Pegawai: Pak Jokowi, Kenapa Tega 'Membunuh' KPK? 

Revisi UU nomor 30 tahun 2002 menjadi tanda matinya KPK

Jakarta, IDN Times - Sejumlah orang terlihat mengenakan masker dan membawa bendera kuning keluar dari lobi Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Selasa malam (17/9). Kemudian, beberapa orang yang membawa empat foto dengan tulisan 'KPK Harus Mati' dan karangan bunga duka cita. Di bagian akhir, sebuah replika pusara makam diletakan di bagian depan pintu utama lobi gedung komisi antirasuah. 

Cahaya di gedung sengaja temaram untuk menggambarkan suasana dan kondisi para pegawai KPK yang berduka karena revisi UU nomor 30 tahun 2002 akhirnya diketok DPR pada pagi tadi. Walau ditentang oleh banyak pihak di seluruh Indonesia lantaran dianggap sebagai pelemahan KPK, tetapi anggota parlemen mengesahkannya. Maka, bagi pegawai komisi antirasuah, situasi itu sama saja dengan membunuh KPK. 

Satu tanda tanya pun muncul di benak para pegawai komisi antirasuah: mengapa Presiden Joko "Jokowi" Widodo dan anggota DPR tega melakukannya. 

"Mengapa bapak-bapak yang terhormat ini dengan tega membunuh KPK, padahal selama ini kami sudah menjaga negara ini dan bapak-bapak semuanya dari rong-rongan para mafia, para koruptor?," tanya seorang pegawai KPK, Sutarni Bintaro dari Direktorat PJKAKI, dalam aksi 'Pemakaman KPK' pada malam ini. 

Sutarni pun kembali mengingat janji Jokowi dulu ketika ia berkampanye menjadi Presiden pada 2014 lalu. 

"Bapak Presiden akan memperkuat pemberantasan korupsi, itu yang sering kali bapak ucapkan. Semoga Bapak ingat dan ingat kembali, karena saya yakin bapak orang baik," tutur dia lagi. 

Lalu, apa dampaknya pemberlakuan UU yang telah direvisi ini terhadap 18 kasus korupsi besar yang menjadi tunggakan utang?

1. Kasus-kasus korupsi besar yang tengah ditangani KPK akan terhenti di tengah jalan

Pegawai: Pak Jokowi, Kenapa Tega 'Membunuh' KPK? IDN Times/Vanny El Rahman

Menurut Direktur Eksekutif Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, dengan diberlakukannya UU nomor 30 tahun 2002 yang telah direvisi nanti maka dikhawatirkan bisa membuat proses penyidikan kasus-kasus mega korupsi akan terbengkalai. Apalagi ada aturan di dalam UU tersebut yang menyebut bahwa penyelidik dan penyidik yang bekerja di komisi antirasuah harus merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN). Sedangkan, penyidik yang saat ini bekerja di KPK, tidak semuanya merupakan ASN. 

"Artinya, kasus-kasus yang sempat ditangani oleh penyidik KPK terdahulu bisa dianggap tidak sah, karena yang menyidik bukan penyidik yang berstatus ASN. Ini kan memang sejak awal skenario yang mau diciptakan," kata Asfinawati ketika menjawab pertanyaan IDN Times

Sementara, data dari organisasi Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut KPK masih memiliki 18 tunggakan kasus korupsi besar. Berikut data ke-18 kasus korupsi itu: 

  1. Suap perusahaan kimia asal Inggris, Innospec ke pejabat Pertamina
  2. Bailout Bank Century 
  3. Proyek pembangunan di Hambalang
  4. Proyek Wisma Atlet Kemenpora di Sumsel
  5. Suap dengan cek pelawat dalam proses pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia
  6. Proyek SKRT Kementerian Kehutanan
  7. Hibah kereta api dari Jepang di Kementerian Perhubungan 
  8. Proyek pengadaan alat kesehatan di Kementerian Kesehatan
  9. Pengadaan simulator SIM di Dirlantas Polri
  10. Pembangunan proyek PLTU Tarahan (pada tahun 2004)
  11. "Rekening gendut" oknum Jenderal Polri
  12. Kasus suap Bakamla
  13. Suap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
  14. Suap Rolls Royce PT Garuda Indonesia Airways
  15. Korupsi BLBI
  16. Korupsi Bank Century
  17. Korupsi Pelindo II
  18. Korupsi KTP Elektronik

Baca Juga: Wadah Pegawai: Koruptor Akan Tertawa Lihat KPK Dilemahkan

2. Presiden Jokowi dinilai ingkar janji karena ikut merestui revisi UU KPK

Pegawai: Pak Jokowi, Kenapa Tega 'Membunuh' KPK? ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

Asfinawati juga menilai selama ini apa yang dilakukan oleh Presiden Jokowi mengenai upaya pemberantasan korupsi hanya kebohongan belaka. Sebab, kendati ia kerap mengatakan akan terus memperkuat KPK, nyatanya mantan Gubernur DKI Jakarta itu merestui UU nomor 30 tahun 2002 direvisi. Bahkan, Jokowi tidak ikut melibatkan KPK dalam proses diskusi untuk mengubah poin-poin di dalam UU tersebut. 

Apalagi kalau menengok kembali ke tahun 2014 lalu, dalam kampanyenya Jokowi menyebut akan memperkuat komisi antirasuah. Caranya, dengan menaikan anggaran KPK setiap tahun dan menambah jumlah penyidik. Pada kenyataannya, setiap tahun anggaran KPK stagnan bahkan mengalami penurunan. 

"Sangat tidak sesuai (janji Presiden). Karena ketika berkampanye dulu kan janjinya akan memperkuat upaya pemberantasan korupsi, tapi dari pemilihan pimpinan baru dan revisi UU KPK, Presiden malah turut serta dalam upaya pelemahan pemberantasan korupsi," kata Asfinawati. 

3. Presiden bisa saja mencabut UU KPK yang telah direvisi. Tapi, apa mau?

Pegawai: Pak Jokowi, Kenapa Tega 'Membunuh' KPK? ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

Ketika ditanya masih adakah peluang bagi Presiden Jokowi untuk berubah pikiran dan tak menandatangani UU tersebut, Asfinawati menyebut secara teori bisa saja. Tetapi, pada praktiknya hal itu sulit terwujud. 

"Kita pun tahu Presiden pernah mencabut beberapa produk hukum yang pernah ia tanda tangani, tapi kalau secara hitung-hitungan sulit. Apalagi publik sudah bersuara (menentang revisi UU KPK), ribuan dosen, pemuka agama, mahasiswa sudah menyuarakan agar tidak meneruskan revisi UU KPK, tapi Presiden dan DPR tetap melanjutkannya," kata dia lagi. 

Hingga saat ini, UU yang telah disahkan di DPR itu belum diberi nomor dan diteken oleh Jokowi. Belum ada informasi kapan mantan Wali Kota Solo tersebut segera menandatangani UU nomor 30 tahun 2002 tersebut. 

Baca Juga: [EKSKLUSIF] Penasihat Tsani Annafari: KPK Itu Sudah Mati Suri

Topik:

Berita Terkini Lainnya