Soal Vaksin AstraZeneca, PWNU Jatim: Ambil Saja Pendapat yang Halal

Publik tak perlu lagi memperdebatkan halal haram AstraZeneca

Jakarta, IDN Times - Wakil Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur Ahmad Fahrur Rozi mengatakan, publik tak perlu lagi memperdebatkan apakah vaksin AstraZeneca haram atau halal untuk digunakan. Dalam kondisi darurat pandemik COVID-19, Fahrur mendorong agar publik tetap memakai vaksin AstraZeneca. 

"Hari ini kita sudah harus mengambil pendapat bahwa (vaksin AstraZeneca) itu suci. Sebab, kondisi pandemik sekarang ini sudah tak bisa ditawar lagi dan segera diselesaikan. Cara yang mudah dilakukan ya dengan (pemberian) vaksin ini," ujar pria yang akrab disapa Gus Fahrur itu ketika berbicara di program Ngobrol Seru by IDN Times, Rabu (24/3/2021). 

Gus Fahrur mengakui, hingga saat ini ia juga masih menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tetapi, ia berbeda pendapat dan menilai vaksin AstraZeneca halal.

Namun, tim penyusun fatwa di MUI pusat tetap menganggap terdapat enzim tripsin dalam vaksin itu. Ia memastikan, enzim tripsin itu sudah tidak ada lagi di produk akhir vaksin buatan Inggris dan Swedia tersebut. 

Di sisi lain, kata Gus Fahrur, tidak semua negara berhasil memperoleh vaksin COVID-19. Semua negara di dunia justru tengah memperebutkan komoditas itu. 

"Indonesia ini membutuhkan ratusan juta. Sedangkan, tak semua produsen (vaksin) bisa memenuhi kebutuhan penduduk di bumi ini yang mencapai 7 miliar orang. Kita termasuk beruntung berhasil mendapatkan vaksin, salah satunya ya AstraZeneca," ungkapnya. 

Lalu, bagaimana ceritanya hingga MUI pusat malah menyatakan vaksin AstraZeneca haram?

Baca Juga: Termasuk Hifdzun Nafs, Vaksin AstraZeneca Wajib Digunakan

1. NU nilai produk akhir vaksin AstraZeneca tak ada kandungan babi, MUI sebaliknya

Soal Vaksin AstraZeneca, PWNU Jatim: Ambil Saja Pendapat yang HalalEpidemiolog M. Atoillah Isfandiari (kiri) dan Gus Fahrur (kanan) (Tangkapan layar Instagram IDN Times)

Gus Fahrur menilai, NU tidak terlalu rumit dalam menentukan apakah suatu produk hukumnya haram atau halal. Bila di ujung proses pembuatan diketahui tak ada lagi kandungan babi, maka vaksin apapun akan dinilai oleh NU halal. Mereka tak lagi memusingkan proses di tahap awal pembuatan vaksin COVID-19.

"Jadi, kalau semua orang mengatakan di dalam produk itu tidak ada babi ya sudah selesai (bisa dipakai)," ujar Gus Fahrur. 

Sudut pandang yang berbeda itu menyebabkan antara NU dan MUI kerap berbeda pendapat dalam menentukan suatu produk halal atau haram. Preseden serupa sudah pernah terjadi dalam peristiwa penyedap rasa Ajinomoto, vaksin meningitis, hingga vaksin rubella. 

"MUI selalu bilang semuanya itu haram, tapi boleh (dipakai). Sementara, NU sudah lebih maju (dalam memberikan penilaian) sama seperti standar internasional. Kami hanya menilai bagian akhir produk," katanya.

Ia menjelaskan, MUI memberikan stempel haram pada produk vaksin AstraZeneca lantaran sejak awal diketahui ada enzim tripsin dalam pembuatan vaksin itu. Secara otomatis langsung dilabeli fatwa haram. 

"Jadi, berdasarkan keputusan Ijtima Ulama tahun 2010, MUI punya standar bahwa apapun bakteri, mikroba yang ditumbuhkan di atas benda atau zat yang terbuat dari babi maka 100 persen haram. Tidak bisa ditawar," dia menjelaskan. 

Baca Juga: MUI: Vaksin AstraZeneca Haram, tetapi Boleh Digunakan

2. Publik bingung oleh fatwa MUI yang mengharamkan AstraZeneca tapi boleh dipakai

Soal Vaksin AstraZeneca, PWNU Jatim: Ambil Saja Pendapat yang HalalPetugas kesehatan menyuntikan vaksin COVID-19. ANTARA FOTO/Jojon

Gus Fahrur kemudian sempat mengusulkan kepada MUI agar isi bunyi fatwa untuk vaksin AstraZeneca cukup hanya boleh atau tak boleh digunakan. Namun, pada kenyataannya mereka menyampaikan fatwanya haram tapi boleh digunakan. 

"Kan itu yang pada akhirnya membuat orang rancu. Haram, najis, tapi boleh (dipakai) dan mengandung babi," ungkapnya. 

Padahal, menurut Gus Fahrur, sesuai dengan proses pembuatan vaksin, sudah tidak ada lagi enzim tripsin yang tersisa. Tetapi, komisi fatwa di MUI tetap menganggap keseluruhan produk sudah bercampur dan mengandung babi. 

3. Enzim tripsin di dalam vaksin AstraZeneca kurang dari 10 mililiter

Soal Vaksin AstraZeneca, PWNU Jatim: Ambil Saja Pendapat yang HalalVaksin Astraszeneca (ANTARA FOTO/Novrian Arbi)

Gus Fahrur lalu sempat berkomunikasi dengan anggota peneliti vaksin Merah Putih dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Alucia Anita Artarini, soal proses pembuatan vaksin. Menurut informasi yang ia peroleh, kandungan zat tripsin di dalam vaksin AstraZeneca tidak lebih dari 10 mililiter. 

"Lalu, enzim itu dicampur media air yang jumlahnya 4.000 liter. Ya, saya bilang gak masalah kalau begini. Karena benda itu (enzim tripsin) sedikit," ujar Gus Fahrur. 

Lebih lanjut Gus Fahrur menggunakan fiqih benda sedikit yang melebur ke benda dalam jumlah besar, maka tetap dianggap suci.

"Fiqih itu apa yang dilihat oleh mata. Kalau yang dilihat di mikroskop ya air (Kali) Brantas pasti tetap terlihat ada kotorannya. Tapi, NU menghukumnya Kali Brantas itu suci karena tidak mengubah sifat air Kali Brantas," tutur dia. 

Lantaran jumlahnya yang terbatas, maka pemerintah mendistribusikan vaksin AstraZeneca ke enam provinsi yaitu Jawa Timur (45 ribu vial), Bali (5.000 vial), Nusa Tenggara Timur (5.000 vial), DKI Jakarta (5.000 vial), Kepulauan Riau (5.000 vial), dan Sulawesi Utara (5.000 vial). Vaksin AstraZeneca yang diterima Indonesia merupakan bagian dari skema COVAX. 

Baca Juga: AstraZeneca Tanggapi MUI soal Vaksinnya Mengandung Produk Turunan Babi

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya