MAKI: Perjanjian Ekstradisi RI-Singapura Jangan hanya di Atas Kertas

Perjanjian tersebut hanya berlaku surut 18 tahun ke belakang

Jakarta, IDN Times - Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman mengucapkan selamat kepada pemerintah karena akhirnya bersedia membuat Singapura meneken perjanjian ekstradisi. Kesepakatan ini digadang-gadang menyebabkan WNI yang melakukan tindak kejahatan dan bersembunyi di Negeri Singa akan berpikir dua kali.

Salah satu yang ingin ditarget pemerintah adalah buronan kasus korupsi. Mereka selama ini memilih kabur ke Singapura lantaran di antara kedua negara belum ada perjanjian ekstradisi yang efektif. 

Namun, Boyamin meningatkan agar kesepakatan itu tidak berakhir di atas kertas semata dan tidak disahkan di parlemen. Sebab, tanpa pengesahan dari parlemen, maka sulit bagi pemerintah meminta Singapura memenuhi kewajibannya menyerahkan buronan yang ada di sana. 

"Untuk itu saya meminta ada proyek percontohan untuk tahun ini dengan cara ada pemulangan orang-orang yang buron di Singapura ke Indonesia. Gak tahu siapa, saya gak mau nyebut karena ada beberapa nama," ungkap Boyamin di dalam keterangan video pada Selasa, 25 Januari 2022 lalu. 

Beberapa tersangka kasus korupsi yang berada di Negeri Singa antara lain pengemplang dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dua tersangka yang namanya sempat santer disorot adalah Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim. 

Boyamin juga menyebut yang membutuhkan perjanjian ini, nantinya tidak hanya Indonesia. Singapura pun akan ikut membutuhkan kesepakatan ekstradisi. 

"Pasti kejahatan-kejahatan ekonomi ini akan mendominasi karena semakin majunya sistem teknologi informasi (TI) sehingga masing-masing butuh untuk mencegah dan memberantas tindak pidana ekonomi, khususnya korupsi maupun pencucian uang. Keduanya kan juga saling merugikan," kata dia lagi. 

Perjanjian ekstradisi ini sesungguhnya sudah pernah diteken pada 2007 lalu di Bali. Kesepakatan itu disaksikan oleh Perdana Menteri Lee Hsien Loong dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tetapi, perjanjian ekstradisi itu batal disahkan di DPR karena belakangan terungkap Singapura ingin menggandengkan kesepakatan di bidang hukum tersebut dengan perjanjian pertahanan (DCA). 

DPR ketika itu menolak mengesahkan perjanjian ekstradisi dan pertahanan lantaran, di dalam poin klausulnya terungkap Singapura meminta wilayah di Indonesia yang dapat digunakan sebagai area untuk berlatih perang. Lalu, mengapa Pemerintah Indonesia kembali menandatangani perjanjian serupa?

Baca Juga: Ada Perjanjian Ekstradisi, Satgas Kejar Pengemplang BLBI di Singapura

1. KSP sebut ada penyesuaian di dalam dokumen ekstradisi 2022

MAKI: Perjanjian Ekstradisi RI-Singapura Jangan hanya di Atas KertasIlustrasi narapidana (IDN Times/Arief Rahmat)

Tenaga ahli dari Kantor Staf Presiden (KSP) Ade Irfan Pulungan tak menampik bahwa perjanjian ekstradisi memang sudah pernah ditandatangani pada 2007 lalu. Dokumen yang diteken di Bintan pada Selasa kemarin adalah tindak lanjut dari kesepakatan 15 tahun lalu yang belum resmi diaktifkan. 

"Kan patut disyukuri Pemerintah Singapura sudah membuka diri terhadap kesepakatan-kesepakatan yang ada," ungkap Ade ketika berbicara ke media pada Selasa, (26/1/2022). 

Namun, hal tersebut dibantah oleh Guru Besar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana. Menurut Hikmahanto, penyesuaian di dalam naskah kesepakatan ekstradisi hanya berisi perjanjian itu bisa berlaku surut atau retroaktif hingga 18 tahun ke belakang. Artinya, pelaku-pelaku tindak kejahatan yang bisa diminta kembali ke Tanah Air yakni yang memiliki kasus pada 2004 ke atas.

Sulit memboyong tersangka yang buron di Singapura ketika tindak kejahatannya terjadi pada 2004 ke bawah, seperti korupsi BLBI. "Tidak ada hal yang substansial yang diubah di dalam perjanjian ekstradisi tersebut. Yang diubah kan cuma satu ketentuan yakni retroaktif kasusnya yang semula 15 tahun menjadi 18 tahun. Yang lainnya apa yang dibedakan?" tanya Hikmahanto ketika dihubungi IDN Times melalui telepon pada Rabu, (26/1/2022). 

Baca Juga: Akhirnya Indonesia Punya Perjanjian Ekstradisi dengan Singapura 

2. Singapura beberapa kali memulangkan tersangka korupsi yang buron tanpa perjanjian ekstradisi

MAKI: Perjanjian Ekstradisi RI-Singapura Jangan hanya di Atas KertasPakar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Lebih lanjut, pria yang kini menjadi rektor di Universitas Jenderal Soedirman itu mengatakan Singapura pernah memulangkan beberapa tersangka termasuk yang tersangkut kasus korupsi kembali ke Tanah Air. Salah satunya adalah mantan petinggi Lippo Group Eddy Sindoro. 

Setelah buron dua tahun, ia menyerahkan diri ke atase kepolisian di KBRI Singapura. Itu sebabnya menurut Hikmahanto, tanpa perjanjian ekstradisi pun, Indonesia tetap bisa meminta Negeri Singa memulangkan WNI yang tersangkut tindak kriminal di Tanah Air. 

"Singapura sudah beberapa kali memulangkan koruptor-koruptor ke Indonesia tanpa ada perjanjian ekstradisi. Mereka dipulangkan atas permintaan Pemerintah Indonesia. Memang perjanjian ekstradisi membuat negara yang bersangkutan untuk langsung menyerahkan tersangka ke Indonesia," kata dia. 

Ia menambahkan tanpa ada perjanjian ekstradisi, maka negara yang diminta berhak untuk menolak atau memulangkan tersangka kasus yang diminta. 

Pernyataan serupa pernah disampaikan oleh Menteri Muda Urusan Luar Negeri Singapura, Massagos Zulkifli pada 2011 lalu. Ia mengatakan sudah sejak lama Negeri Singa berkomitmen untuk memulangkan para kriminal yang melarikan diri ke Singapura kembali ke Indonesia. Apalagi jika ada bukti kuat bahwa kriminal tersebut sedang dicari karena segera disidang di pengadilan. 

"Selama ada request (permintaan) dari Pemerintah RI bahwa orang itu ada di Singapura dan sedang dihadapkan di pengadilan, untuk apa kami ingin mempertahankan orang-orang itu?" tanya Massagos. 

3. Perjanjian ekstradisi dengan Singapura dianggap mempermudah dalam proses hak tagih BLBI

MAKI: Perjanjian Ekstradisi RI-Singapura Jangan hanya di Atas Kertas(Ilustrasi kasus korupsi BLBI) IDN Times/Rahmat Arief

Sementara, di akun media sosialnya, Menteri Koordinator bidang kemaritiman dan investasi, Luhut Pandjaitan mengatakan dengan adanya perjanjian ekstradisi yang berlaku surut 18 tahun ke belakang maka memudahkan untuk menuntaskan hak tagih Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). 

"Kami siap mengimplementasikan Keputusan Presiden terkait Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI," ungkap Luhut di akun Instagramnya pada Selasa kemarin. 

Berdasarkan keterangan dari Menko Polhukam Mahfud MD, tota aset hak tagih BLBI mencapai Rp110,4 triliun. Aset tersebut tersebar dalam bentuk saham, properti hingga tabungan. Aset-aset ini yang sedang diincar oleh pemerintah untuk diboyong pulang. 

Baca Juga: Indonesia Akhirnya Izinkan Singapura Latihan Militer di Wilayah RI

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya