Pengamat: Apabila UU Baru KPK Diberlakukan Maka OTT Nyaris Hilang

Di UU baru, OTT baru dilakukan di tahap penyidikan

Jakarta, IDN Times - Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar mengaku setuju apabila Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nomor 30 tahun 2002 untuk diperbaiki. Namun, caranya tidak seperti yang ditempuh oleh anggota DPR periode 2015-2019 dan pemerintah.

Selain dilakukan tanpa melibatkan komisi antirasuah, proses revisi dilakukan secara terburu-buru. Hasilnya, masih banyak pasal yang tidak jelas. Salah satunya mengenai kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan. 

Di dalam UU baru, aktivitas penyadapan ada di pasal 12B. Yang ganjil tertulis di ayat (2), di mana isinya penyadapan baru bisa dilakukan setelah dilakukan gelar perkara. 

"Masalahnya, gelar perkara itu sudah bukan di tahap penyelidikan, tapi penyidikan. Artinya, si pembuat UU ini ingin menghilangkan tuh aktivitas penyadapan. Bahayanya apabila penyadapan hilang, maka OTT (Operasi Tangkap Tangan) nyaris hilang," kata Zainal ketika berbicara di program Indonesia Lawyer's Club (ILC) di stasiun tvOne pada Selasa (1/10). 

Ia menggaris bawahi tidak pernah ada aktivitas OTT setelah dilakukan proses gelar perkara. Operasi senyap itu dilakukan di tahap penyelidikan. 

"Artinya, gak akan ada lagi penyadapan menuju ke OTT," kata dia tegas. 

Wah, gimana dong ya kelanjutan KPK sebagai lembaga yang diharapkan bisa memberantas korupsi lebih baik dari kepolisian dan kejaksaan? Padahal, menurut penyidik di KPK, penyadapan menjadi alat jitu untuk membuktikan seseorang berbuat korup. 

1. Pimpinan terpilih KPK juga sudah memperkirakan OTT akan sulit dilakukan dengan UU baru yang direvisi

Pengamat: Apabila UU Baru KPK Diberlakukan Maka OTT Nyaris Hilang(Capim KPK Nurul Ghufron) ANTARA FOTO/Aditya Putra Pradana

Soal kesulitan KPK akan melakukan OTT usai UU baru diberlakukan juga telah diprediksi oleh pimpinan baru Nurul Ghufron. Sebab, sebelum dilakukan operasi senyap, perlu digelar aktivitas penyadapan. Sesuai aturan di dalam UU baru, untuk bisa menyadap harus memperoleh izin dari Dewan Pengawas. 

"Karena penyadapan harus minta izin sehingga kebocoran OTT bisa saja terjadi," kata Nurul di Jember pada (19/9) lalu dan dikutip oleh kantor berita Antara.

Keberadaan Dewan Pengawas diakui Nurul sebagai perubahan substansi yang dirasa paling berat. Sebab, posisi mereka berada di atas lima pimpinan KPK. Selain itu, Dewan Pengawas akan diberikan kewenangan pro justicia untuk memberi izin penyadapan, penggeledahan dan penyitaan. 

Selain itu, posisi pimpinan KPK bukan lagi penyidik dan penuntut. 

"Sehingga, penegakan hukum kembali ke prosedur pada umumnya," kata dia lagi. 

Namun, kendati berat, Nurul mengaku akan menjalankan UU yang telah direvisi itu bersama empat pimpinan lainnya. 

"Saya dan empat pimpinan lainnya akan menjalankan dan menegakan aturan itu," tuturnya. 

Bahkan, di dalam aturan baru, posisi Nurul sebagai pimpinan baru KPK bisa tidak jelas. Sebab, ada kebingungan penulisan redaksi di dalam draft UU tersebut. Kendati di tulisan, terbaca syarat minimal menjadi pimpinan KPK berusia lima puluh tahun, namun di dalam tanda kurung malah tertulis (40). 

Baca Juga: Anggota DPR Akui Ada Kesalahan Penulisan di UU Baru KPK, Kok Bisa?

2. Penyadapan jadi alat jitu penyidik untuk menangkap tangan koruptor

Pengamat: Apabila UU Baru KPK Diberlakukan Maka OTT Nyaris Hilang(Ilustrasi penyadapan rawan bocor apabila ada Dewan Pengawas) IG Story ICW

Menurut penyidik senior di KPK, H.N Christian, penyadapan merupakan salah satu metode paling jitu untuk bisa membuktikan seorang penyelenggara negara korupsi. 

"Karena kalau dengan cara konvensional mengikuti orang dari satu tempat ke tempat lain, melihat minimnya tenaga KPK, maka itu akan sia-sia," kata Christian yang diunggah di akun media sosial Change.org pada (6/9) lalu. 

Ia menjelaskan penyadapan itu tidak bisa dilakukan ke sembarang orang dan atas dasar yang tidak kuat. Para penyidik KPK menyadap karena sudah ada laporan dari masyarakat dan diverifikasi buktinya. 

