Pengamat: Presiden Tak akan Mudah Digulingkan karena Rilis Perppu KPK

UU telah diamandemen dan tak mudah impeach Presiden

Jakarta, IDN Times - Pakar tata negara, Bivitri Susanti mengatakan Presiden Joko "Jokowi" Widodo tak perlu khawatir akan digulingkan karena mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebab, aturan di dalam UU sudah diamandemen, sehingga proses pemakzulan tidak akan mudah terjadi seperti yang dialami oleh almarhum Abdurrahman Wahid dulu. 

"Dalam hal impeachment yang berlaku serupa seperti yang diberlakukan di Amerika Serikat. Seperti yang kita tahu ada banyak orang yang tidak suka terhadap Presiden Donald Trump, tapi sampai sekarang tidak bisa jatuh, misalnya," kata Bivitri ketika berbicara di program Indonesia Lawyers Club yang tayang di stasiun tvOne pada Selasa (1/10) kemarin. 

Pernyataan itu juga disampaikan oleh Bivitri ketika ia dan puluhan tokoh nasional lainnya datang ke Istana Negara serta diajak berbincang oleh Jokowi pada (26/9) lalu. Dalam pertemuan tersebut, para tokoh nasional kemudian mendesak mantan Gubernur DKI Jakarta itu agar segera mengeluarkan Perppu KPK. Sebab, situasinya sudah genting dan membutuhkan respons yang cepat. 

Bivitri menjelaskan Jokowi mengaku ikut memantau situasi yang terjadi selama pekan lalu. Dari sana, kemudian para tokoh nasional meminta agar Jokowi memberikan bukti nyata bahwa pemerintahan saat ini adalah pemerintahan yang responsif. 

"Saat ini kan sudah ada jatuh korban dan ada puluhan mahasiswa yang ditahan. Tidak bisa Presiden dan DPR diam saja. Dua-duanya harus merespons," kata dia lagi. 

Tapi, apa betul saat ini situasi negara sudah mendesak sehingga perlu dikeluarkan Perppu KPK? Apa yang akan terjadi apabila Perppu yang sudah dikeluarkan oleh Presiden ternyata ditolak DPR? 

1. Apabila Presiden Jokowi tak mengeluarkan Perppu, maka UU KPK yang direvisi resmi berlaku 17 Oktober 2019

Pengamat: Presiden Tak akan Mudah Digulingkan karena Rilis Perppu KPK(Ilustrasi pegawai KPK tolak revisi UU KPK) ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

Bivitri menjelaskan salah satu situasi genting agar Presiden Jokowi segera mengeluarkan Perppu yakni UU baru KPK akan resmi berlaku pada (17/10). UU tersebut akan berlaku apabila Presiden Jokowi tak mengeluarkan Perppu. 

"Begitu UU itu berlaku maka akan mengubah wajah KPK secara keseluruhan. Untuk mengembalikan desain KPK ke posisi semula, yang itu diapresiasi oleh dunia internasional maka semua itu harus dalam bentuk Undang-Undang dan dilakukan secara cepat," kata Bivtri. 

Poin kedua yakni UU baru KPK dinilai tidak efektif dalam memberantas korupsi yang sudah begitu menggurita di Indonesia. Sementara, apabila menggunakan cara biasa yakni dengan legislative review, maka diprediksi paling cepat pembahasan mengenai UU KPK baru bisa dilakukan pada awal tahun 2020. 

Sementara, solusi juga tidak bisa diperoleh apabila mengandalkan judicial review. Sebab, tidak ada patokan waktu kapan proses itu akan rampung. 

"Bisa saja itu rampung dalam tiga bulan, enam bulan. Kemudian, kita juga tidak bisa perikirakan hasilnya, karena itu semua tergantung dari cara pandang hakim," tutur dia. 

Pertimbangan lainnya dari Jokowi yakni apabila Perppu sudah dikeluarkan ternyata masih bisa ditolak di DPR. Namun, kata Bivitri, para tokoh nasional itu meyakinkan tidak perlu khawatir apabila Perppu tersebut ditolak. 

"Dari sana justru bisa terlihat dengan jelas siapa yang berpihak untuk pemberantasan korupsi, Pak Presiden," kata Bivitri menirukan suara para tokoh senior lainnya. 

Baca Juga: Presiden Berencana Keluarkan Perppu KPK, Pengamat: Jangan Senang Dulu

2. Anggota DPR komisi III Masinton Pasaribu menilai dibangun persepsi seolah-olah yang dukung revisi UU KPK pro koruptor

Pengamat: Presiden Tak akan Mudah Digulingkan karena Rilis Perppu KPKANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

Sementara, di program yang sama, anggota komisi III DPR, Masinton Pasaribu yang menjadi salah satu inisiator revisi UU KPK menyebut aturan tersebut memang sudah sepatutnya direvisi. Menurut Masinton hal itu untuk menyadarkan komisi antirasuah bahwa mereka tidak bisa berbuat seenaknya. 

Salah satu contoh nyata sikap itu yakni ketika usai rapat pada April 2018. Ketika itu rekomendasi yang disampaikan oleh anggota komisi III agar konflik internal di tubuh KPK segera diatasi. Namun, pada kenyataannya mereka malah mendengar konflik internal semakin terungkap ke publik. Salah satunya ketika para pegawai malah menggugat pimpinannya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). 

"Kita hidup dalam berkonstitusi taatlah pada aturan itu. Tidak ada konstitusi hanya kalah pada orang per orang. Lalu, membandingkan kalau pro terhadap KPK berarti memberantas korupsi, sedangkan kalau pro revisi maka pro terhadap koruptor. Ini cara pandang keliru yang selama ini dibangun," kata politikus dari fraksi PDI Perjuangan semalam. 

Ia menjelaskan UU KPK yang direvisi merupakan hasil kesepakatan 349 anggota DPR yang berasal dari partai pengusung Presiden. Belum lagi ditambah dengan koalisi di luar partai pemerintah yang ternyata juga ikut mendukung revisi. 

"Terus, kita mau bilang yang memilih anggota DPR pro koruptor? Sudah gila ini semua," kata dia lagi. 

Sehingga, ia sudah memastikan sikap akan menolak apabila Perppu KPK benar-benar dikeluarkan oleh Presiden Jokowi. 

"Kalau saya secara pribadi, saya anggota fraksi, akan tolak itu Perppu, karena tidak benar. Kita sudah merusak konstitusi kita. Kita harus yakin bernegara itu ya berkonstitusi. Tidak bisa tunduk terhadap tekanan-tekanan," katanya tegas. 

3. Pakar hukum dari UGM justru mempertanyakan sudah ada korban jiwa yang jatuh bagaimana mungkin tak disebut situasi tengah genting

Pengamat: Presiden Tak akan Mudah Digulingkan karena Rilis Perppu KPK(Direktur PUKAT Zainal Arifin Mochtar) Dokumen Pukat

Sementara, Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar justru mengaku heran terhadap sikap yang ditunjukkan oleh anggota DPR yang masih menyebut situasi saat ini tidak genting dan cukup kuat untuk mengeluarkan Perppu. Padahal, di Provinsi Sulawesi Tenggara, sudah ada dua mahasiswa yang tewas ketika tengah berunjuk rasa dan memperjuangkan agar UU KPK baru dibatalkan. 

"Kebutuhan mendesak ini sudah jelas. Ini ada yang mati dan luka-luka demi memperjuangkan UU ini. Kalau masih disebut tidak ada kegentingan yang memaksanya saya tidak tahu hati nuraninya ditaruh di mana terhadap nyawa-nyawa yang hilang," kata Zainal semalam. 

Sementara, terkait kekosongan hukum, Zainal merujuk masih banyak hal yang tidak jelas dalam UU baru yang disahkan pada (17/9). Contohnya, kata Zainal, salah seorang komisioner tidak bisa dilantik. Komisioner yang dimaksud adalah Nurul Ghufron. 

"Komisioner terpilih ini usianya kan baru 45. Sementara, di UU baru disebut usia minimal komisioner harus 50 (tahun). Tiba-tiba anggota DPR nyeletuk itu kan kita tidak pakai asas berlaku surut, di mana aturan itu ada?," tanya Zainal. 

Ia menyebut untuk menjadi aturan yang ideal, maka harus dibuat pasal peralihan yang memuat keterangan tersebut. Sementara, di dalam UU baru pasal 29 tertulis untuk dapat diangkat sebagai pimpinan KPK harus memenuhi persyaratan berusia paling rendah 50 dan paling tinggi 65 tahun pada proses pemilihan.

Masalahnya, penulisan usia di dalam naskah UU itu membuat publik bingung. Sebab kendati usia minimal 50, namun keterangan di dalam kurung tertulis 40 tahun. 

Baca Juga: Maha Kuasa Dewan Pengawas KPK 

Topik:

Berita Terkini Lainnya