguruan Tinggi 

Mahfud MD akui korupsi saat ini lebih parah dari zaman Orba

Jakarta, IDN Times - Menteri koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD berharap, perguruan tinggi menjadi garda terdepan untuk mewujudkan agenda-agenda peningkatan wawasan kebangsaan. Sayangnya, realita justru menunjukkan perguruan tinggi malah menjadi terdakwa utama di dalam kemelut korupsi. Berdasarkan data yang ia miliki, 86 persen koruptor adalah lulusan perguruan tinggi. 

"Jika dilihat dari pelaku-pelaku korupsi dan kolusi, perguruan tinggi malah menjadi terdakwa utama di dalam kemelut yang menimpa bangsa ini. Terutama kemelut korupsi di Indonesia," ungkap Mahfud ketika berbicara dalam kuliah umum di Universitas Semarang (USM) dan dikutip dalam keterangan tertulis, Kamis (21/10/2021). 

Ia menambahkan, semakin rendah tingkat pendidikannya, maka tingkat rasuah yang dilakukan juga makin kecil.

"Orang lulusan SD gitu, apa sih yang mau dikorupsi? Paling biaya belanja apa gitu dinaikin menjadi berapa. Tapi, yang lulusan perguruan tinggi, nominalnya sudah berdigit-digit," kata dia lagi. 

Di sisi lain, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu juga tak menampik bahwa perguruan tinggi memiliki peran besar dalam membawa perubahan dan kemajuan bagi negara. "Justru, berkat lulusan perguruan tinggi, makin banyak inovasi-inovasi yang bermunculan," kata dia lagi. 

Hal serupa juga pernah disampaikan oleh Kasatgas Kerja Sama Perguruan Tinggi dan Rekam Sidang KPK, Budi Santoso, pada Desember 2020. Bahkan, ia menyebut orang dengan tingkat intelektualitas tinggi memiliki kecenderungan bersikap koruptif.

Hal itu lantaran mayoritas orang dengan tingkat intelektualitas tinggi memiliki jabatan, otoritas, dan kewenangan. Poin-poin tersebut kerap kali disalahgunakan. 

Lalu, bagaimana cara untuk mencegah agar tidak ada lagi lulusan perguruan tinggi yang malah berakhir menjadi koruptor? Sebab, sejak di bangku kuliah juga sudah diajarkan nilai-nilai kejujuran. Apakah itu masih kurang?

1. Mahfud cerita di zaman Orde Baru, nominal korupsi terbesar Rp1,3 triliun oleh Eddy Tansil

Mahfud MD: 86 Persen Koruptor Lulusan Perguruan Tinggi Eddy Tansil (Dok. ANTARA News)

Di dalam kuliah umum itu, Mahfud kembali menyampaikan nominal korupsi yang terjadi saat ini jauh lebih besar dibandingkan yang terjadi di era Orde Baru. Saat dipimpin Soeharto, nominal korupsi terbesar yakni Rp1,3 triliun yang dilakukan oleh buronan Eddy Tansil. 

"Sekarang, orang yang korupsi sampai Rp6 triliun, Rp7 triliun, Rp20 triliun, Rp30 triliun itu banyak sekali. Tapi, yang digugat perguruan tinggi," kata dia lagi. 

Mahfud juga menyampaikan fakta miris bahwa untuk bisa korupsi di era sekarang, orang membeli ijazah perguruan tinggi dulu tanpa pernah menuntut ilmu di sana. "Kan gak gagah, kalau mau korupsi tapi gak pakai gelar sarjana. Mau ke mana-mana gak diterima," tutur dia. 

Meski begitu, Mahfud tak menampik perguruan tinggi juga melahirkan individu yang menggerakan bangsa ini. Saat ini, kehadiran perguruan tinggi yang beragam juga mampu menghasilkan individu yang bisa bekerja di berbagai sektor. 

"Bayangkan, dulu tahun 1980-an, orang mau jadi polisi, jenderal, itu susah. Tetapi, sekarang sudah banyak. Rakyat biasa sudah bisa masuk kedokteran, masuk AKABRI, Akpol, sehingga seluruh keperluan profesi di negara ini bisa disediakan," ujarnya lagi ketika berbicara di depan Kapolda Jawa Tengah Irjen (Pol) Ahmad Luthfi. 

Maka, Mahfud mendorong agar perguruan tinggi mengedepankan manfaat positifnya sehingga bisa berkontribusi bagi masyarakat. 

Baca Juga: Mahfud MD: Korupsi Zaman Sekarang Lebih Gila Dibandingkan Orde Baru

2. Mahfud ingatkan Pancasila berfungsi sebagai dasar negara

Mahfud MD: 86 Persen Koruptor Lulusan Perguruan Tinggi Menkopolhukam Mahfud MD memberikan sambutan dalam acara silaturahmi bersama para tokoh di Sumut, Kamis (3/7) malam. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Di dalam kuliah umum tersebut, Mahfud kembali mengingatkan fungsi Pancasila yang juga dasar negara Indonesia. Fungsinya bukan semata induk berbagai aturan hukum, tetapi juga dasar pembuatan hukum. 

"Pancasila sebagai dasar hukum yang harus ditaati. Ketaatan kita terhadap hukum ditegakkan oleh polisi, jaksa, hakim, pemerintah lalu melahirkan peraturan yang disebut sebagai undang-undang," ujarnya. 

Pancasila, kata Mahfud, juga menjadi dasar warga Indonesia untuk berperilaku dan etika. Meski hal itu belum dibuat menjadi peraturan sehingga tidak ada sanksi bila melanggar. 

"Misalnya negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya, warga negara Indonesia itu memiliki Tuhan. Tetapi, apakah orang yang tak ber-Tuhan dihukum? Tidak ada. Karena Pancasila tentang Ketuhanan Yang Maha Esa itu tidak dijadikan hukum. Contoh lain bergunjing, harus bergotong royong. Tapi kan kalau tidak bergotong royong tidak dihukum," tutur dia lagi. 

Namun, di sisi lain, ada yang mempertanyakan mengapa individu yang menganut paham komunis dihukum oleh negara. Padahal, komunis sering kali disamakan tidak percaya kepada Tuhan. 

Menurut Mahfud, aturan berisi larangan menganut paham komunis sudah ada. Bahkan, dibuat sejak zaman Bung Karno. 

"Perilaku itu sama saja seperti memberontak terhadap negara ini. Itu ada hukum yang dilanggar yakni UU Nomor 1 Tahun 1963 mengenai tindak pidana subversi," kata dia. 

3. Mahfud akui pemerintah panik ketika terjadi lonjakan COVID-19 akibat varian Delta

Mahfud MD: 86 Persen Koruptor Lulusan Perguruan Tinggi Menko Mahfud MD ketika memberikan kuliah umum di Universitas Semarang pada Rabu, 20 Oktober 2021 (Tangkapan layar YouTube Universitas Semarang)

Ketika menyampaikan kuliah umum, Mahfud juga sempat menyinggung situasi Indonesia yang dilanda kepanikan ketika varian baru Delta COVID-19 mampir ke Tanah Air. Kasus harian melonjak hingga lebih dari 54 ribu. Sementara, angka kematian per hari bisa menembus lebih dari 2.000. 

Kepanikan itu pun diakui Mahfud juga terjadi di level pemerintahan. "Pemerintah di-bully habis-habisan di medsos. Mereka sebut pemerintah kebingungan dan tak bisa mengatasi. Tetapi, pemerintah tetap berusaha menjaga keselamatan rakyatnya," kata Mahfud. 

Bahkan, bila demi menyelamatkan rakyat harus mengubah aturan, ia menambahkan, hal tersebut dibolehkan. Pemerintah bisa membuat aturan baru asal demi menyelamatkan rakyat. 

"Alhamdulilah, hingga hari ini, kita menjadi salah satu dari lima negara yang dipuji oleh dunia karena berhasil mengendalikan COVID-19," tutur dia. 

Menurut Mahfud, meski nama kebijakan yang dibuat oleh pemerintah kerap berubah tetapi ia mengklaim pemerintah konsisten untuk menekan angka COVID-19. Mulai dari PSBB hingga PPKM tingkat level. 

"Kenapa, karena ada perkembangan dan situasinya sempat menakutkan," ujarnya. 

Baca Juga: KPK Sudah Proses 1.291 Kasus Korupsi Sejak Didirikan pada 2004

Topik:

  • Sunariyah
  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya