Puan: Pengesahan RUU TPKS Jadi UU Kado Jelang Hari Kartini

Butuh waktu lebih dari enam tahun untuk sahkan RUU TPKS

Jakarta, IDN Times - Wajah Ketua DPR RI Puan Maharani terlihat semringah dan matanya berkaca-kaca, usai mengetuk palu persetujuan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi undang-undang, Selasa (12/4/2022).

Sejumlah anggota DPR, perwakilan pemerintah dan kelompok masyarakat sipil memberikan tepuk tangan meriah, karena akhirnya RUU TPKS disahkan setelah melalui proses pembahasan selama enam tahun. 

Nama Puan sempat dielu-elukan sejumlah tamu yang hadir menyaksikan rapat paripurna secara langsung. Puan menyebut UU TPKS menjadi kado bagi perempuan Indonesia jelang peringatan Hari Kartini. 

"Pengesahan RUU TPKS menjadi undang-undang menjadi hadiah bagi seluruh perempuan Indonesia. Apalagi jelang diperingatinya hari Kartini. UU ini juga merupakan komitmen bersama dari seluruh masyarakat Indonesia," ungkap Puan seperti dikutip dari YouTube DPR hari ini. 

Ketua DPR perempuan pertama itu berharap implementasi UU TPKS benar-benar dapat menyelesaikan kasus-kasus kekerasan seksual dan memberikan perlindungan bagi perempuan serta anak di Indonesia.

"Karenanya perempuan Indonesia tetap harus dan selalu semangat! Merdeka!" kata Puan yang direspons dengan tepuk tangan meriah. 

Sebelumnya, Ketua Panitia Kerja RUU TPKS, Willy Aditya, juga menyebut menjadi aturan paling progresif yang pernah disusun oleh pemerintah dan DPR. Mengapa demikian?

1. RUU TPKS disebut aturan pertama yang berpihak ke korban

Puan: Pengesahan RUU TPKS Jadi UU Kado Jelang Hari KartiniKetua Panitia Kerja (Panja) RUU Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), Willy Aditya di Gedung DPR/MPR Jakarta, Kamis (25/11/2021). (IDN Times/Sachril Agustin)

Willy menjelaskan dalam rapat paripurna, RUU TPKS menjadi aturan pertama yang progresif karena pertama memihak dan mengambil perspektif korban. Kedua, aparat hukum memiliki payung hukum atau legal standing yang selama ini belum ada di dalam kasus tindak kekerasan seksual. 

"Ketiga, melalui RUU ini negara hadir memberikan perlindungan dan keadilan kepada korban kekerasan seksual. Apalagi jumlah korban yang banyak dan diprediksi menjadi fenomena gunung es," tutur politikus Partai Nasional Demokrat itu. 

Ia menyebut negara hadir ketika restitusi tidak ada. Maka, negara hadir dalam bentuk pemberian dana kompensasi serta victim trust fund (dana bantuan korban). 

Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif, pernah menjelaskan  akomodasi dana bantuan korban akan disiapkan di dalam dua ayat di RUU TPKS. Dia menuturkan, pemerintah mengusulkan agar ayat pertama mengatur bahwa kompensasi bagi korban kekerasan seksual diberikan melalui dana bantuan korban.

Lalu, ayat berikutnya menyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai sumber pendanaan dan tata cara pemberian dana bantuan korban, diatur dalam peraturan pemerintah (PP). PP tersebut, kata Edward, juga akan mengatur lembaga yang akan menangani dana bantuan korban tersebut.

"Dalam konteks kita ini, termasuk apakah ada lembaga tersendiri, atau kah diberikan kepada LPSK atau diberikan kepada Kementerian Keuangan, nanti cukup dalam peraturan pemerintah," ujar dia dalam rapat kerja bersama Badan Legislasi DPR pada 31 Maret 2022. 

Baca Juga: [BREAKING] Ketua Panja: RUU TPKS Jadi Aturan Pertama yang Memihak Korban

2. RUU TPKS tak atur soal tindak pemerkosaan dan aborsi

Puan: Pengesahan RUU TPKS Jadi UU Kado Jelang Hari KartiniInfografis Perjalanan RUU TPKS untuk jadi Undang-Undang (IDN Times/Aditya Pratama)

Willy juga mengakui tindak pemerkosaan dan aborsi tak diatur dalam UU TPKS. Hal itu karena akan ada undang-undang lain yang mengatur keduanya. Meski begitu, pemerkosaan, kata dia, masih dicantumkan sebagai salah satu jenis kekerasan seksual dalam undang-undang ini.

 "Memang kita tidak memasukan pemerkosaan dan aborsi (ke dalam RUU TPKS). Dari sembilan jenis kekerasan seksual yang kita sebutkan di bagian atas, pemerkosaan kita sebutkan jenis kekerasan seksual lainnya, itu di bawahnya ada," ujar Willy kepada media di gedung DPR, Senayan, 6 April 2022. 

Pemerkosaan tidak diatur dalam RUU TPKS, karena sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bahkan, dalam Rancangan KUHP (RKUHP) lebih lengkap lagi diatur mengenai perkosaan.

"Kenapa aborsi tidak kita masukan (ke UU TPKS), sebab hal itu ada di dalam UU Kesehatan. Jadi, itu sudah cukup," ungkap politikus Partai Nasional Demokrat itu. 

3. Di dalam UU TPKS, pelaku pemaksaan perkawinan terhadap korban pemerkosaan bisa diancam bui sembilan tahun

Puan: Pengesahan RUU TPKS Jadi UU Kado Jelang Hari Kartiniilustrasi borgol (IDN Times/Mardya Shakti)

Sementara, dalam naskah RUU TPKS tertulis dengan detail apa saja yang dimaksud tindak pidana kekerasan seksual. Untuk definisi TPKS tertulis dalam Pasal 4 ayat (1). Lalu, untuk ancaman bagi pelaku pemaksaan perkawinan ada di Pasal 10.

Berikut sembilan jenis yang termasuk dalam TPKS, yaitu:

  1. Pelecehan seksual nonfisik
  2. Pelecehan seksual fisik
  3. Pemaksaan pengunaan kontrasepsi
  4. Pemaksaan sterilisasi
  5. Pemaksaan perkawinan
  6. Penyiksaan seksual
  7. Eksploitasi seksual
  8. Perbudakan seksual
  9. Kekerasan seksual berbasis elektronik.

Khusus untuk pemaksaan perkawinan, di dalam RUU TPKS, dapat diancam dengan bui selama maksimal sembilan tahun atau denda Rp200 juta. Yang dimaksud dengan pemaksaan perkawinan yakni perkawinan anak, pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya, dan pemaksaan perkawinan korban dengan pelaku korban. 

Baca Juga: Pemerkosaan dan Aborsi Tak Masuk RUU TPKS, Gimana Nasib Korban?

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya