Novel: Revisi UU KPK Berpotensi Bikin Bukti Korupsi Hilang

"Bila kasus tak segera direspons, bukti bisa hilang"

Jakarta, IDN Times - Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan mengatakan revisi UU komisi antirasuah yang salah satunya mewajibkan pegawai untuk meminta izin kepada Dewas KPK untuk melakukan penyadapan dan penggeledahan dianggap merugikan. Sebab, proses itu mengulur waktu sehingga berpotensi menghilangkan barang bukti yang dibutuhkan. 

Hal itu disampaikan oleh Novel ketika menjadi saksi dalam sidang virtual pengujian UU baru KPK nomor 19 tahun 2019 di Gedung Mahkamah Konstitusi pada Rabu, 23 September 2020. Di dalam UU baru KPK, tertulis izin untuk mengajukan penggeledahan dan penyadapan harus maksimal diberikan 24 jam setelah diajukan. 

"Dalam beberapa kasus, respons tidak dilakukan dengan segera. Maka, potensi (untuk) mendapatkan bukti menjadi hilang. Ini yang menjadi persoalan dalam proses penyadapan," ungkap Novel dan dikutip kantor berita ANTARA

Pengajuan izin untuk melakukan penyadapan pun membutuhkan persetujuan dari beberapa pihak yakni pejabat struktural, pimpinan KPK dan anggota Dewan Pengawas. Di dalam dokumen yang diajukan juga disertai penjelasan. 

Menurut Novel, dalam menangani perkara rasuah, bukti-bukti harus segera diamankan. Bila tidak, bukti bisa segera dihilangkan oleh koruptor. 

Bagaimana proses pengajuan izin untuk penyadapan dan penggeledahan di UU KPK lama?

1. Wakil Ketua KPK akui proses penyadapan dan penggeledahan lebih lama karena harus tunggu persetujuan Dewas

Novel: Revisi UU KPK Berpotensi Bikin Bukti Korupsi HilangWakil Ketua KPK, Alexander Marwata (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi)

Sementara, di tempat yang sama, Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata yang ikut bersaksi turut mengakui persetujuan dari anggota Dewas untuk menyadap dan melakukan penggeledahan, membuat gerak penyidiknya terhambat. Oleh sebab itu, perlu diatur mengenai izin penggeledahan dan penyitaan dalam kondisi mendesak di UU nomor 19 tahun 2019. 

"Ini yang rasa-rasanya mungkin perlu diatur. Kalau masih harus membutuhkan persetujuan Dewas bagi kami sendiri itu rasanya kurang pas," ungkap Alex. 

Sebelum UU KPK baru diberlakukan, bila penyidik ingin melakukan penyadapan dan penggeledahan, maka izin yang perlu dikantongi cukup berasal dari deputi penindakan atau direktur penyidikan. Sehingga, prosesnya bisa lebih cepat dilakukan. 

Baca Juga: Anggota Dewas Akui Undang-Undang Baru Memang Lemahkan KPK

2. Lebih dari 200 izin terkait kasus diajukan, namun yang dikabulkan oleh Dewas hanya 46

Novel: Revisi UU KPK Berpotensi Bikin Bukti Korupsi HilangAnggota Dewan Pengawas KPK, Albertina Ho (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)

Sementara, ketika memberikan keterangan pada awal Agustus lalu, anggota Dewas, Albertina Ho mengatakan sejak tahun 2019, sudah ada lebih dari 200 izin terkait kasus yang diajukan oleh pihak pimpinan KPK. Namun, tidak semua dikabulkan. Atau ada pula yang dikabulkan namun hanya sebagian. 

"Untuk perizinan, izin penyadapan yang sudah dikeluarkan oleh Dewan Pengawas sejumlah 46. Kemudian, izin penggeledahan 19 dan izin penyitaan 169," ungkap perempuan yang juga menjabat sebagai hakim senior itu pada 4 Agustus 2020 lalu. 

Ia pun menjelaskan ketika pimpinan mengajukan izin untuk melakukan penyitaan barang bukti, tidak semuanya dikabulkan. Misal, dari izin untuk menyita 20 benda, yang dikabulkan hanya 14 atau 16 item saja. Tetapi, dia menegaskan sejauh ini belum ada izin yang diajukan ke Dewas dan ditolak. 

"Tetapi, yang ditolak sebagian itu ada," tuturnya lagi. 

Sementara, Ketua Dewas, Tumpak Panggabean menambahkan untuk memudahkan pengajuan izin, maka akan dibuatkan aplikasi. Diharapkan dengan adanya aplikasi tersebut, pemberian izin bisa dilakukan oleh dewas dari mana saja. 

"Kami akan membuat lagi nanti aplikasi melalui IT sehingga bisa memudahkan antar kami dengan penyidik, meskipun dia sedang di Papua sana, tetap bisa berhubungan dengan kami," ujar Tumpak di forum yang sama. 

3. Para pemohon uji sidang materi UU KPK berharap MK bisa mengabulkan ke UU lama

Novel: Revisi UU KPK Berpotensi Bikin Bukti Korupsi HilangPara pegiat antikorupsi yang melakukan uji materi UU baru KPK (ANTARA FOTO/Aprilio Akbar)

Sidang perdana uji formil terhadap UU KPK dilakukan pada 9 Desember 2019. Tercatat para pegiat antikorupsi mengajukan uji materi itu ke Mahkamah Konstitusi. Mereka terdiri dari eks tiga pimpinan KPK, dua eks komisioner yang ikut masuk ke dalam daftar pemohon uji formil undang-undang baru KPK yakni Erry Riyana Hardjapamekas dan M. Jasin. Berikut adalah daftar lengkap 13 nama pemohon uji formil UU nomor 19 tahun 2019:

  1. Agus Rahardjo
  2. Laode Muhamad Syarif
  3. Saut Situmorang
  4. Erry Riyana Hardjapamekas
  5. Dr. Moch Jasin
  6. Omi Komaria Madjid
  7. Betti S Alisjahbana
  8. Dr. Ir Hariadi Kartodihardjo, MS
  9. Dr. Mayling Oey
  10. Suarhatini Hadad
  11. Abdul Fickar Hadjar SH MH
  12. Abdillah Toha
  13. Ismid Hadad

Ke-13 pemohon berharap MK dapat memutuskan proses pembahasan dan pengesahan UU KPK bertentangan dengan UUD 1945, sehingga undang-undang baru itu harus dibatalkan dan dikembalikan ke UU lama nomor 20 tahun 2001.  

Baca Juga: ICW: Beban KPK akan Berkurang Jika Firli Bahuri Tak Lagi Jadi Ketua

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya