Sejak UU Baru Berlaku, Jumlah OTT KPK Turun Drastis, Kenapa?

Tahun 2019, jumlah OTT KPK 21. Tahun 2018, ada 30 OTT

Jakarta, IDN Times - Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jilid IV pada Selasa (17/12) memaparkan pencapaian kinerja selama empat tahun mereka memimpin institusi antirasuah. Salah satu yang paling mencolok yakni dalam hal penindakan, komisi antirasuah mengalami penurunan drastis menggelar Operasi Tangkap Tangan (OTT). Berdasarkan data yang dirilis oleh komisi antirasuah, pada tahun 2019, KPK menggelar 21 operasi senyap. Angka ini turun jauh bila dibandingkan OTT pada 2018 lalu. 

Pada tahun lalu, KPK berhasil memecahkan rekor sepanjang sejarah dengan mencatat 30 OTT. Apabila dilihat kembali ke belakang, penyidik sudah tak lagi menggelar OTT usai undang-undang baru nomor 19 tahun 2019 resmi berlaku pada (17/10) lalu. 

Namun, sepanjang empat tahun memimpin, pimpinan KPK jilid IV telah menggelar 87 OTT dan menetapkan 327 tersangka. 

"Operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK tak pernah berhenti hanya pada perkara pokok. Dari OTT, KPK selalu mendapat petunjuk yang menjadi pembuka jalan ke dugaan perkara lain," ujar Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang ketika memberikan keterangan pers pada Selasa (17/12) di gedung komisi antirasuah. 

OTT memang diakui oleh KPK merupakan jalan paling mudah untuk membuktikan terjadinya praktik suap. Sebab, sebelum digelar operasi senyap, penyidik telah memantau gerak-gerik individu yang dijadikan target. Salah satunya melalui aktivitas penyadapan. 

Lalu, mengapa jumlah OTT pada tahun 2019 berkurang drastis dibandingkan tahun 2018 lalu?

1. Pimpinan KPK mengklaim tak ada lagi OTT lantaran belum ada bukti

Sejak UU Baru Berlaku, Jumlah OTT KPK Turun Drastis, Kenapa?Wakil Ketua KPK Saut Situmorang saat berada di IDN Media HQ pada Selasa, 10 Desember 2019. (IDN Times/Arief Kharisma Putra)

Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang dalam wawancara khusus bersama IDN Times  di IDN Media HQ pada Selasa (9/12) lalu mengakui OTT memang berkurang sejak undang-undang baru berlaku. Namun, hal itu disebabkan karena kurang bukti dan bukan KPK tak mau melakukannya. 

"Ya, jangan dipaksa-paksa juga (untuk dilakukan OTT). Kalau gak nemu juga (bukti serah terima uang suap) gimana? Masak kita harus nangkepin orang di saat buktinya kurang. Tapi, itu hal biasa kok. Ada beberapa bulan kami gak melakukan OTT," ujar Saut. 

Kendati OTT tak lagi digelar, namun mantan staf ahli Badan Intelijen Negara (BIN) itu memastikan komisi antirasuah tetap bekerja seperti biasa. Ia mencontohkan pada pekan lalu sebelum bertolak ke kantor IDN Media, Saut sempat menandatangani surat perintah penyidikan kasus tertentu. Artinya, ada tersangka baru yang diproses. 

Ia mengatakan kendati undang-undang baru KPK sudah berlaku, namun bukan berarti semangat pemberantasan korupsi di kalangan para pegawai menurun. 

"Kalau saya kasih skala 1-10, spiritnya paling hanya turun berapa persen lah. Mereka (penyidik) memang ragu tadinya (untuk bekerja), namun setelah kita yakinkan aliran informasi dari penyidik ke pimpinan terus ada," kata dia lagi. 

Penyidik KPK merasa ragu, karena di dalam undang-undang baru ada pasal-pasal yang bertentangan, yakni pasal 69D dan pasal 70C. Di dalam pasal 69D tertulis: 'sebelum Dewan Pengawas terbentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum Undang-Undang ini diubah.' Artinya, KPK masih menggunakan ketentuan di UU baru nomor 30 tahun 2002 hingga dibentuk anggota Dewan Pengawas.

Sedangkan di pasal 70C, KPK harus mengikuti undang-undang baru sejak aturan tersebut berlaku. 

Baca Juga: Walau UU Baru Berlaku, KPK Tetap Masih Bisa Gelar OTT 

2. OTT diklaim oleh KPK menjadi metode jitu untuk mengungkap praktik suap

Sejak UU Baru Berlaku, Jumlah OTT KPK Turun Drastis, Kenapa?(Grafik OTT KPK periode 2016-2019) Dokumentasi KPK

Bagi sebagian orang, OTT dipandang sebagai sebuah operasi yang hanya membuat heboh dan mempermalukan individu yang ditangkap. Apalagi oleh anggota DPR, OTT kerap kali dianggap sebagai operasi yang menjebak lantaran praktik pemberian suap yang terjadi bukan kali pertama dilakukan. 

Namun, bagi KPK, OTT tetap dibutuhkan. Apalagi setelah diajarkan sistem untuk mencegah korupsi, para pelaku tidak juga kapok. Sifat suap sendiri, kata Saut, selalu dilakukan secara tertutup. 

"Pelaku memiliki kekuasaan dan alat bukti yang cenderung sulit didapatkan sehingga membuat OTT menjadi metode paling mudah untuk membongkar praktik suap. Selain itu, OTT dapat membongkar persekongkolan tertutup yang hampir tak mungkin dibongkar dengan metode penegakan hukum konvensional," tutur Saut. 

Mantan staf ahli di Badan Intelijen Negara (BIN) itu menyebut OTT selalu bisa jadi petunjuk yang mengungkap kasus-kasus  lain. 

"Sampai saat ini, hasil dari OTT selalu terbukti di pengadilan," katanya. 

Beberapa OTT yang kemudian membuka kasus lainnya antara lain perkara dana hibah dari Kemenpora untuk Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). Gara-gara perkara itu, Imam Nahrawi sampai harus mundur dari posisinya sebagai Menpora. Barang bukti yang berhasil disita pun menjadi Rp7,4 miliar. 

Operasi senyap lainnya yang membuka kasus besar yakni usulan dana perimbangan keuangan daerah. 

"Dari OTT itu, KPK kemudian menetapkan dua kepala daerah sebagai tersangka dan satu anggota DPR yang diduga terlibat pengurusan dana perimbangan dalam APBN-P 2017 dan APBN 2018," kata dia lagi. 

3. KPK berhasil mengembalikan kerugian keuangan negara selama empat tahun Rp1,74 triliun

Sejak UU Baru Berlaku, Jumlah OTT KPK Turun Drastis, Kenapa?(Saut Situmorang dan Laode M. Syarif memberikan keterangan pers di KPK) IDN Times/Santi Dewi

Fokus lain KPK usai menangkap koruptor yakni mengembalikan kerugian keuangan negara. Komisi antirasuah fokus melakukan pelacakan aset koruptor yang tersembunyi. Semua aset yang dimiliki oleh koruptor, kata Saut, harus dikembalikan ke kas negara untuk digunakan bagi kesejahteraan rakyat. 

"Selama empat tahun terakhir, KPK melakukan hibah dan lelang terhadap barang-barang yang sudah ditetapkan menjadi milik negara. Dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari pelaksanaan eksekusi selama empat tahun, KPK telah menyumbangkan Rp1,74 triliun dari denda, uang pengganti, rampasan dan hibah penetapan status penggunaan," ujar Saut. 

Kendati begitu, tak semua proses hukum yang sudah berjalan bagi tersangka kasus korupsi bisa berjalan mulus. Dua terdakwa yakni Sayfruddin Arsyad Temenggung (kasus BLBI) dan Sofyan Basir (kasus PLN) harus direlakan oleh KPK lepas karena majelis hakim memberi putusan berbeda. 

KPK saat ini melakukan kasasi untuk kasus Syafruddin dan peninjauan kembali untuk perkara Sofyan. 

Baca artikel menarik lainnya di IDN Times App, unduh di sini http://onelink.to/s2mwkb

https://www.youtube.com/embed/5UWVlYf4CKQ

Baca Juga: KPK Telah Gelar 21 OTT KPK Sebelum UU Baru Berlaku 

Topik:

Berita Terkini Lainnya