Usai dilakukan penyadapan, maka biasanya akan ditindak lanjuti dengan dilakukan pembuntutan. Dalam video itu, Christian menyebut dengan adanya aksi penyadapan ia berhasil menciduk mantan hakim konstitusi Patrialis Akbar.

"Dari sana akhirnya diketahui Patrialis Akbar sebagai penerima suap, sedangkan Basuki Hariman (importir) sebagai pemberi suap," tutur dia. 

Dalam persidangan yang digelar pada 2017 lalu, Patrialis dinyatakan oleh majelis hakim terbukti korupsi dan divonis 8 tahun bui. Ia juga diminta untuk membayar denda senilai Rp300 juta. Selain itu, Patrialis juga diwajibkan membayar uang pengganti senilai US$10 ribu dan Rp4.043.000. Itu sesuai dengan nominal suap yang ia terima. 

3. KPK pernah pecahkan rekor melakukan OTT sepanjang sejarah berdirinya komisi antirasuah

Pengamat: Apabila UU Baru KPK Diberlakukan Maka OTT Nyaris HilangIlustrasi korupsi. (IDN Times/Santi Dewi)

Padahal, di masa kejayaannya, komisi antirasuah berhasil menorehkan sejarah pada 2018 lalu. Mereka berhasil melakukan 30 Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada tahun tersebut.

Namun, berdasarkan data lembaga antirasuah mayoritas masih didominasi oleh kepala daerah. Hingga Desember 2018 lalu, sudah ada 21 kepala daerah yang ditangkap oleh penyidik KPK. Sementara, total individu yang ditetapkan sebagai tersangka dari OTT mencapai 108 orang. Angka itu sesungguhnya bisa bertambah, karena pada Selasa malam, lembaga antirasuah kembali melakukan operasi senyap di kantor Kementerian Pemuda dan Olahraga. 

"Jumlah kasus tangkap tangan di tahun 2018 ini melampaui tahun sebelumnya dan merupakan terbanyak sepanjang sejarah berdirinya KPK," ujar Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang pada19 Desember 2018 usai memberikan keterangan pers mengenai hasil kinerja KPK. 

Ia menjelaskan perkara yang paling banyak ditangani adalah penyuapan sebanyak 152 perkara, disusul pengadaan barang atau jasa sebanyak 17 perkara dan pencucian uang sebanyak 6 perkara. 

Berikut daftar 30 OTT yang berhasil dilakukan pada 2018 lalu: 

1. 4 Januari:
Bupati Hulu Sungai Tengah Abdul Latif

2. 3 Februari:
Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko

3. 11 Februari:
Bupati Ngada Marianus Sae

4. 13 Februari:
Bupati Subang Imas Aryumningsih

5. 14 Februari:
Bupati Lampung Tengah Mustafa

6. 27 Februari:
Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra

7. 12 Maret:
Hakim PN Tangerang Wahyu Widya Nurfitri

8. 10 April:
Bupati Bandung Barat Abu Bakar

9. 4 Mei:
Anggota DPR Amin Santono

10. 15 Mei:
Bupati Bengkulu Selatan Dirwan Mahmud

11. 23 Mei:
Bupati Buton Selatan Agus Feisal Hidayat


12. 4 Juni:
Bupati Purbalingga Tasdi

13. 6 Juni:
Wali Kota Blitar M Samanhudi Anwar

 
14. 6 Juni:
Bupati Tulungagung Syahri Mulyo

15. 3 Juli:
Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan Bupati Bener Meriah Ahmadi

16. 13 Juli:
Anggota DPR Eni Maulani Saragih

17. 17 Juli:
Bupati Labuhanbatu Pangonal Harahap

18. 21 Juli:
Kalapas Sukamiskin Wahyu Husen

19. 27 Juli:
Bupati Lampung Selatan Zainudin Hasan

20. 28 Agustus:
Hakim ad hoc Tipikor Medan Merry Purba

21. 3 Oktober:
Kepala Kantor Pajak Ambon, La Masikamba

22. 4 Oktober:
Wali Kota Pasuruan Setiyono

23. 14 Oktober:
Bupati Bekasi Neneng Hassanah Yasin

24. 24 Oktober:
Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra

25. 26 Oktober:
Ketua Komisi B DPRD Kalimantan Tengah Borak Milton dan 3 anggota DPRD Kalteng lainnya

26. 18 November:
Bupati Pakpak Bharat Remigo Yolando Berutu

27. 28 November
Hakim PN Jaksel, Iswahyu Widodo, dan Irwan

28. 12 Desember:
Bupati Cianjur Irvan Rivano Muchtar

29. 18 Desember:
Sembilan orang termasuk Deputi Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kemenpora Mulyana

30. 28 Desember: 

20 pejabat Kementerian PUPR dan pihak swasta ditangkap karena proyek air minum

Baca Juga: Tutup Tahun 2018, KPK Pecahkan Rekor OTT Terbanyak Dalam Sejarah

Topik:

Berita Terkini Lainnya