Satgas COVID-19: Hanya WHO yang Punya Otoritas Tetapkan Status Endemik

RI mulai melonggarkan pengetatan meski angka kematian tinggi

Jakarta, IDN Times - Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito memastikan, hanya Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang memiliki kewenangan untuk mengubah status pandemik COVID-19 menjadi endemik. Sehingga, negara tertentu tidak bisa secara sepihak mengumumkan status pandemik telah bergeser ke endemik. 

"Penetapan status endemik merupakan otoritas Badan Kesehatan Dunia (WHO). Karena untuk mengubah (status) pandemik yang berdampak di banyak negara, diperlukan perbaikan kasus di tingkat global," ungkap Wiku seperti dikutip dari YouTube BNPB, Kamis (10/3/2022). 

Ia menambahkan, pada umumnya pergeseran menuju ke endemik dilakukan bila terjadi penurunan kasus harian dan angka kematian yang rendah bahkan nol dalam jangka waktu tertentu. Kondisi itu, kata Wiku, hanya dapat tercapai bila masyarakat secara kolektif melakukan pengendalian COVID-19. 

Lalu, apakah artinya sikap pemerintah yang kini mulai melonggarkan beberapa pengetatan termasuk menghapus tes antigen dan PCR bagi pelaku perjalanan domestik, sudah dianggap tepat jelang memasuki periode transisi ke fase endemik?

1. Selama wabah COVID-19 masih ada, kebijakan karantina idealnya tidak dihapus

Satgas COVID-19: Hanya WHO yang Punya Otoritas Tetapkan Status EndemikIlustrasi Hotel tempat karantina (ANTARA FOTO/Ampelsa)

Tanda bahwa Indonesia mulai menuju ke fase transisi endemik ditandai dengan adanya sejumlah pelonggaran pembatasan oleh pemerintah. Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan pada Senin, 7 Maret 2022 lalu, mengumumkan tiga kebijakan. 

Pertama, pemerintah menghapus kewajiban untuk tes swab PCR atau swab antigen bagi pelaku perjalanan di dalam negeri. Kedua, kebijakan karantina wajib bagi PPLN (Pelaku Perjalanan Luar Negeri) dipangkas menjadi satu hari dan ke depan akan dihapuskan. Ketiga, acara-acara olahraga sudah bisa disaksikan secara langsung oleh penonton. 

Luhut mengatakan, kebijakan itu diambil berdasarkan data dan masukan dari sejumlah ahli. Sedangkan, Satgas Penanganan COVID-19 menyebut bahwa Indonesia mengikuti langkah sejumlah negara yang sudah melonggarkan pembatasan, salah satunya Arab Saudi. 

Tetapi, dalam pandangan Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra, membandingkan kebijakan penanganan COVID-19 di Tanah Air dengan di Saudi tidak setara.

"Membandingkan kebijakan penanganan COVID-19 di Indonesia dan Saudi itu sama saja membandingkan apel dengan jeruk. Jadi, tidak bisa disamakan. Kita juga tak bisa mencontoh kebijakan yang berlaku di Saudi hari ini untuk diterapkan di Indonesia dengan kondisi hari ini," ungkap Hermawan kepada media, Rabu 9 Maret 2022. 

Ia menambahkan, dalam kebijakan penanganan wabah, karantina wajib tidak bisa dihapus. Sebab, kebijakan karantina untuk mengatasi wabah tertulis di dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan.

"Karantina merupakan instrumen yang tidak hanya menjadi mitigasi risiko bagi penyakit-penyakit lain, geo genetika yang bisa menular bila ada interaksi antara WNI dengan warga negara lainnya sehingga memunculkan varian atau sub varian baru, tetapi juga mencegah agar hal itu tidak masuk ke dalam negeri," kata dia. 

Ia juga menilai, idealnya durasi waktu karantina berkisar 3 hingga 5 hari. Dengan begitu, bisa mencegah adanya kebobolan dari varian-varian baru lainnya masuk ke Indonesia.

