Menlu Retno Bantah Ada Perang Dagang Antara Indonesia dengan AS

Menteri Perdagangan sengaja ke AS untuk membahas isu itu

Jakarta, IDN Times - Menteri Luar Negeri Retno Marsudi membantah kabar perang dagang antara Indonesia dengan Amerika Serikat. Bantahan tersebut disampaikan lantaran pemberitaan di dalam negeri kencang menyebut hal itu.

Pemberitaan itu bertiup setelah Pemerintah Negeri Paman Sam mengatakan tengah mengkaji ulang keringanan bea masuk ekspor bagi beberapa produk Indonesia pada April lalu. 

Dalam pandangan pengamat, pencabutan fasilitas yang diberi nama "Generalized System of Preference" (GSP) tersebut bisa berdampak ke perekonomian Indonesia. Sebab, dalam catatan KADIN, ada sekitr 3.500 produk Indonesia yang dibebaskan dari bea masuk ekspor oleh Negeri Paman Sam. Seandainya, bea masuk itu diberlakukan, maka hal tersebut bisa membuat biaya yang harus dikeluarkan oleh para pengusaha Tanah Air lebih mahal. 

Lalu, apa yang menjadi alasan Retno mengatakan tidak ada perang dagang di antara kedua negara? 

1. Mendag Enggartiasto sudah berkunjung ke AS untuk membahas kebijakan Trump

Menlu Retno Bantah Ada Perang Dagang Antara Indonesia dengan ASIDN Times/Fitria Madia

Bagi Indonesia, Amerika Serikat adalah negara mitra dagang utama terpenting kedua setelah Tiongkok. Oleh sebab itu, peringatan dari Presiden Donald Trump yang akan mencabut fasilitas GSP langsung ditanggapi dengan serius oleh Pemerintah Indonesia.

"Saya sampaikan bahwa baru-baru ini, delegasi yang dipimpin oleh Menteri Perdagangan (Enggartiasto Lukita) berkunjung ke Washington DC untuk bertemu dengan mitranya di sana. Mereka juga sempat bertemu dengan private sectors yang ada di Amerika serikat," kata Menlu Retno Marsudi usai melakukan pertemuan dengan Menlu AS, Mike Pompeo di kantor Kemenlu pada Sabtu (4/8).

Hasil kunjungan itu ternyata positif. Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Pompeo ketika melakukan pembicaraan empat mata dengan Retno.

Mendag Enggartiasto berkunjung ke Negeri Paman Sam pada 21-28 Juli lalu. Dalam keterangan pers sebelum ia berangkat, Enggartiasto mengatakan kunjungan itu dilakukan karena ingin menjaga dan mengamankan pasar komoditas ekspor Indonesia ke negara-negara tujuan ekspornya.

"Ini kan juga bagian dari langkah kami agar dapat mencapai target pertumbuhan ekspor 11 persen. Oleh karena itu, pemerintah harus sigap bertindak kalau ada indikasi pasar ekspornya akan mengalami hambatan," tutur Enggartiasto pada 13 Juli lalu di Jakarta.

Selain rombongan dari Kementerian Perdagangan, Enggartiasto turut mengajak KADIN, para asosiasi, pelaku usaha dan pemangku kepentingan. Alih-alih membalas dengan menerapkan tarif bea ekspor bagi produk AS yang masuk ke Indonesia, pemerintah lebih memilih untuk melakukan lobi dan diplomasi.

Baca Juga: Bagaimana Indonesia Sikapi Perang Dagang AS vs Tiongkok?

2. AS belum memutuskan untuk mencabut fasilitas gratis bea masuk bagi produk Indonesia

Menlu Retno Bantah Ada Perang Dagang Antara Indonesia dengan ASDonald Trump (Pixabay/Geralt)

Pemerintah AS pada April lalu memang mengatakan akan menimbang ulang pemberian fasilitas GPS untuk Indonesia dan India. Terutama, dari sudut pandang akses produk mereka di kedua negara tadi. Apalagi selama setahun terakhir, neraca perdagangan AS terhadap Indonesia memang minus.

Hal tersebut yang mendorong Negeri Paman Sam kemudian melakukan peninjauan kembali. Menurut Duta Besar Indonesia untuk AS, Budi Bowoleksono, hingga saat ini belum diputuskan apakah fasilitas GPS tersebut akan dicabut. Sebab, menurut hitung-hitungan Ketua Tim Ahli Ekonomi Wakil Presiden, Sofjan Wanandi, kalau fasilitas GPS dicabut, maka pengusaha harus membayar biaya sekitar US$1,8 miliar atau setara Rp25 triliun.

Maka dikirimlah tim agar bisa melobi Pemerintah AS dan Indonesia tetap diberikan fasilitas GPS itu. "Lagi di-review sekarang (permintaan dari Indonesia). Tapi, setelah mereka (AS) tahu kita (Indonesia) sedang agresif melakukan reformasi, ini kan inisiatif dari Pak Presiden, mereka menganggap langkah-langkah kita ini positif. Dan itu diapresiasi di sana," ujar Budi yang ditemui malam ini di kantor Kemenlu.

Lalu, kapan Negeri Paman Sam akan mengumumkan hasil kajiannya? Menurut Budi tidak ada tenggat waktu. "Kami lebih memilih untuk menunggu saja," katanya lagi.

3. Indonesia bisa mengambil peluang dari perang dagang Tiongkok VS Amerika Serikat

Menlu Retno Bantah Ada Perang Dagang Antara Indonesia dengan ASMenlu AS Mike Pompeo dan Menlu Retno Marsudi (Kedutaan Besar AS di Jakarta)

Alih-alih menambah keruh suasana dari perang dagang yang dilakukan Tiongkok dengan Negeri Paman Sam, menurut Dubes Budi, Indonesia justru bisa mengambil peluang dari sana.

"Misalnya ada produk dari Amerika Serikat yang biasa dijual ke Tiongkok, tapi gak bisa karena dikenakan tarif bea masuk tinggi. Kan sebenarnya itu bisa dilempar ke Indonesia, karena kita memang butuh itu," kata Budi.

Salah satu produk tersebut adalah kedelai. Budi tidak mempermasalahkan soal impor komoditas dari Negeri Paman Sam karena itu memang dibutuhkan.

"Ya, kalau kita butuh gimana? Kalau kita gak butuh (produk) itu kan, maka kita gak akan impor. Misalnya kedelai, bayangkan kalau gak ada kedelai. Nanti para pengusaha tempe gimana? Kita gak bisa makan tempe lagi," kata dia.

Baca Juga: Apa yang Perlu Kamu Tahu Soal Perang Dagang AS-Tiongkok

4. Indonesia tetap dianggap negara yang penting di bawah pemerintahan Presiden Trump

Menlu Retno Bantah Ada Perang Dagang Antara Indonesia dengan AS(Menlu AS Mike Pompeo ketika tiba di gedung Kemenlu) IDN Times/Santi Dewi

Dubes Budi membantah spekulasi yang menyebut Indonesia dianggap negara tidak penting di bawah kepemimpinan Presiden Trump. Kalau tidak dianggap penting, maka Menlu Pompeo tentu tidak mau berkunjung ke Indonesia. Walaupun, Indonesia bukan negara pertama di kawasan Asia Tenggara yang dikunjunginya. Ia sudah berkunjung lebih dulu ke Singapura dan Malaysia.

Namun, Budi menjelaskan, menjadi negara terakhir yang dikunjungi bukan menjadi indikasi apa pun. "Jangan melihat ini soal kunjungan negara pertama atau kedua. Indonesia itu adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, itu sudah credential kuat. Selain itu, negara kita juga demokratis," kata Budi.

Kalau berbicara pasar secara ekonomi, lanjutnya, Indonesia memiliki potensi pasar sekitar 260 juta orang. Di mana, lebih dari 60 persen merupakan penduduk kelas menengah. Angka itu terus berkembang dari tahun ke tahun.

"Oh, jelas itu tidak bisa diabaikan oleh Amerika Serikat. Belum lagi di kawasan, Indonesia memainkan peranan penting dan negara terbesar. Dengan tiga mantra itu, tidak mungkin kita tidak dilirik oleh Amerika," katanya menganalisa.

Baca Juga: 17 Negara Bagian AS Gugat Trump tentang Pemisahan Keluarga Imigran

Topik:

  • Ita Lismawati F Malau

Berita Terkini Lainnya