Sepanjang 2018, KPK Setor Rp500 Miliar ke Kas Negara 

Tahun 2017, KPK mengembalikan Rp276,6 miliar ke kas negara

Jakarta, IDN Times - Dalam memberantas korupsi, Komisi Antirasuah menggunakan cara pencegahan dan penindakan. Alhasil, dari upaya penindakan itu, KPK berhasil menyetor Rp500 miliar ke kas negara sepanjang 2018. Dana itu disumbang dari beberapa kasus yang ditangani oleh KPK. 

"Lebih dari Rp500 miliar telah dimasukan ke kas negara dalam bentuk PNPB (Penerimaan Negara Bukan Pajak) dari penanganan perkara," ujar Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang ketika memaparkan laporan kinerja akhir tahun lembaga antirasuah pada Rabu (19/12) di Jakarta. 

Ia menjelaskan uang itu berasal dari hasil rampasan uang serta hasil lelang barang sitaan terkait perkara korupsi.

"Termasuk di dalamnya dari pendapatan hasil lelang barang sitaan dan rampasan dari perkara tindak pidana korupsi maupun tindak pidana pencucian uang sebesar Rp44,6 miliar," kata dia lagi. 

Sementara, untuk pemulihan aset negara, KPK pun menghibahkan sejumlah aset hasil rampasan perkara korupsi kepada beberapa instansi. Nilai total aset yang dihibahkan tersebut mencapai Rp96,9 miliar.

"Antara lain berupa 9 bidang tanah senilai Rp61 miliar di Jakarta Timur, satu bidang tanah di Kelurahan Mlajah Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan seluas 18.466 M² senilai Rp 16,5 miliar," tutur dia. 

Lalu, puas kah KPK dengan pencapaian itu?

1. Nilai kerugian negara yang disetor lebih tinggi dibandingkan 2017

Sepanjang 2018, KPK Setor Rp500 Miliar ke Kas Negara (Daftar penerimaan negara dari penindakan perkara KPK) IDN Times/Sukma Shakti

Data yang dimiliki oleh IDN Times, total kerugian negara yang dikembalikan oleh KPK tahun 2018 lebih tinggi dibandingkan tahun 2017. Berdasarkan laporan kinerja KPK pada 2017, lembaga antirasuah sudah mengembalikan Rp276,6 miliar ke kas negara. 

Tetapi, di upaya pencegahan KPK pada 2017 berhasil mengembalikan dengan nominal lebih tinggi. Rp114 miliar dari uang gratifikasi masuk ke kas negara. Rp374 miliar disumbang dari barang milik Kementerian Kesehatan,  Rp78 miliar didapat dari koordinasi dan supervisi dengan PT Kereta Api Indonesia. Rp1 triliun dari kegiatan penyidikan dan Rp1,1 triliun dari kegiatan penuntutan. 

Sementara, di tahun 2018, gratifikasi yang ditetapkan menjadi milik negara dalam bentuk uang turun menjadi Rp6,2 miliar dan benda Rp2,3 miliar. 

Baca Juga: Tutup Tahun 2018, KPK Pecahkan Rekor OTT Terbanyak Dalam Sejarah

2. KPK akui kerugian negara yang disumbang tidak imbang dengan anggaran yang didapat

Sepanjang 2018, KPK Setor Rp500 Miliar ke Kas Negara ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Lalu, dengan nominal pengembalian negara yang tidak terlalu besar itu, apa komentar dari KPK? Sementara, anggaran yang mereka keluarkan untuk melakukan upaya penindakan seperti OTT sepanjang tahun justru jauh lebih besar?

"KPK kan memang bukan cari untung atau penagih pajak eksport impor. Jadi, yang didapat oleh KPK dengan yang dikeluarkan bisa jadi tidak seimbang. Kami kan mendapat (anggaran) kurang dari Rp800 miliar setiap tahun, masuknya cuma segitu. Ya, mau bagaimana hanya segitu yang bisa kami buktikan pada 2018," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang yang ditemui di Hotel Mandarian Oriental pada Kamis (20/12). 

Ia berdalih KPK baru bisa memproses suatu kasus tergantung dari kecukupan bukti. KPK tidak dapat berbuat apa pun seandainya tidak ada bukti. 

Namun, Saut menambahkan, kadang kala dari upaya penindakan justru menjadi pintu masuk untuk mengusut kasus dengan nilai kerugian negara yang jauh lebih besar. 

"Dapatnya (saat OTT) Rp30 juta, tapi belakangan gede-gede (yang dikembalikan ke negara), baik itu rumah atau kendaraan. Jadi, sebenarnya bukan masalah besar kecil (nominal yang disumbang ke negara), yang harus digaris bawahi yakni dari perbuatan korupsi itu telah merusak moral bangsa," tutur Saut. 

3. Perbuatan korupsi justru dimulai dari nominal yang kecil

Sepanjang 2018, KPK Setor Rp500 Miliar ke Kas Negara (Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi) ANTARA FOTO/Putra Haryo Kurniawan

KPK memang diharapkan publik menangani kasus korupsi yang besar. Tetapi, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang justru menyebut dengan menangani kasus korupsi yang nominalnya tidak terlalu besar, seharusnya itu turut menjadi perhatian lembaga antirasuah. 

"Kalau yang dikorup hanya US$1 seharusnya menjadi urusan KPK, karena dari korupsi US$1 maka berikutnya nilainya akan meningkat jadi jutaan dollar. Dosa itu kan dimulai dari yang sangat sederhana itu," kata Saut. 

4. Pimpinan KPK periode 2015-2019 berharap tidak meninggalkan utang-utang kasus

Sepanjang 2018, KPK Setor Rp500 Miliar ke Kas Negara IDN Times/ Cije Khalifatullah

Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang mengaku pimpinan periode 2015-2019 akan mengusahakan agar kasus-kasus lama yang seolah-olah mangkrak akan rampung sebelum mereka lengser. Alasannya, mereka tidak ingin membebani kasus ke pimpinan di periode selanjutnya. 

"Kecuali kalau korwil materinya tidak bisa. Kami juga rencananya akan membuat terobosan dengan menghitung sendiri kerugian negaranya," kata Saut.

Dalam kesempatan itu, pria yang sempat bertugas sebagai staf ahli di Badan Intelijen Negara (BIN) membantah pandangan yang menyebut pimpinan periode ini lebih fokus ke Operasi Tangkap Tangan (OTT) dan mengabaikan penyelesaian kasus-kasus besar. 

"Buktinya (kasus) e-KTP kan satu-satu terungkap. Ini beda gaya kepemimpinan saja. Ada yang fighter, ada yang menggunakan metode boxing," kata dia lagi. 

Sebelumnya, dalam pemaparan kinerja KPK pada 2018, Saut membanggakan institusi tempatnya bekerja berhasil mencetak rekor OTT terbanyak sepanjang sejarah yakni 29 operasi senyap. Sebagian dari publik beranggapan frekuensi OTT lebih banyak untuk menutupi lemahnya kinerja dalam pengusutan kasus-kasus di masa lampau, antara lain Pelindo 2, Surat Keterangan Lunas BLBI, Bank Century hingga kasus korupsi Wisma Atlet Hambalang. 

Baca Juga: Dituding Lebih Fokus OTT dan Abaikan Kasus Lama, Ini Kata KPK

Topik:

Berita Terkini Lainnya