Baca Juga: Kemenkes Siapkan Jalan Menuju Endemik COVID-19, Terlalu Buru-buru?

2. Penghapusan kewajiban tes bisa berdampak pada penurunan jumlah orang yang dites

Satgas COVID-19: Hanya WHO yang Punya Otoritas Tetapkan Status Endemikilustrasi tes usap atau PCR swab test (IDN Times/Arief Rahman)

Di sisi lain, Hermawan menyambut baik kebijakan pemerintah untuk menghapus kewajiban tes COVID-19 bagi pelaku perjalanan di dalam negeri. Sebab, dalam epidemiologi, mereka memang bukan target untuk ditesting. 

"Tes itu difokuskan kepada komunitas yang berisiko, tracing dan tracking kepada paparan yang sudah terindikasi, siapa yang berinteraksi dan terkontaminasi sehingga targetnya kepada komunitas perkantoran, tempat ibadah, sekolah, permukiman hingga pertokoan, itu yang harus dikuatkan," ujar Hermawan. 

Ia juga mewanti-wanti pemerintah jangan sampai penghapusan kewajiban tes COVID-19 pada pelaku perjalanan dalam negeri berdampak ke penurunan jumlah orang yang dites. Sebab, meski pandemik sudah 2 tahun, tetapi kapasitas tes di Indonesia masih sangat lemah. 

"Bayangkan, kasus aktif yang kita miliki masih ada 448 ribu, tetapi spesimen rate-nya masih ada di angka 370 ribu. Tempo hari ketika kasus aktif menembus angka 500 ribu, kita hanya mampu melakukan tes sebanyak 400 ribu. Ini saja sudah lemah. Apalagi bila prasyarat tes tadi ditiadakan, itu akan menyebabkan penurunan kapasitas testing sekitar 30 persen," tutur dia. 

Maka, ia mengusulkan agar target tes selanjutnya dialihkan kepada kelompok yang berisiko tadi. 

3. Satgas COVID-19 akui angka kematian meningkat meski kasus harian menurun

Satgas COVID-19: Hanya WHO yang Punya Otoritas Tetapkan Status EndemikData Satgas COVID-19 yang menunjukkan angka kematian mingguan pada awal Maret 2022 mengalami kenaikan (Tangkapan layar YouTube BNPB)

Meski pemerintah kini sering menyebut tengah bersiap menuju ke tahap transisi endemik, namun pada kenyataannya angka kematian akibat COVID-19 justru terus meningkat. Wiku menyebut, data angka kematian pada periode 21 Februari hingga 27 Februari 2022 terdapat 1.708 kasus kematian. 

"Angka kematian pada minggu ini meningkat menjadi 2.099 kematian. Artinya, ada peningkatan hingga 300 kematian dibandingkan minggu sebelumnya," ungkap Wiku. 

Padahal, kata Wiku, dalam proses adaptasi kehidupan berdampingan dengan COVID-19, sudah tidak ada toleransi terhadap satu kematian pun. Maka, ia mendorong bagi siapa pun yang terinfeksi COVID-19 baik menunjukkan gejala atau tanpa gejala, agar segera dilakukan pemeriksaan medis. Tujuannya, untuk mencegah terjadinya pemburukan klinis hingga kematian. 

Satgas COVID-19 juga mencatat, pada periode 21 Januari 2022 hingga 6 Maret 2022, terdapat 8.230 pasien yang meninggal di rumah sakit. Sebanyak 51 persen di antara pasien itu meninggal karena memiliki komorbid. 

"Sebanyak 56 persen di antaranya adalah pasien lansia dan 70 persen belum divaksinasi lengkap. Ini artinya, melindungi lansia dan kelompok rentan dengan protokol kesehatan serta meningkatkan cakupan vaksinasi dosis lengkap," tutur dia lagi. 

Baca Juga: Pemerintah Bakal Hapus Syarat Tes COVID Bagi Pengguna Pesawat-Kereta

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya