Pengamat CSIS: Cakada Jadi Tersangka Korupsi, Itu Kesalahan Parpol!

Dua cakada terancam dilantik di rutan KPK

Jakarta, IDN Times - Peneliti senior CSIS, Philip Vermonte, menilai partai politik lah yang seharusnya bertanggung jawab terhadap fenomena calon kepala daerah (Cakada) yang kini meringkuk di balik jeruji karena tersangkut kasus korupsi. Sejauh ini sudah ada dua calon kepala daerah yang telah menyandang status tersangka korupsi dan dipastikan menang. Mereka adalah Bupati petahana Tulungagung, Syahri Mulyo dan cagub Maluku Utara, Ahmad Hidayat Mus. 

Sejauh ini, sudah ada 80,82 persen suara yang masuk pada pekan lalu. Khusus untuk paslon nomor urut satu, mereka diketahui lebih unggul dengan perolehan 59,8 persen suara. Dalam kasus Ahmad, ia saat ini berada di posisi teratas dengan perolehan 176.091 atau 31,94 persen suara. Itu pun perolehan suara yang masuk pada Jumat (29/6) lalu. 

Dengan kondisi begitu, maka kemungkinan besar mereka akan tetap dilantik sebagai kepala daerah walaupun sudah menyandang status tersangka korupsi. 

"Kalau memang masih ada (kepala daerah) yang terpilih dan kini menjadi tersangka (kasus korupsi), maka menurut saya itu tanggung jawab dari parpol yang mencalonkan," ujar Philip pada Selasa (3/7). 

Lalu, apa lagi faktor lainnya sehingga publik malah tetap memilih kepala daerah yang sudah jadi tersangka korupsi? 

1. Parpol yang seharusnya disiplin mencari calon kepala daerah berintegritas

Pengamat CSIS: Cakada Jadi Tersangka Korupsi, Itu Kesalahan Parpol!IDN Times/Sukma Shakti

Menurut Philip, seharusnya partai politik lah yang disiplin untuk mencari calon kepala daerah berintegritas dan punya rekam jejak yang baik sehingga saat Pilkada nama parpol tersebut ikut terangkat.

"Jadi, kalau sudah ada calon yang ketahuan terlibat korupsi atau berpotensi melakukan korupsi, maka sebaiknya gak dipilih. Jadi, yang dipilih memang figur-figur yang mendukung transparansi. Sebenarnya beberapa partai itu juga sudah melakukan," kata Philip yang ditemui di area Cikini Jakarta Pusat hari ini.

Ia menilai kalau parpol bersikeras tetap membela kader mereka yang korup, malah itu awal dari melorotnya elektabilitas partai. Seharusnya, kata dia, semakin banyak calon yang terindikasi korupsi, malah menguatkan parpol untuk gak mencalonkan mereka.

"Karena mereka bisa menjadi sasaran kritik, gak memberikan pelajaran politik ke publik dan menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap integritas pemerintahan yang terbentuk nantinya," kata dia lagi.

2. Sikap publik justru tetap permisif terhadap koruptor

Pengamat CSIS: Cakada Jadi Tersangka Korupsi, Itu Kesalahan Parpol!IDN Times/Sukma Shakti

Permasalahan lain yang muncul terkait calon kepala daerah korup yang tetap berlaga di Pilkada yakni mereka tetap dipilih oleh masyarakat. Bahkan, sebagian dari mereka gak yakin kalau calon kepala daerah pilihannya berbuat korupsi. Syahri Mulyo pun bisa terpilih karena rakyat mengira dia sosok pemimpin yang baik saat menjabat sebagai bupati.

"Itu kan sama aja seperti kalau di sekitar kita, ada koruptor yang bikin jalan dan tetap kita salami. Artinya, sikap permisif publik terhadap koruptor itu masih tinggi. Jadi, memang masyarakat masih harus diedukasi dan disosialisasikan," kata dia.

3. KPK masih harus merundingkan apakah akan memfasilitasi calon kepala daerah dilantik di rutan

Pengamat CSIS: Cakada Jadi Tersangka Korupsi, Itu Kesalahan Parpol!IDN Times/Sukma Shakti

Lalu, apakah lembaga anti rasuah siap memfasilitasi untuk melantik calon kepala daerah di rutan? Kalau pada Senin kemarin, Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan mengatakan masih menunggu permintaan resmi dari pihak terkait, maka hari ini, pimpinan lembaga anti rasuah lainnya, Saut Situmorang mengatakan masih perlu merundingkan hal tersebut.

"Nanti, pimpinan berlima yang memutuskan mengenai hal itu (pelantikan di rutan), bukan saya saja," kata Saut melalui pesan pendek kepada IDN Times malam ini.

Sesuai dengan aturan di UU Pilkada pasal 163 ayat (1), gubernur dan wakil gubernur dilantik oleh Presiden di ibukota negara. Sedangkan, bupati dan wakil bupati dilantik oleh Menteri Dalam Negeri.

Namun, menurut UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, di ayat (7) menyebut bupati yang berstatus tersangka atau terdakwa tetap dilantik, lalu diberhentikan sementara. Kalau nanti saat di pengadilan, ia terbukti gak bersalah, maka statusnya dapat dipulihkan kembali.

Baca Juga: Kemenhub: Kapal KM Lestari Maju Sengaja Dikandaskan

Topik:

  • Dwi Agustiar

Berita Terkini Lainnya