Soegimin, Pengangkat 7 Jenazah Pahlawan Revolusi Wafat di Surabaya

Soegimin ikut angkat jenazah 7 perwira TNI AD korban G30S

Jakarta, IDN Times - Keluarga besar korps marinir TNI Angkatan Laut tengah berduka. Sebab, salah satu prajurit kebangaan mereka, Pelda KKO (Purn) Soegimin tutup usia pada Minggu, 6 Maret 2022.

Soegimin merupakan satu dari 9 personel IPAM (Marinir) yang bertugas mengangkat tujuh jenazah perwira TNI Angkatan Darat, korban peristiwa Gerakan 30 September. Tugas itu diberikan oleh Komandan KKO AL pada 1965. 

Komandan Korps Marinir (Dankormar) Mayor Jenderal TNI (Mar) Widodo Dwi Purwanto mengatakan, almarhum Soegimin meninggal di usia 83 tahun di RSAL Dr. Ramelan, Surabaya, Jawa Timur. Ia diketahui menderita sakit gangguan pernapasan dan mengembuskan napas terakhir pada pukul 15.47 WIB. 

Jenazah almarhum kemudian disemayamkan di kediamannya di Surabaya, Jawa Timur, lalu dimakamkan dengan menggunakan upacara militer. 

"Dankormar, seluruh prajurit dan keluarga Korps Marinir menyatakan duka cita yang mendalam atas berpulangnya salah satu putra terbaik bangsa ini," kata Widodo dalam keterangan tertulis, Senin (7/3/2022). 

Lalu, di mana jenazah almarhum Soegimin dimakamkan?

1. Almarhum Soegimin dimakamkan di TMP 10 November Surabaya dengan upacara militer

Soegimin, Pengangkat 7 Jenazah Pahlawan Revolusi Wafat di SurabayaUpacara pemakaman Pelda KKO (Purn) Soegimin, pelaku sejarah pengangkat tujuh jenderal Pahlawan Revolusi korban G30S di Lubang Buaya (Dokumentasi Marinir TNI AL)

Jenazah almarhum Soegimin dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) 10 November, Jalan Mayjen Sungkono, Surabaya. Almarhum dimakamkan menggunakan upacara militer sekitar pukul 21.00 WIB. Upacara, kata Widodo, tetap dilakukan dengan memperhatikan protokol kesehatan secara ketat. 

"Yang bertindak sebagai Inspektur Upacara (Irup) adalalah Direktur Latihan Kodiklatal Brigadir Jenderal TNI (Mar) Widodo dengan Komandan Upacara Danyonroket 2 Marinir Letkol Marinir Daulat Situmorang, dan pasukan upacara gabungan dari TNI Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara," demikian bunyi keterangan tertulis Korps Marinir TNI AL pada hari ini. 

Almarhum Soegimin meninggalkan satu istri dan tujuh anak. 

Baca Juga: Kisah Asmara Pahlawan Revolusi Pierre Tendean yang Berakhir Tragis

2. Proses pengangkatan jenazah tujuh pahlawan revolusi dari sumur tua butuh waktu empat jam

Soegimin, Pengangkat 7 Jenazah Pahlawan Revolusi Wafat di SurabayaLubang Buaya (instagram.com/smp1bukateja)

Peristiwa 30 September 1965 menyebabkan tujuh perwira tinggi TNI AD gugur. Mereka adalah Jenderal Ahmad Yani, Mayjen R. Soeprapto, Mayjen M.T. Haryono, Mayjen S. Parman, Brigjen D.I Panjaitan, Brigjen Sutoyo, dan Lettu Pierre A. Tendean. Berdasarkan beberapa sumber, ketujuh orang ini dijemput paksa oleh pasukan Cakrabirawa dari kediaman masing-masing pada tengah malam dan pagi buta. 

Mereka semua dibawa ke daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur. Kemudian jasadnya dibuang ke sebuah sumur kecil, yang kemudian disebut sebagai sumur Lubang Buaya.

Berdasarkan catatan yang dibuat oleh Cornel University Press pada tahun 1966, jenazah tujuh perwira tinggi TNI AD itu berhasil ditemukan pada 4 Oktober 1965. Tujuh jenazah itu ditemukan di sumur tua dengan kedalaman 15 meter di kawasan hutan karet Lubang Buaya. 

Kepada Majalah Tempo, Soegimin ketika masih hidup mengisahkan proses evakuasi tujuh jenazah perwira TNI AD itu, dimulai pukul 11.00 WIB dan berakhir sekitar pukul 15.00 WIB. Proses pengangkatan jenazah itu disaksikan langsung oleh Pangkostrad Letnan Jenderal Soeharto, Komandan Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD) Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, dan Letnan Dua Sinton Panjaitan.

Ia mengisahkan, jenazah pertama yang diangkat adalah Pierre Tendean. Sedangkan, jenazah terakhir yang dievakuasi adalah DI Panjaitan.

"Semua jenazah dalam keadaan utuh, tidak ada yang matanya dicungkil atau kemaluannya dipotong seperti cerita yang beredar,” ujar Soegimin pada 2017 lalu. 

Semua jenazah yang berhasil dievakuasi dimasukan ke dalam peti mati dan dibawa ke RSPAD Gatot Subroto dengan menggunakan panser. "Setelah semua jenazah berhasil diangkat, lokasi itu disterilkan. Tidak boleh ada yang mendekat dan dijaga pasukan baret merah," katanya lagi. 

3. Pengangkatan jenazah pahlawan revolusi dari sumur Lubang Buaya menggunakan tali

Soegimin, Pengangkat 7 Jenazah Pahlawan Revolusi Wafat di SurabayaAntara foto via Idntimes/Asprilla dwi Adha

Sementara, Pelda (Purn) Evert Julius Ven Kandou yang juga ikut melakukan evakuasi jenazah tujuh perwira TNI AD di Lubang Buaya, menceritakan kembali peristiwa mengenaskan itu. Ia menjelaskan, ada tiga pilihan untuk mengangkat jenazah dari sumur Lubang Buaya. 

Pertama, mengangkat secara langsung. Namun, hal itu tak bisa dilakukan karena sumur dengan kedalaman 15 meter itu hanya memiliki lebar 75 cm. Kedua, melakukan penggalian untuk memperlebar sumur. Cara itu dinilai juga sulit dan memakan waktu cukup lama. 

Ketiga, menggunakan tali dengan mengikatkannya pada jenazah. Dari ketiga cara itu, dokter RSPAD menyetujui cara ketiga yakni seluruh jenazah diangkat dengan menggunakan tali.

Proses pengangkatan dimulai sekitar pukul 12.05 pada 1965 lalu. Salah satu anggota tim evakuasi, Kopral Anang masuk ke dalam sumur maut itu dan mengikatkan tali. Jenazah pertama yang berhasil diangkat adalah Letnan Satu Corps Zeni Pierre Andreas Tendean, ajudan Jenderal TNI A.H. Nasution.

Selanjutnya, pada pukul 12.15 Serma KKO Suparimin turun ke dalam sumur untuk mengikatkan tali pada salah satu jenazah. Namun pengangkatan mengalami kendala karena terjepit jenazah lainnya.

Kemudian, pada pukul 12.30 Prako I KKO Subekti juga turun untuk mengikatkan tali kepada salah satu jenazah. Ikatan itu berhasil mengangkat dua jenazah sekaligus, yakni Mayjen TNI S. Parman dan Mayjen TNI Suprapto.

Akhirnya, satu per satu jenazah di dalam sumur berhasil diangkat. Namun, untuk memastikan seluruh jenazah sudah diangkat maka salah seorang harus turun lagi ke sumur. Tapi semua penyelam baik dari KKO TNI AL maupun RPKAD sudah kelelahan.

"Bahkan, salah seorang prajurit pilihan yang telah berhasil mengangkat jenazah keracunan bau yang menyengat di dalam sumur. Dia muntah-muntah dan terkapar," ungkap Letnan Dua Sintong Panjaitan dalam buku biografinya yang berjudul "Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando."

Karena situasi itu, Komandan Kompi Intai Para Amfibi Kapten Winanto memutuskan untuk turun masuk ke dasar sumur. Ternyata di dalam masih terdapat satu jenazah lagi, yakni Brigjen TNI D.I. Panjaitan.

"Masker gas antihuru-hara itu tidak mampu menahan bau dari ketujuh jenazah. Jadi dari jarak sekitar 100 meter itu baunya terasa waktu kita masuk," ujar Pelda (Purn) Evert seperti dikutip dari kanal YouTube MTATV. 

Baca Juga: 17 Potret Wisma Yaso, Peristirahatan Terakhir Sukarno yang Jadi Museum

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya